36. Berhenti Egois!

11.3K 1.3K 61
                                    

Saling menyalahkan gak akan menyelesaikan masalah.

• • •

Jarum jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Namun Adnan masih stand by di kursi meja belajarnya. Bukan, Adnan bukan sedang begadang demi mengerjakan tugas. Mana sudi anak itu merelakan waktu tidurnya untuk belajar atau membaca atau mengisi soal yang menurutnya tidak penting. Adnan memilih duduk di sana karena hanya itu tempat yang pas baginya untuk berpikir. Adnan itu termasuk tipe orang yang tidak akan bisa tidur jika masih ada pikiran yang mendesak di kepalanya. Yang paling mendominasi adalah masalah yang menimpa dirinya dan teman-temannya yang kemungkinan besar akan terancam dikeluarkan dari asrama.

Dia harus sesegera mungkin menangkap pelaku teror itu sebelum Pak Hanung tahu kalau dirinya-lah yang merusak jendela sekaligus mempropokatori teman-temannya untuk menerobos kamar 368. Tapi masalahnya, dia sama sekali belum mendapat gambaran siapa peneror di Lawden Hall. Apalagi, sepertinya pelaku tersebut sudah mengetahui tata letak semua CCTV yang dia dan teman-temannya pasang di beberapa titik penjuru Lawden Hall. Makin sulit saja rasanya untuk menyelesaikan misi ini.

"Lo belum tidur?"

Adnan terlonjak kaget ketika tiba-tiba saja ada bayangan hitam yang berbicara padanya dan langsung duduk di pinggir ranjangnya yang berjarak tidak jauh dari kursi meja belajarnya. Dengan cepat tangannya bergerak mengarahkan lampu belajarnya pada bayangan hitam itu.

"Sialan! Ngagetin gue aja lo," sontak Adnan yang langsung bernapas lega saat tahu kalau ternyata itu adalah Ethan. Adnan menyandarkan punggungnya pada kursi beroda yang ia duduki. "Gak bisa tidur gue."

Tanpa menjelaskan lebih, Ethan sudah mengerti. Dan seakan bisa membaca apa yang ada di pikiran temannya yang satu itu. Makanya tadi, di saat teman-temannya yang lain sibuk menyalahkan Adnan, cuma Ethan yang tidak melakukan hal serupa. Dia tidak mau menambah beban pikiran Adnan. Meskipun sebenarnya, dengan dia menyalahkan atau tidak menyalahkan Adnan, Adnan tetap memikirkannya juga. Adnan memikirkan nasib semua teman sekamarnya yang mendapat masalah akibat ulahnya.

"Gue bingung, gak tau harus ngelakuin apa, Than," ucap Adnan. "Sejujurnya gue juga sama kayak kalian. Gue juga takut dikeluarin dari asrama ini."

"Kenapa?" tanya Ethan, singkat.

"Gue gak bisa ninggalin Nasya di sini. Apalagi setelah gue tau kalau ternyata papanya cukup sering berbuat kasar ke dia. Gue gak bisa mempercayakan tempat ini jadi tempat yang aman buat dia tinggal kalau gak ada gue." Adnan terdiam beberapa saat. Seketika ingatannya kembali pada waktu-waktu dia mendapati Nasya banyak memar. Pun pada waktu terakhir kali ia melihat ada bekas tamparan di pipi gadis itu. "Bahkan di saat ada gue pun, dia gak benar-benar aman. Karena masih banyak hal yang gak gue tahu tentang dia," sambungnya lagi dengan tatapan yang menerawang jauh. Sampai saat menyadari kalau ucapannya sudah melenceng jauh, Adnan menoleh pada Ethan yang nampak masih menjadi pendengar yang baik. "Maaf, ya, gue jadi cerita gak jelas." Tidak tahu kenapa mulutnya terasa bergerak sendiri untuk mengatakan itu semua, di saat sebenarnya ia tidak ingin mengatakannya pada siapa pun.

"Harusnya lo cerita tentang ini dari awal. Pasti mereka bertiga gak akan sepenuhnya menyalahkan lo," sahut Ethan dengan nada tenang.

"Gue gak masalah, disalahin. Karena semuanya emang salah gue."

"Gue gak akan nyalahin lo. Saling menyalahkan gak akan menyelesaikan masalah."

"Makasih, ya, Than."

Ethan tersenyum. "Santai aja."

"Dari pertama kenal lo emang paling beda dari kita-kita. Gue bersyukur bisa kenal lo."

Emerald Eyes 1&2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang