Pengakuan

4.3K 453 23
                                    

Sepulang sekolah, Gibran langsung pulang. Membersihkan badannya, dan bersiap-siap menuju tempat kerjanya. Menjadi barista malam sekaligus murid SMA memang cukup sulit baginya, membagi tugas, apalagi jika esok harinya ada ulangan, Gibran harus belajar sambil melawan kantuk dan sekaligus melayani customer.

Ayahnya belum pulang. Menginap bersama bosnya ternyata benar terwujud, sehingga Gibran harus bertahan dengan uang 300 ribu selama seminggu. Bayangkan, hari ini saja Gibran hanya makan satu porsi batagor yang dihargai 10 ribu. Perutnya keroncongan, namun waktu sudah menunjukkan pukul setengah 6, dan sif nya dimulai jam 6. Merasa tak ada waktu makan, Gibran menyambar jaket dan kunci motornya, meninggalkan apartemen.

Jumat sore ini cukup ramai pengunjung, mengingat terbatasnya tempat duduk, kali ini hampir tidak ada bangku yang kosong. Gibran buru-buru meletakkan barang-barangnya, menuju ke counter dan mulai melayani pelanggan pertamanya.

Hingga waktu menunjukkan pukul 9 malam, Gibran masih terduduk di belakang counter. Belum ada pelanggan baru, namun cafe belum sepi. Jalanan di depan cafe cukup ramai, namun suasana di cafe tetap nyaman dan kondusif. Membuat banyak orang rela duduk berjam-jam hanya menegak segelas kopi, menikmati kenyamanan malam hari.

Pintu kaca terbuka, bunyi bising kendaraan menyelinap masuk untuk sementara. Gibran mengintip dari belakang mesin kasir, seorang wanita berambut merah gelap, dan pakaiannya yang modis, membuat Gibran sontak kaget, itu adalah Cecil, Ibu Ben.

"Mas, Cappuc-- Lho?! Gibran? Ngapain kamu disini?" ucapnya kaget, membelalakkan matanya yang berlapis softlens itu.

"Eheh, i-iya tan... Saya kerja part-time disini." Gibran terkekeh.

"Oh ya?" Cecil masih tak percaya.

"Iya, tan..." Gibran masih tersenyum. "Tante pesen apa? Biar saya bikinin."

-

"Iya tan, jadi yaa... untuk bantu-bantu Papa aja sih.." ucap Gibran yang sekarang duduk berhadapan dengan Cecil.

"Ckckck... Hebat ya kamu. Kecil-kecil pemikirannya udah dewasa." Cecil menyeruput cappuccino hangatnya. "Liat tuh, si Ben... dirumah jangankan bantuin orang tua, belajar aja jarang!" keluh Cecil, disusul kekehan Gibran.

"Udah makan belum kamu?" tanya Cecil lagi.

"Udah kok tan..." Gibran berbohong.

"Ah jangan bohong, emang tante ga denger tuh perut kamu bunyi dari tadi." Cecil melirik Gibran sambil menarik ujung bibirnya.

Gibran malu bukan kepalang, "Eheheh iya tan.. Nanti saya beli makan."

"Eeh, gausah... ke rumah tante aja lagi! Kamu selesai jam berapa?" tanya Cecil.

"Jam 11 tan, tapi gausah repot tante... Saya bisa kok beli sama anak-anak yang lain." Gibran mengarahkan jempolnya ke belakang, menunjuk pegawai cafe yang lain.

"Aaah, gapapa! Udah jam setengah 10 kok, dikit lagi! Tante tungguin aja!"

"Eh tapi tan--

"Udaah, tante tunggu di mobil ya...Motor mu kayak biasa, Pak Sirlan aja yang bawa."

Gibran mendesah, melihat Cecil yang melenggak keluar. Ia merasa sungguh tak pantas ditunggu sampai jam 11 seperti ini. Namun tak bisa dipungkiri, ia bersyukur karena bisa menghemat uangnya dan memenuhi isi perutnya yang sudah meronta-ronta.

Usai berkemas dan berpamitan kepada teman-temannya, Gibran berlari kecil keluar cafe, berharap Cecil meninggalkannya karena rasa tak enak nya.

Tak disangka, mobil Range Rover hitam itu masih terparkir di depan cafe, dengan Pak Sirlan yang setengah duduk di motor Gibran,

Good Enough [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang