7. Her Emerald Eyes

20.1K 2.3K 91
                                    

Sorotan mata kehijau-hijauan milik Nasya yang sedang menatap kedua matanya―entah sejak kapan―tanpa berkedip seketika saja membuat seluruh organ tubuhnya mati rasa, kecuali jantungnya.

• • •

Namun senyum Adnan mendadak pudar dan berubah menjadi bingung ketika ia menyadari memar-memar pada wajah dan tangan Nasya terlihat dengan sangat jelas dari jarak yang cukup dekat ini. Tentu saja hal tersebut membuat Adnan bingung. Pasalnya waktu makan siang kemarin, Adnan sudah tidak lagi melihat semua memar pada wajah juga tangan gadis yang berada hadapannya sekarang. Apa karena waktu itu ia hanya melihat dari kejauhan? Jadi tersamarkan oleh kulit putihnya yang sedikit kemerah-merahan itu? Mungkin saja iya.

Setelah membuat kesimpulan sendiri, tiba-tiba saja Adnan bangkit dari duduknya. "Lo tunggu sini sebentar, ya. Jangan ke mana-mana. Ok?"

Lagi-lagi Nasya hanya mengangguk samar sebagai jawaban.

Dengan cepat-cepat, cowok itu bergegas menuju UKA, alias Unit Kesehatan Asrama. Mengobrak-abrik lemari satu-satunya lemari kaca yang ada di dalamnya. Mencari obat yang dia butuhkan. Ada banyak obat-obatan yang dia lihat. Membuatnya sedikit kelimpungan dalam melakukan pencarian. Ingin bertanya, tapi tidak tahu bertanya pada siapa. Dokter maupun perawat UKA juga sedang tidak ada.

"Ah, obat memar itu kayak gimana, sih? Biasanya gue kalau memar cuma dikompres besoknya langsung gak sakit. Tapi masa iya anak pemilik asrama gue obatin pake kompresan. Yang bener aja, Nan, Nan, gak elit banget." Adnan mengoceh pada dirinya sendiri sembari terus berusaha mencari.

Sampai akhirnya, dengan sangat terpaksa Adnan harus membaca satu persatu obat yang ada, agar dia bisa tahu mana obat untuk memar. Setidaknya bisa meredakan rasa sakit pada memar. Setelah sekian menit mencari, barulah cowok tengil itu menemukan apa yang dicarinya. Adnan yakin kalau yang dipegangnya adalah obat untuk memar setelah dia membaca pada sisi botolnya yang bertuliskan;

Obat ini dapat melarutkan bekuan darah di bawah kulit (hematoma), memar, dan juga mampu menghilangkan rasa sakit.

Selepas itu, Adnan balik dengan membawa kotak P3K di tangannya. Lalu ia duduk di tempat yang sebelumnya ia duduki. Membuka seraya meletakkan kotak putih dengan tanda plus di depannya itu di atas piano hitam yang Nasya mainkan tadi. Mengambil obat cair, yang kemudian menumpahkannya sedikit pada permukaan kapas yang dipegang oleh tangan satunya.

"Lo diem, ya." Dengan sangat hati-hati Adnan mengoleskan kapas yang sudah dibasahi obat itu, pada memar di wajah Nasya.

Saat sedang mengobati memar-memar Nasya, seketika saja Adnan mulai menyadari ada yang tidak beres dengan dirinya sendiri. Dia belum pernah sepeduli ini pada lawan jenis selain bundanya. Bisa dibilang ini adalah pertama kalinya Adnan bisa bersikap lembut pada seorang gadis. Bahkan sekarang saja Adnan merasa kalau dia berusaha dengan sepelan mungkin mengobati Nasya, agar yang diobati tidak merasa sakit.

Ah, masa iya dia benar-benar suka pada Nasya? Tidak mungkin. Gadis itu terlalu sempurna baginya. Bagaimana tidak? Nasya bukan cuma cantik, tapi juga mahir bermain piano. Dan pastinya dia kaya, jelas saja anak pemilik asrama. Asramanya pun bukan asrama biasa. Bangunannya yang seluas ini tidaklah mungkin disebut asrama biasa. Terus, banyak yang bilang dia jenius. Tiga hal itu saja sudah bisa dijadikan bukti yang konkret kalau Nasya Lawden lebih dari sempurna.

Dengan cepat Adnan menggeleng, berusaha mengenyahkan apa yang sempat terlintas dalam pikirannya tentang perasaannya pada Nasya.

Adnan terus saja sibuk bergulat dengan pikirannya selama mengobati Nasya, sampai tidak terasa tahu-tahunya semua memar telah dia oleskan dengan merata. Bukan cuma memar pada wajah Nasya, tapi Adnan juga mengobati memar pada lengan gadis itu. Pokoknya semua memar yang terlihat oleh matanya tidak ada yang terlewat.

Emerald Eyes 1&2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang