Lembar 9

4.3K 429 25
                                    

Banyu memagut di depan cermin. Melihat refleksi dirinya. Memang hanya mengungkapkan penampilan luar. Tapi, benda itu seakan memperhatikannya.

"Banyu," lembutnya suara Nenek mengalihkan pandangan Banyu. "Cucu Nenek sangat tampan." Ujar Nenek. "Ayo turun, kita sarapan bareng."

Senyum Banyu yang baru saja mengembang luntur seketika. Ketika mendengar kata sarapan bersama, jantungnya mendadak bedegup cepat. Sekian lama, sejak lulus sekolah menengah pertama, Banyu tak pernah ikut sarapan. Dia lebih memilih makan di luar atau menahannya sampai jam makan siang.

"Aku akan sarapan di sekolah, Nek."

"Jangan bohong, ayo." Nenek seperti membaca pikiran Banyu. Dia memaksa dan menyeret Banyu sampai meja makan. Bibir Langit membentuk bulan sabit, karena tersenyum melihat Banyu ikut duduk disamping kursinya.

Aura Bunda, seakan mengintimidasi Banyu, menelanjanginya, ketika dia menyentuh piring. Ingin Banyu melarikan diri saat itu.

"Banyu,"

"Ya Nek,"

"Kapan kamu ada pertandingan?" tanya Nenek disela-sela sarapan pagi yang tak menyenangkan bagi Banyu. Nenek memang tahu dia masuk klub sejak SMA. Dan Nenek belum pernah satu kalipun melihat Banyu tanding.

"Sebentar lagi," ucap Banyu singkat. "Aku selesai. Aku berangkat dulu."

"Nggak bareng Langit?" gerakan Banyu terhenti.

"Aku naik motor. Ntar mesti latihan. Jadwal pulang kita beda Nek." Jelas Banyu, padat dan singkat. Langit yang masih mengunyah manggut-manggut mantap. Bunda? Dia mengabaikan obrolan singkat antara Nenek dan cucu itu.

"Oh, Nenek antar sampai pintu." Nenek ikut beranjak dari kursi. Agak aneh bagi Banyu diperlakukan sedemikian rupa oleh Nenek. Karena tak terbiasa atau karena tidak pernah? Banyu menggeleng, mengusir pikiran jeleknya. Dia seharusnya bersyukur dengan kehadiran Nenek disini. Dia yang selalu siap mencurahkan rasa sayang padanya, selain Langit.

"Banyu!" pekik sang Nenek. Mendekati motor pitung yang sudah siap Banyu tunggangi. "Ini kan motor almarhum Kakekmu." Nenek meraba jok motor yang punya banyak kenangan itu. Tatapannya sendu. Mengingatkan keromantisan jamannya dulu.

"Iya, masih bagus. Jadi aku gunain."

"Iya, dijaga baik-baik." Mata Banyu tak lepas dari pandangan Neneknya. "Kamu hati-hati." Banyu mengacungkan jempolnya, kemudian memakai helm.

"Aku berangkat Nek, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Nenek memandangi punggung Banyu yang semakin menjauh. "Tunggu sebentar lagi."

-BanyuLangit-

"Dah sayang!" mobil yang mengantar Langit, baru saja keluar dari halaman rumah.

"Btari, Ibu ingin bicara."

"Bicara apa lagi si Bu?" Btari merasa tidak nyaman sekarang.

"Kebenaran yang keluarga ini sembunyikan. Fakta yang harus diketahui Banyu dan Langit. Kau bertindak terlalu jauh."

"Cukup Bu, hentikan. Apa Ibu mencoba menyudutkanku?" raut panik tergambar jelas di wajah Btari.

"Kenapa? Apa kau akan terus-menerus menyembunyikan ini dari Banyu dan Langit. Bahwa mereka-"

"Cukup Ibu," Btari menyela ucapan Nenek yang bahkan belum menyelesaikan kalimatnya. Tubuh Btari bergetar, matanya merah menahan tangis. Luka itu muncul lagi ke permukaan. Dia sudah berusaha menguburnya dalam-dalam.
"Tidak perlu dibahas."

"Kau juga tak tahu kan? Banyu menderita disleksia?" pernyataan Ibunya itu seakan membuat kerja otak Btari berhenti. Disleksia? Kenapa dia baru tahu hal itu? Dia pernah mendengarnya, disleksia adalah gangguan perkembangan baca tulis. Tapi tak menyangka, Banyu menderita itu.
"Kau benar-benar terlalu abai dengan masalah Banyu."

"Baguslah. Dia pantas mendapatkan itu." Ibu heran dengan Btari. Bisa-bisanya berkata sesuatu yang tidak pantas sama sekali.

"Btari! Btari!" Btari menutup telinganya dan berlari, meniti tangga dengan cepat. Masa bodoh dengan apa yang dia lakukan. Dia tidak akan pernah menyesal. Catat itu.

-BanyuLangit-

Langit mulai merasa dunianya membosankan. Berkutat dengan buku dan deretan soal, membuatnya lelah lahir dan batin. Pelajaran di kelas kali ini layaknya dongeng, materi yang berasa mengular naga, panjangnya bukan kepalang. Keluar masuk telinga tanpa saringan.

Sebuah ide terlintas dikepalanya, "Pak!"

"Ya Langit,"

"Mau ke UKS. Pusing, Pak." Ya, Langit pusing. Pusing dengar suara Pak guru di depan sana.

"Silahkan." Dalam hati, dia tertawa setan. Dia berjalan santai ke UKS. Mau tiduran saja disana. Langit sedang betul-betul malas level very hard saat ini.

"Akhirnya bebas." Langit membaringkan tubuhnya di ranjang UKS. Kebetulan tak ada yang jaga. Kalau ada, pasti kebanyakan pertanyaan. Disaat siap buat tidur, Langit mendengar suara kikikan, mirip suara cewek. Gorden penyekat Langit buka buat mastiin.

"Bening?"

"Lang." Bening tertawa kikuk. Tangannya menggaruk tengkuk yang tak gatal.

-BanyuLangit-


Greget nggak sih? Kok aku greget sendiri yak?
Terima kasih sudah membaca...
Big love <3

Salam hangat,
HOI

Wonosobo, 22 September 2018.

Banyu Langit ✔ [TERBIT]Where stories live. Discover now