Epilog

8.7K 339 13
                                    

Dio mondar-mandir di depan ruang bersalin. Hatinya sangat gelisah dan tak tenang menunggu kabar dari sang istri yang tengah berjuang melahirkan putri mereka. Ibu dan mertuanya hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahnya. Arvi sedang diajak makan siang di kantin oleh Nino.

"Kamu bisa duduk dulu kan, Di? Kami pusing lihat kamu mondar-mandir kayak setrikaan." Dio menoleh kepada ibunya. Masih terlihat raut kecemasan yang kentara di wajahnya.

"Aku cemas Bu sama keadaan Viona di dalam." Ningrum menghela nafasnya.

"Sama kami juga, Di. Tapi kamu harus tenang dan yakin kalau istri dan anakmu baik-baik saja di dalam." Dio hanya mengangguk. Ia menyenderkan tubuhnya ke dinding, berusaha untuk mengusir rasa khawatir dan ketakutannya yang berlebihan.

"Kamu belum makan siang, 'kan? Makan siang dulu gih nyusul Nino sama Arvi!" pinta Alika saat melihat wajah lelah menantunya. Ia merasa tak tega. Dio menoleh sekilas.

"Iya, Bun. Bentar lagi."

"Ayo cepetan makan dulu! Nanti kamu sakit lagi. Jangan sampai kamu pingsan disaat istrimu sedang butuh kamu." pinta Ningrum tegas. Dio menoleh sejenak.

"Nurut sama Ibu! Nanti kalau udah lahir kami pasti kabari." Dio terlihat berpikir. Sesungguhnya perutnya sudah menjerit dari tadi minta diisi. Tapi kekhawatirannya akan persalinan Viona membuatnya lupa segalanya selain berdo'a untuk keselamatan mereka berdua.

"Ayo, Nak! Demi Viona dan putri kamu." bujuk Alika sekali lagi. Akhirnya, Dio mengangguk membuat mereka mendesah lega.

"Yaudah. Aku ke kantin dulu. Kalau udah lahir, nanti segera kabarin aku!" ibu dan mertuanya mengangguk. Ia pun berlalu dari sana untuk menuju kantin, menyusul putra dan adik iparnya yang masih berada di sana.

Ia melihat Arvi dan Nino yang masih berada di meja kafetaria di sana. Ia berjalan menghampiri mereka.

"Belum habis sayang makannya?" tanyanya kepada putranya yang sedang asyik melahap mie gorengnya. Kedua orang itu menolehkan wajahnya pada Dio yang tiba-tiba sudah duduk bergabung dengan mereka.

"Kirain siapa... Ponakanku masih belum lahir, Kak?" tanya Nino sambil menyeruput es tehnya. Dio menggeleng.

"Belum, No. Doa'in aja ya semoga kakak dan ponakanmu selamat dan sehat." Nino mengangguk.

"Amiin... Pasti, Kak." Dio menatap putranya yang masih asyik dengan makanannya.

"Ayah tanya masih belum dijawab. Asyik banget sama makanannya sampai lupa Ayah datang." Nino tertawa pelan. Arvi menoleh sejenak pada ayahnya dan menyengir.

"Makannya belum beles, Ayah. Tapi aku dengel kok tadi suala Ayah." Dio hanya mengangguk.

"Cepetan ya abisin makanannya! Kamu mau kan lihat adik bayi?" Arvi mengangguk antusias.

"Mau, Ayah!" jawabnya dan kembali menghabiskan makanannya yang tinggal sedikit.

"Kak Dio belum pesen makannya?" Dio menepuk keningnya. Sampai lupa dengan tujuannya ke sini yang untuk makan siang.

"Astaghfirullah... Sampai lupa! Yaudah, aku pesen dulu makanan, ya?!" Nino hanya mengangguk. Dio pun segera berjalan menuju warung yang kebetulan sudah tak terlalu penuh untuk memesan makanan. Saat sedang mengantri, tiba-tiba ponselnya bergetar dari saku celananya. Segera dirogohnya ponselnya untuk mengangkat panggilan. Ia keluar sebentar untuk mengangkat telpon.

"Halo, Bu. Ada apa?" tanyanya kepada ibunya di sana.

"Alhamdulillah... Bayinya sudah lahir, perempuan." Dio langsung tersenyum lebar. Hatinya membuncah bahagia.

Red In The SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang