Prolog

12 0 0
                                    


"jangan pergi". Gumamku lirih. Bayangan itu semakin memudar dari hadapanku. Seperti debu, ia perlahan hilang ditiup angin

"jangan pergi. Aku mohon". Pintaku padanya. namun kabut putih yang datang menyelimuti seakan mencekat suaraku

"kenapa.. kenapa kamu pergi". Aku berusaha mengejar bayangan itu. Ia menjauh dan terus menjauh. Aku bersusah payah terus mengejarnya. Mengerahkan sisa tenagaku dan DEGGG....

Keringat dingin mengucur dari dahiku. Aku terbatuk kecil. Nafasku tersengal. Aku menarik nafas kuat-kuat mencoba untuk menenangkan diri. Lalu bangkit dari tidur. Terduduk. Jam menunjukan pukul 04.00 kurang tiga menit. Aku menarik nafas perlahan. Mengusap peluh dingin

Aku enggan melanjutkan tidur. Jadi kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi. Menghidupkan air diwashtafel dan dengan cepat memcuci wajah kuyuku. Kutatap pantulan wajahku dicermin

"mimpi itu..". aku mendesis. Setelah terdiam beberapa saat, tanganku dengan cepat menyambar handuk dan tak butuh waktu lama, kuguyur tubuhku dengan air sower

#####

Jam menunjukkan pukul 05.30

Aku melanjutkan rutinitas biasaku setiap pagi. Sembari menyiapkan sarapan, aku hidupkan televisi untuk menghalau kesunyian yang selalu menyapaku dipagi hari. Sesekali aku menoleh, mencermati isi berita pagi yang kuanggap menarik. Sebagiannya lagi aku abaikan

Meong. Seekor kucing mengendus-endus kakiku. Aku menunduk menggangkatnya kepangkuan

"pagi Blast. lapar ya?". Sapaku. Aku membawanya ke meja makan. Menuangkan susu dan sereal ketempat makannya. Tanpa disuruh, ia langsung melahap sarapan paginya itu. Aku tersenyum. Ia sedikit mengeliat saat aku mengelus bulunya yang lebat. Dari pojok ruangan, aku bisa mendengar decitan beberapa ekor kelinci. Aku menghembuskan nafas meninggalkan blast dan berjalan menuju kulkas.

Potongan wortel kuletakkan tepat didepan lima kelinci berbulu hitam putih. Aku tersenyum menatap mereka. seekor kelinci paling kecil terlihat melahap dengan cepat wortel miliknya. Aku tertawa kecil sembari mengelus kepalanya. Tingkah lakunya mengingatkanku pada Kiky. Induknya yang telah lama mati.

dering telepon mengejutkanku. Suara bisingnya memecah keheningan ruangan yang sepi. Aku beranjak dari kandang kelinciku menuju ruang tamu

"Halo..". sapaku. Suara khas ibuku terdengar

"Ya ampun Raven. Kemana saja. Kenapa tidak ada kabar?". Seperti biasa, ibuku terlalu khawatir berlebihan. Aku menarik nafas

"Raven lagi sibuk bu. Banyak kerjaan". Jawabku seperti yang biasanya juga. Aku mejauhkan gagang telepon dari telinga beberapa senti. Karena bunyi kebisingan yang memekakkan telinga

"Jason. Jangan usil". Teriak Ibukku. Menegur adik laki-lakiku. Dari sini, aku hanya mendengarkan ibu mengomeli adik laki-lakiku itu sembari membayangkan betapa ributnya rumah itu tiap pagi

"kamu kapan kesini?". Tanya ibuku. Aku terdiam sejenak

"mungkin nanti bu. Raven mau menyelesaikan proyek yang baru".

Beberapa saat hanya keheningan yang tercipta antara aku dan ibu. Dalam hati aku menebak, ibu pasti kecewa. Sudah sangat lama kami tidar bertemu

"ya sudah. Kalau sudah selesai kamu pulang ya". Pinta ibu

"iya bu". Jawabku pendek

Tuttt. Telepon pagi ini telah ditutup. Aku mematung sejenak sebelum menggerakan tangaku untuk meletakkan gagang telepon. Aku menatap jam yang melingkar dipergelangan tanganku

Jam 06. 53 pagi. Aku mendesah. Bergegas kekamar. Mengganti bajuku dengan baju olahraga. Hari ini jadwalku jogging

#####

Silau matahari pagi menerpa wajahku. Dengan bersemangat aku terus melangkahkan kakiku. Berlari-lari kecil menyusuri jalan. Sembari menikmati pemandangan taman kota yang asri dan menenangkan. Peluh bercucuran diwajahku. Aku bisa merasakan bajuku sudah basah olehnya.

Dering telepon yang tiba-tiba, menghentikan langkah kakiku. Aku melepas headset

"halo". Sambutku

"hai". Terdengar suara seseorang yang sangat kukenali. Suara yang sudah sangat lama aku tidak melihat wajah empunya. Aku tersenyum simpul

"hai..". balasku. Terdengar tawa kecil

"apa kabar pak arsitek?". Tanyanya ramah seperti biasa. Aku tertawa

"baik. Kamu sendiri?". Tanyaku

"baik juga. Tumben nih jogging pagi. Lagi gak ada kerjaan ya pak". Ledeknya. Aku mengkerutkan dahi. Darimana dia tahu aku jogging. Aku mengedarkan pandanganku kesekeliling. Apa jangan-jangan dia disini pikirku

"dari mana kamu tahu?". Tanyaku penuh selidik. Tawanya semakin keras

"ya taulah. Aku kan serba tau". Jawabnya asal. Mataku masih mencari. Tak butuh waktu lama, ekor mataku menangkap sosok yang dengan santai berjalan kearahku. Aku tertegun menatapnya. Sosok itu melangkah semakin dekat. Sosok yang tiga tahun yang lalu memutuskan untuk menjadi temanku

"gak usah gitu kali ngeliatnya". Ledeknya lagi. Aku hanya tersenyum. Ia masih sama seperti dulu. Tidak berubah. Gaya pakaiannya, bicaranya bahkan senyumnya.

Kami memutuskan untuk duduk-duduk dibawah pohon sembari menatap orang yang lalu lalang

"ternyata kamu gak banyak berubah". Katanya membuka pembicaraan. Aku menatapnya dan tersenyum

"kamu sendiri?". Tanyaku. Ia mendesah

"kalo aku sih ngerasa udah kayak nenek-nenek umur enampuluh. Ternyata kuliah itu gak segampang yang dibayangin. Sampai-sampai aku ngarasa kalo rambut aku tuh udah berubah jadi putih semua gara-gara tugas dari dosen". Balasnya. Aku tertawa kecil

"untung aja gak ompong". Kataku. Ia tertawa keras

"katanya katanya buka kafe sendiri?". Ia mengangguk bangga

"iya. Senengnya, bangga bisa punya penghasilan sendiri. Tapi capenya tiap pulang kampus harus bantu-bantu. Mana ada yang suka ngomel tiap hari".

"namanya juga resiko". Ujarku. Ia mengangguk kecil

Untuk beberapa saat kami terdiam. Menikmati semelir angin yang berlalu

"kamu baik-baik aja kan?". Tanyanya dengan tatapan menyelidik. Aku membalas tatapannya. Menghela nafas berat dan mengangguk kecil

"kamu harus kuat. Dan kalo kamu ada apa-apa, kamu bisa cerita ke aku. Kitakan kan temen. Jadi masalah kamu sama dengan masalah aku juga"

Aku tersenyum mendengarnya

"makasih" balasku. Setelah tiga tahun berlalu, entah mengapa hari ini aku sangat merindukannya

Be Friend, Be FineWhere stories live. Discover now