Lembar Ke-65 : Salam Perpisahan

1.4K 64 1
                                    

Pukul 4 sore, kita berempat ngumpul di depan sebuah halte, kita mempersiapkan diri untuk pulang ke tempat masing-masing, Dimoz memilih untuk menginap di tempat Andre, Andy balik ke rumahnya, dan tentu saja aku kembali ke kamar kost-ku.

''Herio ... sorry ya, jangan anggap semua omonganku serius ... aku hanya bercanda!'' ucap Andre di sela-sela perpisahan ini, dia menjabat tanganku lalu memelukku dan cipika-cipiki manja, rempong deh, ah ... tapi cukup membuatku terharu karena Andre mengucapkan itu dengan rasa penyesalan serta mata yang berkaca-kaca, aku tidak yakin apakah ini sungguhan atau hanya acting dia semata.

''Ya, Andre ... aku mengerti,'' sahutku.

''Dan, Andy ... maaf juga, ya ... aku tidak pernah bermaksud menyinggungmu!'' Andre menyalami tangan Andy, mereka menunjukan bahwa damai itu memang indah. Terlihat senyum mereka yang lebih menawan.

''It's ok! ... No problem,'' balas Andy singkat.

''Herio ... thanks ya, gara-gara panjengan aku bisa datang ke Jakarta, aku mendapatkan teman-teman terbaik seperti kalian,'' giliran Dimoz yang memelukku dan tak mau kalah juga memberikan cipika-cipiki di kedua pipiku yang agak chubby ini.

''Ok, Brother ... seperti yang Andre bilang sampeyan pancen the best,'' aku cukup menepuk bahu Dimoz, ''semoga kapan-kapan kita bisa berjumpa kembali!'' imbuhku.

''Aduh ... aku jadi sedih ... rasane pengen mewek,'' Dimoz menyeka butir-butir air matanya yang mendadak mengucur membanjiri kelopak matanya. ''Bersama sampeyan-sampeyan iki ... sungguh sangat menyenangan sekali ... rasanya tak mau berpisah ... terutama dengan kamu, Her ... beneran sampeyan ini luar biasa, udah baik, tidak sombong, dan suka menabung ...''

''Hehehe ... sampeyan biso wae ...'' timpalku terkekeh.

''Koko Andy ... kamu juga baik banget, senajan sampeyan Chino tapi sampeyan tak segan-segan bergaul dengan kita-kita ... sampeyan cocok karo Herio ... mugo-mugo hubungan sampeyan-sampeyan iki langgeng, yo ...'' Dimoz berjabatan tangan dengan Andy

''Embuh ... inyong ora mudeng!'' ujar Andy yang disambut, GERRRR! oleh kami semua.

Kami tertawa dengan terbahak-bahak, prosesi perpisahan yang mengharukan menjadi gelak tawa yang menggembirakan. Andre dan Dimoz memilih naik angkot untuk mengakses tempat tinggalnya, semantara aku dan Andy masih tetap menggunakan bus Transjakarta sebagai moda untuk membawa tubuh-tubuh lelah kami kembali ke tempat peristirahatan yang nyaman.

Untungnya, saat memasuki badan Bus Tije, penumpangnya tidak terlalu berjubel, sehingga aku dan Andy masih mendapatkan tempat duduk. Aku dan pria si mata sipit ini duduk di bangku belakang dan memilih deretan paling pojok agar kami berdua bisa ngobrol lebih dekat dan tak terganggu atau terdengar oleh penumpang yang lain.

Awal perjalanan ini, aku masih berceloteh dan bercas-cis-cus ono ini kucrut dengan teman cowok berkulit putih bersih ini, namun lama kelamaan, mungkin karena efek dari kelelahan tubuh, mataku jadi berat dan mengantuk. Lalu, tanpa sadar aku menjatuhkan kepalaku di bahu Andy, karena letih dan ditunjang dengan AC Bus yang super adem, membuatku nyaman dan akhirnya aku terjebak dalam Sleeping handsome yang mengasikan.

Aku tersadar ketika Andy mengguncang-guncangkan tubuhku dan memberitahukan aku, bahwa kita sudah sampai di halte terakhir yaitu halte Dukuh Atas. Langsung saja aku dan Andy bergegas turun dari bus ini dan berjalan menyusuri jembatan untuk transit menuju Harmoni.

''Herio ... hari ini aku senang sekali ...'' ungkap Andy di tengah jalan jembatan busway yang menghubungkan halte bus Transjakarta koridor 6 dan koridor 1 ini.

''Oh ya ... apa yang membuatmu senang?'' tanggapku.

''Aku bisa berduaan dengan kamu ... jalan-jalan sama kamu ... ngobrol bareng kamu ... dan sekarang aku bisa melihat bola matamu,'' Andy menghentikan langkah kakinya di salah satu sudut tiang jembatan yang angel-nya berlatar belakang patung Jenderal Soedirman. Si bibir tipis ini menarik tanganku dan menghentikan laju kakiku, dia mengaturku untuk berdiri tepat di hadapannya. Matanya yang bening seperti kristal itu menatapku dengan sangat lekat.

''Tak salah ... kamu tuh memang memiliki daya tarik yang begitu kuat seperti medan magnet ... siapapun yang berdekatan dengan kamu pasti energinya akan tertarik dan ingin selalu berdekatan denganmu, Herio ...''

''Andy ... kamu terlalu berlebihan.''

''Memangnya kamu tidak sadar, Herio ... kalau kamu disukai oleh tiga orang laki-laki sekaligus dalam waktu yang hampir bersamaan ...''

''Oh ya ... aku tidak tahu.''

''Tapi aku tahu, Herio ... Entah, aku yakin sekali kalau Andre dan Dimoz itu menyukaimu ... dan mereka memang tidak salah untuk menyukaimu ... karena kamu adalah orang yang termasuk yang sangat pantas untuk disukai ... karena itu aku juga menyukaimu.''

''Hehehe ... aku jadi terharu, aku tidak percaya ini ... apa yang membuatmu tertarik untuk menyukaiku, Andy?''

''I don't know!''

Aku jadi terdiam sejenak, aku memandang wajah Andy yang memasang senyum indah seperti senyuman sang kaisar. Senyuman sederhana, namun punya makna penuh kesan dan daya pesona yang mendalam.

''Herio ... aku ingin ber-selfie bareng kamu disini, boleh?''

Aku menggangguk pelan plus senyuman madu-ku.

Andy menarik ponsel dari saku celananya, lalu dia menyalakan kamera HP-nya itu dan mendekatakan tubuhnya ke tubuhku, sejurus kemudian kami berdua ber-selfie ria dengan pose-pose klise yang biasa orang lakukan.

Puas ber-selfie, kami berdua langsung melanjutkan perjalanan. Kami naik Bus yang ke arah Harmoni. Selama di dalam Bus, kami tidak terlalu banyak cakap karena penumpang terlalu full dan berdesak-desakan.

Di halte Harmoni, aku dan Andy berpisah. Dia ke Mangga Besar aku ke Cempaka Putih.

__Selamat jalan sobat, semoga kita berjumpa kembali.

Tinta Putih Di Lembar HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang