5

12.3K 625 38
                                    

Semua materi pelajaran yang ku terima hari ini, satupun tak ada yang masuk dalam pikiranku.

Mentalku kacau. Aku tak pernah sekalipun membayangkan Kak Hendra bisa setega itu mengatakan hal yang semestinya tak perlu diucapkan.

Meskipun Kak Hendra adalah kakak tiriku, tapi aku menyanyanginya seperti saudara kandungku sendiri. Entah setan apa yang sedang merasukinya.

13.00

Jam pulang sekolah telah tiba.

Aku berniat untuk pulang sendiri menaiki angkutan umum, seperti yang teman-teman lain lakukan.

Aku masih kecewa. Aku tidak mau melihat wajahnya. Apalagi berboncengan bersamanya.

Aku rasa kini aku harus mulai mandiri dengan cara pulang atau berangkat sekolah sendiri.

Sama seperti yang lain, aku menunggu angkutan umum di depan gerbang sekolah. Beberapa sudah ada yang naik sesuai rutenya.

Sekitar 10 menit tibalah angkutan umum yang sesuai dengan rute menuju ke rumahku.

Inilah pertama kalinya aku menaiki angkutan umum. Bagi orang pertama sepertiku ada rasa tidak nyaman karena sesak dan apek. Tapi setidaknya di dalam sana aku bisa berkumpul dengan teman satu sekolah yang ku lihat mereka orang yang sederhana.

Sebuah kenyamanan tersendiri ketika aku berinteraksi dengan orang-orang yang sederhana. Seperti saat di pasar tradisional, disana masih banyak orang-orang dengan moral jaman dahulu. Terkadang mereka akan bercerita kehidupannya jaman dahulu. Dan itu seru menurutku.

***

Sukses!

Ya aku berhasil turun tepat di depan komplek rumahku. Sekarang aku merasa bangga karena bisa pulang sendiri.

Sampai di rumah ku rebahkan tubuhku sejenak di atas sofa. Ku tengok handphone ku...

Dan ternyata 25 kali panggilan tak terjawab.

'Mampus...'

Kak Hendra meneleponku sedari tadi. Tentu saja aku tak tahu. Handphone ku ini sudah ku mode hening sejak dari tadi pagi saat berada di sekolah.

Ku coba untuk meneleponnya balik namun nihil tak dijawab.

Sebenarnya aku berusaha tidak peduli tapi 25 kali panggilan tak terjawab membuatku merinding disko.

Selang beberapa menit sembari masih ku coba menelepon, gebrakan keras terdengar dari luar.

"BENI..!!"

Baiklah pembaca mungkin ini adalah akhir dari hidupku. Suara itu sudah meledak bak bom atom.

"I-iya kak.." mulutku serta badanku melemas serasa otot dan saraf dalam tubuhku putus saat itu.

Sumpah demi 7 lautan, orang ini kesurupan.

Rambutnya acak-acakan. Seluruh tubuhnya berkeringat. Matanya merah. Napasnya ngos-ngosan. Urat-uratnya nampak menyembul keluar.

Jika aku berbaju merah mungkin aku sudah terseruduk olehnya.

Tiba-tiba tangan yang besar menyeretku.

Dalam sebuah pelukan.

Aku tersentak. Dan entah kenapa waktu itu menelan ludah saja sulit seakan-akan tenggorokanku diganjal batu.

"K-kakak kenapa?"

Aku bisa merasakan degupan jantung yang kencang darinya. Tangannya begitu erat memelukku hingga aku sulit mendapatkan oksigen.

Mungkin sudah ada 15 menit kami berpelukan, napasnya sudah mulai teratur. Pelukannya sudah meregang.

"K-ka.."

"Lo kemana aja sih hah?"

"Mau lo apa?"

"K-ka.."

"Gue nyariin lo bego"

"Kakak nangis?"

Kemudian dia diam dan tertunduk.

Saat itu aku sadar kalau yang aku lakukan tadi juga salah. Hanya karena sebuah kalimat yang membutakan hatiku, sampai-sampai aku melupakan pesan ibu.

"Walaupun kalian
saudara tiri,
kamu harus
tetep sayang
sama kakakmu ya"

"Gue minta maaf"

"Iya kak. Aku juga minta ma.."

"Gue takut lo kenapa-kenapa. Apalagi semenjak lo deket sama Roy"

"Gue juga nyesel udah ngomong yang enggak-enggak tadi"

"Udah kak. Nggak usah dibahas lagi. Lupain aja yang udah lalu"

"Lagian ngapain sih lo pulang sendiri nggak bilang gue?"

"Anu... pengen pulang sendiri biar mandiri"

"Besok nggak ada mandiri-mandirian lagi. Pulang, pergi atau kemanapun sama gue"

"Tapi kan.."

"Nggak nurut? Mau gue pukul?"

"Iya kak nurut kok"

Sejahat-jahatnya Kak Hendra, dia tak pernah sekalipun melayangkan tangannya padaku. Cukup kata-katanya dan ancamannya yang membuatku takluk.

15.00

Semua anggota keluarga sudah berada di rumah.

"Nggak usah cerita ibu atau ayah masalah yang tadi. Awas lu"

"Iya kak. Tenang aja. Paling aku cerita pas kakak pertama kali meluk aku. Hehehe"

"Berani ya lu!?"

"Kakak kok wajahnya merah sih?"

"Tau ah!" sembari pergi meninggalkanku.

Kalau dipikir-pikir sejak kecil aku tak pernah mendapatkan pelukan dari Kak Hendra. Dan tadi adalah fenomena langka dalam hidupku.

Entah mengapa wajahku ikut memerah jika mengingat saat Kak Hendra memelukku.

Pelukannya hangat dan penuh rasa sayang. Dalam pelukannya tadi aku merasa aman dan terlindungi.

Bersambung

Pelangi SegitigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang