Bab 4

3.6K 198 2
                                    

Happy reading.

Mohon dukungannya.  ^^

Tepat jam 2 siang aku menutup sif, dan di gantikan oleh chef lain.  Belum ada niat untuk pulang ke rumah, aku memilih duduk bersantai di lantai dua bersama Puput. Sambil menikmati secangkir cofelatte capuccino dan roti basball bikinanku. Duduk di balkon yang langsung disuguhkan pemandangan langit biru serta dengan jelas menyaksikan hiruk pukuk jalanan. 

Hati ini masih belum kuat menemui ayah dengan wajah datarnya ketika berpapasan denganku nanti di rumah. Ditambah sikap bunda juga tidak jauh beda. Huff, coba saja kedua orang tuaku tidak seegois itu.

Dosa gak sih bilang orang tua egois?

Entahlah!

Bagaimana aku tidak berfikir begitu. Mereka selalu memaksa kehendak. Si anu baik kok, si anu rajin, si anu bertanggung jawab, si anu ini itu, terima saja lamaran dia. Ah, gak semua orang bisa menerima lamaran itu dengan mudah dari sebuah perjodohan. Iya kan? Kenapa mereka gak mau sedikit saja memikirkan perasaan anaknya.

Kadang aku salut sama mereka yang berhasil di jodohkan hingga menikah, memiliki anak. Bagaimana cara mereka mempersatukan diri? Mengenal satu sama lain secepat itu. Yang hanya ketemu satu kali, sebulan kemudian langsung ijab kabul. Waw dahsyat! Mungkin aku bukan bagian dari mereka.

Aku memandang Puput yang tengah sibuk dengan ponselnya. Sesekali bibir kecilnya menyunggingkan senyum hingga pipi berisi itu ikutan mengembang. Terlihat sangat seru sepertinya. Tak ada keinginan untuk mengganggu. ku raih cangkir cofelatte itu. Menyandarkan tubuh dan mulai menyicipinya dengan ujung bibir.

Sungguh nikmat kopi ini, harum wanginya semerbak ke penciumanku.

Dulu aku tak begitu suka dengan kopi, sejak kenal dia jadi ikutan suka. Dia, seorang lelaki yang membuat aku menunggu begitu lama. Jadi keingat masa-masa itu.

☕☕☕

Miyas Alvino.

Dia seorang pencinta kopi, dan jago bangat bermain gitar. Setelah pulang sekolah dia sering mengajak aku untuk singgah di sebuah kafe. Kadang kami pergi berlima dengan teman yang lain, tapi tumben saja hari ini ia hanya mengajak aku. 

Setiba di cafe, dia pesan kopi hitam dengan sedikit gula. Aku meringis ketika mendengar permintaanya itu pada barista. Apa rasanya kopi tanpa gula? Padahal kopi hitam sangat pahit. Bukannya sesuatu itu harus ada rasa manisnya supaya kita bisa menikmati. Seperti hidup tepatnya. Selain ada asam, asin, pahit, harus ada juga donk saat manisnya.

Setelah pesanan kami tiba, mulutku geli untuk tidak bertanya, "Vin, Emang enak minum kopi seperti itu, apa nggak pahit?"

Ia membawa cangkir berisi kopi ke hadapannya dengan satu tangan, "Udah ada kamu yang manis duduk di hadapanku, Ayes. Makanya gula nggak terlalu di butuhkan," dia berbicara dengan senyum usilnya. Lalu dengan santai menyeruput kopi itu dengan pandangan masih mengarah padaku.

Aku tahu dia sedang becanda, dan aku tahu itu gombalan yang udah umum banget di kalangan remaja maupun dewasa. Aku sering juga menemukan gombalan seperti itu di novel-novel romantis. Entah kenapa kalimat yang terucap di bibirnya, berhasil membuat aku tersipu.

Untuk menormalkan jantung, aku memutar bola mata jengah. Berpura-pura tak suka, Biar tidak ketahuan kalau di dalam sini sedang berjoget itik ala zaskia gotik.

"Kamu tau manfaat kopi hitam ini?" aku menggeleng cepat dari pertanyaannya, "Air kopi nggak hanya semata-mata berwarna hitam, selain manfaatnya melindungi kita dari segala macam penyakit, kopi ini juga mengundang kecerian bagi si penikmat, dan memperpanjang umur."

Penantian Ayesha (Lanjut S2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang