#Diarasa-5

23 1 0
                                    

"Bagaimana?"

"Apanya?"

"Beasiswamu, berhasil?"

"Tidak,"

"Lalu mengapa kau justru tersenyum?"

"Memang apa yang harus dilakukan, Sa? Menangis sejadi-jadinya?"

"Yah, tak begitu juga, tapi kan harusnya wajahmu bergurat sedih!"

"Mengapa harus bersedih?"

"Karena kau gagal,"

"Assa, tidak semua kesedihan harus diperlihatkan. Aku manusia biasa, bohong jika aku tak merasa kecewa dengan hasilnya."

"Lalu?"

"Lagi-lagi semua perihal menerima, Assa. Semua yang terjadi adalah terbaik, aku meyakini itu."

"Aku muak dengan kata-kata bijakmu, Jara."

"Jadi, apa yang harus kukatakan? Mengutuk yang sudah terjadi?"

"Setidaknya kau tak usah bersembunyi,"

"Maksudmu?"

"Matamu menjelaskan segalanya, Jara. Jangan selalu berusaha tegar, kau tetap manusia, sedih itu wajar."

"Kau tahu, Assa. Manusia lebih mengerikan dari hal terjahat sekalipun di Bumi ini."

"Mengapa?"

"Karena manusia bisa saja menjadi sangat baik, atau bahkan menjadi sangat buruk dari yang pernah ada. Kau tahu, hati manusia tak pernah tetap 'kan? Esok bisa saja kau sangat menyukainya. Lalu lusa kau bisa sangat membencinya. Jadi, apa yang kudapatkan dari mengadu pada manusia, Sa? Hanya rasa kasihan atau iba. Dan bagi orang yang membenci kita, hanya ada kata memaki dan senyum puas meremehkan. Hal paling mengerikan itu, saat manusia berubah menjadi tak baik, Assa."

"Memang mengapa jika manusia tak baik, yang penting tidak mengganggu kita 'kan?"

"Itu jelas mengerikan, Sa. Bagaimana mungkin kau tak peduli, jika bisa saja kau yang menjadi manusia mengerikan itu, Assa. Bahkan mungkin telah ada sisi itu pada diri kita masing-masing yang belum dikenali. Aku sangat takut akan hal itu."

"Lalu?"

"Apa?"

"Kau tak percaya pada manusia?"

"Aku percaya, Sa. Tapi tak bergantung. Setidaknya seburuk apapun manusia, dia akan tetap menjadi manusia, bahkan saat nyawanya telah tiada."

"Mengapa manusia bisa jahat, Jara? Bukankah Tuhan terlalu baik pada manusia yang bahkan berlaku buruk di Bumi?"

"Itulah Tuhan, Sa. Terlalu baik. Maha Baik, yang tak mungkin ada yang menyamaiNya. Dia bahkan tetap mencintai manusia yang membangkang-Nya. Kau tahu mengapa? Karena Dia tahu, manusia itu lemah, manusia itu tempatnya salah dan lupa dan Dia Tahu, manusia sangat membutuhkan-Nya. Tuhan memang sebaik itu, Sa. Manusia hanya belum menyadari atau bahkan tak mau menyadarinya. Jika kuungkapkan, kata yang tepat untuk menggambarkannya adalah manusia tak tahu diri, tak tahu berterima kasih. Bahkan kepada Yang Menciptakannya sendiri. Jadi, kau harusnya bisa tahu siapa yang paling mencintaimu kan? Melebihi ibumu, juga melebihi dirimu sendiri."

"Tuhan?"

"Tepat. Aku meyakini itu, Sa. Tuhan terlalu baik padaku, memberikan apa yang kubutuhkan. Jadi, kegagalan yang aku terima bukanlah hal yang besar untuk ku tangisi hari ini. Ada hal yang jauh lebih menakutkan dari gagal, Assa."

"Apa?"

"Seperti yang kukatakan, tak berterima kasih. Kau tahu artinya?"

"Harus bersyukur kan?"

"Kau tambah cerdas. Iya, itu salah satunya. Lalu memperbaiki diri menjadi manusia baik."

"Aku ingin menjadi manusia baik, Jara,"

"Jangan ingin, Assa. Tetapi harus, waktu tak akan menunggu kita menjadi baik. Kita yang harus melampaui waktu, hingga kebaikan itu yang menghampiri kita sendiri."

"Benar. Kau telah menjadi orang baik, Jara, aku bersyukur mengenalmu."

"Belum, Sa. Aku belumlah menjadi manusia baik."

"Mengapa belum?"

"Karena masih banyak hal baik yang belum kulakukan. Kau tahu, Assa. Sebenarnya, tak ada yang benar-benar mengetahui dirimu sendiri. Sekalipun orang yang selalu bersamamu seumur hidup."

"Kau tak mengenalku?"

"Kau juga tak mengenalku. Kau tak bisa kan mengetahui apa yang kurasakan? Tak tahu apa yang sebenarnya ingin kukatakan, tak mengerti apa yang seharusnya bisa kulakukan,"

"Tentu saja! Aku bukan paranormal, Jara."

"Bahkan manusia yang kau sebut paranormal pun takkan bisa, Sa. Itu sangat rahasia, terdalam yang hanya diriku dan Tuhan yang tahu."
"Tetapi mengapa kau biasanya tahu yang kupikirkan, Jara?"

"Bukan tahu, Sa. Tetapi mencoba memahami. Dan wajahmu memang tak mudah untuk menipuku, terlalu polos. Haha,"

"Ish, dasar!"

"Assa.., berhenti memukuliku. Kita lanjutkan perbincangan tadi."

"Baiklah. Aku ingin bertanya, mengapa aku bahkan belum bisa mengenal diriku?"

"Karena kau masih dalam tahap baru menyadari, Sa. Belum mau dan berusaha, semuanya memang sulit tapi tak mustahil."

"Caranya?"

"Pejamkan matamu."

"Lalu?"

"Jangan berbicara, lalu pikirkan sebenarnya hal apa yang benar-benar kau ingin lakukan di Bumi, kemudian pikirkan kembali, apa yang memang seharusnya kau lakukan di Bumi. Bandingkan jawabanmu dan kau akan tahu dirimu."

...

"Aku telah tahu, Jara."

"Itu hanya awal, Sa. Belum jauh bagi dirimu untuk benar-benar tahu."

"Apa selanjutnya?"

"Nanti kuberitahu."

"Baiklah, Jara."


***

11 September 2018

Selamat tahun Baru Islam 1440 H

-senjanala

Diarasa -Dialog Jara & Assa-Where stories live. Discover now