17. Tanya Tanpa Jawab

9.1K 945 21
                                    

Kenapa gue harus jatuh cinta, di saat cinta cuma bisa menyakiti perasaan gue?

• • •

Untuk yang ke sekian kalinya, kedatangan Nael di rumahnya sendiri disambut oleh pemandangan yang sangat tidak mengenakan baginya. Nael mendapati mamanya sedang bercengkrama di ruang tamu, dengan seorang pria yang Nael sengaja tidak pernah ingat namanya. Tapi Nael tahu, pria berjas licin dengan perawakan gagah itu adalah 'teman dekat' mamanya.

Saat masuk, Nael berlaku seakan tidak melihat apa-apa. Tidak juga menganggap keberadaan Nita dengan tamunya itu. Nael melengos begitu saja. Tanpa salam, tanpa pula permisi.

"El, duduk dulu sebentar, Nak. Ada yang Mama ingin diskusikan sama kamu,"

"El capek!"

Seketika Nael merasa ada tangan lembut seseorang yang memegang tangannya, menahannya untuk masuk. "Sini dulu, Sayang. Mama dan Om Irfan ingin membicarakan sesuatu yang penting denganmu, Nak."

Dengan gelagat yang terlihat jelas tidak senang hati, suka tidak suka Nael harus berbalik lagi lantaran bahunya digiring oleh Nita. Nael duduk di sofa yang bermuatan satu orang, sementara Nita dan Irfan duduk bersebelahan di satu sofa panjang yang sama.

"Apakabar Nael?" Irfan nampak bertanya basa-basi dengan seulas senyum di wajahnya. Meskipun Irfan sudah hafal betul, kalau yang terjadi setelahnya dapat dipastikan ia hanya mendapat 'kacang' gratis dari Nael.

"Hm," Nita berdeham, bingung ingin memulai bahasan dari mana. "El, kamu tahu kan kalau hubungan Mama sama Om Irfan ini serius?"

"Nggak usah bertele-tele, Ma. Langsung aja, sebelum El bener-bener muak."

"Oke. Mama dan Om Irfan sepakat, akan menikah bulan depan."

Bola mata Nael yang semula berpaling, dalam sedetik bergerak menatap Nita. "Secepat itu, Ma?" tanyanya, tak percaya.

"Iya, Nael. Om tidak enak, jika terus-terusan menjalin hubungan dengan mama kamu, tanpa adanya ikatan yang pasti." Kini giliran Irfan yang mencoba untuk memberi jawaban.

"Mama nggak bisa cuma memikirkan diri Mama sendiri. Gimana nanti sama Farah, Ma?! Mama baru dekat dengan dia aja, Farah sekarang udah nggak mau tidur bareng Mama. Apalagi kalau Mama menikah sama dia?" Nael menunjuk tajam ke arah Irfan, walau matanya justru menikam sepasang mata Nita. "Coba Mama pikir, Farah itu masih kecil. Apa pantas kalau nanti anak sekecil itu, yang seharusnya nggak ingin jauh-jauh dari mamanya, tapi malah bersikap sebaliknya? Takut sama mamanya sendiri," sambungnya dengan intonasi yang entah dapat dikategorikan kecewa atau marah. Yang jelas Nael hanya tidak akan mungkin bisa menerima begitu saja keputusan sepihak mamanya itu.

"Kalau soal Farah, Mama pikir seiring berjalannya waktu dia bisa menerima Om Irfan, kok. Cuma butuh beradaptasi lebih aja."

"Nggak, Ma! Kalau Mama tetap melanjutkan ini semua, El anggap Mama nggak sayang lagi sama El dan Farah," tekan Nael, sebelum akhirnya ia berlalu dengan napas yang terburu oleh emosi tertahan di dadanya. Tidak habis pikir lagi dengan mamanya.

🌺

Seperti seorang bernyawa namun tidak punya jiwa, Nata duduk di pinggir ranjangnya. Ketika Naya mengatakan bahwa seseorang yang mengirimkan surat di dalam laci meja selama ini adalah Nael, kini Nata sama sekali tidak tahu bagaimana ia harus bereaksi. Di satu sisi Nata merasa lega karena Naya tidak mengetahui yang sebenarnya. Akan tetapi tidak dapat Nata elakkan, bahwa di sisi lain ia juga sakit, ketika Naya mengira, adalah Nael yang selama ini menaruh hati untuk gadis itu.

Nata juga mempertanyakan, bagaimana bisa Hellen mengira dirinya itu adalah Nael? Sedangkan faktanya bahwa yang Hellen lihat itu adalah dirinya. Nata ingat sekali, setiap kelas Naya telah sepi selepas bel pulang berdering, ia selalu menyempatkan diri untuk ke kelas itu hanya untuk menaruh selembar kertas yang telah dituliskan ungkapan perasaannya yang tak pernah terungkapkan sebagaimana mestinya.

Lost MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang