2. Lempeng kedua

730 15 1
                                    

Komandan Horemheb terbatuk-batuk....
“Tak pernah terlintas dalam pikiranku bahwa suatu saat akan memerlukan bantuan dari abdi Raja Kair Buta!” Para pemberontak yang terkumpul secara rahasia di masa pemerintahan Akhenaten dan seluruh perlawanan yang tumbuh diam-diam mencapai puncaknya pada pemberontakan yang dipimpin Horemheb. Saat Raja Akhenaten berkuasa, para pendeta langsung diasingkan olehnya setelah naik tahta. Raja yang menolak untuk hidup seperti pendahulunya ini juga memalingkan wajah dari kepercayaan dan keyakinan raja-raja sebelum dirinya. Meninggalkan Kota Teb dan Memphis, kemudian membangun sebuah peradaban baru di Amarna sebagai simbol kepercayaan terhadap Tuhan yang Satu... Namun, seperti ungkapan peribahasa yang berkata, ‘air dapat tertidur, tapi musuh tak pernah tidur’ maka di bawah selimut ketenangan negeri bergolak suatu persekongkolan jahat. Komandan para pemberontak, Horemheb, terus mengumpulkan para pendeta
yang telah diasingkan dan bertekad akan datang untuk menghancurkan Amarna...
Bersama orang-orang yang senang merampas seperti dirinya, tumbuh besar di Teb, dan diiringi berhala-berhala yang dipalingkan oleh Akhen, mereka berangkat menuju
Amarna seraya terus membangun kekuatan. Memang, setelah Akhen menyatakan Amarna sebagai ibukota kerajaan yang baru, para pendeta Memphis dan kaum bangsawan tak pernah memutuskan hubungan dengan sekutu mereka di Teb yang merupakan ibukota lama. Di sisi lain, Amarna adalah surga yang tersembunyi di antara Memphis dan Teb. Kehidupan dan suasana Amarna merupakan perwujudan dari kenangan akan hari-hari Nabi
Yusuf. Kota ini tak menyadari kebencian yang telah terkumpul di sekelilingnya, seakan kebencian ini tertidur bertahun-tahun di antara daun-daun artichoke dan bunga-bunga teratai...
Dan tibalah waktunya. Jalan yang ditempuh oleh Horemheb dan pasukannya membawa mereka menusuk Amarna, kota Aton Tuhan Tunggal, seperti pembalasan dendam oleh Kota Teb yang terabaikan dan tuhan-tuhan lama yang telah ditinggalkan. Beruntunglah Akhen yang menyerahkan jiwanya di waktu yang tepat. Beruntunglah Raja Matahari tak harus melihat apa yang dilakukan oleh Horemheb dan para perampas terhadap kota suci Amarna... Horemheb dan pasukannya menyerang kota dari empat arah. Menghancurkan kota Aton seperti banjir bandang yang menelan semua yang ada di hadapannya, menaklukkan pusat kerajaan, membunuh semua pewaris tahta dan para abdinya, meninggalkan para wanita dan anak-anak untuk dirantai dan dijadikan budak.Tak hanya kalangan istana saja, seluruh golongan yang mengabdi kepada Amarna, seperti para seniman, penduduk desa, peternak, kaum Ibrani yang sebelumnya menyebar di Goşen dan kemudian tersebar ke seluruh Mesir, serta semua penduduk Amarna tanpa memandang umur dibunuh atau
dipenjarakan...
Apa yang mereka lakukan merupakan perwujudan dari ‘ramalan Amon-Ra’, tuhan Mesir yang ditinggalkan oleh Akhen.Begitu kata para penyerbu...
Menurut sudut pandang para penyerbu, mereka adalah pasukan yang ditugaskan dalam ramalan itu... Sekarang giliran mereka...
Akhen yang disebut sebagai ‘raja yang tak tahu balas budi’, telah melakukan dosa besar dengan menolak agama banyak tuhan Mesir. Sekarang, dia harus mendapatkan hukuman. Aton, Tuhan Tunggal yang Akhen percaya dan yakini, harus dihapuskan dan dihancur leburkan dari seluruh inskripsi, kuil, tempat pemakaman, dan dokumen-dokumen resmi. Bahkan, lebih baik lagi, dilupakan selamanya... Mengubah sejarah seakan tak pernah terjadi. Sebenarnya, melakukan perubahan sejarah merupakan pekerjaan yang mudah bagi para penulis yang bertugas mencatat sejarah Mesir. Para penulis ini selalu memandang lempeng- lempeng catatan sejarah dengan senyum pengkhianat dan
menutup telinganya dari kebenaran... Zaman seperti sebuah pemainan bagi mereka. Menuliskan zaman sesuai keinginan sang Raja, sesuai kehendak mereka. Ketika sejarah Mesir ditulis di atas permainan politik, seluruh catatan yang berdiri tegak seperti sebuah rahasia dan teka-teki, turun-temurun selama berabad-abad menjadi seperti kain-kain yang menutup kebenaran... Para penulis menutup kebenaran dengan rapi,
terselubung oleh kecurangan yang rapi dan berseni... Semua unsur Tuhan yang Tunggal yang diyakini oleh Raja Akhen dan Nabi Yusuf beserta para pengikutnya akan dihancurleburkan dari ingatan rakyat Mesir. Sebenarnya, ini merupakan sebuah peperangan terhadap kalimat yang tertulis. Tulisan itu akan melapisi kata-kata, kemudian menutup,memusnahkan, dan dilupakan dalam batin. Para raja dan penulis yang tenggelam dalam kekuatan yang diberikan oleh tulisan-tulisan itu berpikir bahwa mereka sendirilah yang menuliskan dan menentukan takdir. Tapi, kata-kata lah yang melahirkan tulisan. Dan kata- kata ada sebelum tulisan. Dan hanya kata-kata yang akan selalu ada setelah tulisan...
Tulisan-tulisan Mesir yang membuka peperangan dengan kata-kata Ilahi hanyalah sebuah kisah belaka...
Ketika dilihat dari sudut pandang luar, sebenarnya kejadian yang terlihat seperti peperangan sebuah agama ini tak lain hanyalah perebutan kekuasaan dari para pendeta dan lingkup garis keturunan yang memerintah Mesir. Raja Akhen yang meneruskan sistem pemerintahan yang dimulai oleh ayahnya, merencanakan untuk mengusir para pendeta dan bangsawan yang menyatakan memiliki bagian dalam kekuasaan dan kekuatan kerajaan. Rencana itu berhasil ia wujudkan. Namun, seperti perkataan ‘tak pernah tertidur’ yang diperuntukkan bagi Sungai Nil, kepercayaan dan kebiasaan lama juga tak tidur, bahkan menunggu tibanya waktu yang tepat tanpa pernah memejamkan mata untuk kembali.
Dan Amarna... Telah takluk... Akhirnya, kisah Kota Matahari
yang menceritakan Raja Akhen terkubur dalam dinginnya air Sungai Nil. Kemudian, tak ada satu pun para penulis arsip terkenal yang mencatat peradaban Mesir berani membahas mengenai Amarna dan Raja Matahari. Lembaran-lembaran kertas surat keputusan yang diterima oleh para penulis arsip, ketika tiba pada pembahasan mengenai Akhen dan Tuhan Aton,
membuat mereka terdiam menggigil ketakutan, mematahkan
pensil-pensil... Duduk bersilang di tempat menulis. Dan ketika mereka mencatat peristiwa-peristiwa sejarah dengan serius, setiap kali datang giliran ‘Raja yang Tak Tahu Balas Budi’, mereka gemetar sampai ujung jemari. Mereka diliputi rasa
takut terhadap hukuman potong tangan yang akan diterima...
Pemakaman para penulis arsip yang penuh dengan kuburan berisi potongan tangan, seiring pergerakan waktu, merupakan sebuah tanda yang membuktikan bagaimana para pendeta memantau mereka begitu dekat.
Zaman terbengkalai dengan perantara tulisan di Mesir. Oleh karena itu, para penulis dikenang sebagai ‘pelayan zaman’ dan apa yang mereka kerjakan disakralkan dan dikeramatkan oleh pemerintah dan pemuka agama... Mereka dipilih setelah melewati pendidikan yang berbeda dan sangat sulit. Anak-anak yang baru belajar berjalan yang terdaftar pada sekolah penulis, belajar bagaimana memegang pena di hari- hari awalnya bersekolah. Bertahun-tahun mereka dilatih
untuk bisa membawa dan merangkai pena yang terbentuk dari beberapa bagian, meliputi tinta, pot tinta, ujung-ujung senar
yang berbeda ukuran, dan bulu-bulu burung. Di samping itu, mereka pun mendapatkan pendidikan teknik mengatur napas. Mereka tak diperbolehkan mengambil dan mengeluarkan napas dengan cepat seperti yang biasa dilakukan oleh anak-anak Mesir lainnya. Ketika merasa
jenuh, mereka tak diperbolehkan berlari dan berkeringat. Gugup dan batuk merupakan kebiasaan yang paling dilarang dalam sekolah penulis arsip... Mereka mengambil napas panjang sebelum memulai menulis sebuah huruf, kemudian
memegang erat pena sehingga tangan tak bergetar atau goyah sampai penulisan huruf selesai. Para guru menamai ini sebagai ‘kekonstanan huruf’. Untuk menulis dengan baik, kontrol napas adalah segalanya. Para penulis arsip yang hanya memiliki hak untuk bernapas satu kali ketika menuliskan sebuah huruf, seiring dengan waktu menjadi piwai sehingga mereka menjadi seniman besar. Bahkan, banyak tersebar dari telinga ke telinga mengenai legenda tentang penulis yang menyelesaikan satu
lembar tulisan tanpa bernapas.
Ah Aton, Ah Akhen... Berapa banyak tangan para penulis yang telah terpotong karena nama kalian ketika terlintas menyebabkan napas tergesa dan tangan gemetar...
Ketakutan ini begitu dalam tertanam di hati para penulis seiring dengan waktu... Dan sekali lagi, tak akan ditemukan nama Tuhan Aton maupun Akhen dalam lembar-lembar dokumen resmi kerajaan...
Pelarangan yang diberlakukan secara paksa ini mengadili zaman tanpa bahasa...

Horemheb dan pasukannya yang ganas memporak- porandakan kota Aton. Pemakaman-pemakaman dihancurkan, gudang-gudang, dan lumbung-lumbung gandum dibakar. Sumber mata air yang jernih, perkebunan kurma yang panjang tak berujung, dan lahan-lahan perkebunan yang diberkahi
tak luput dari penghancuran. Berhala-berhala dan tugu-tugu
dibangun dengan megah. Semua buku atau pelajaran Matahari
yang menjadi simbol kepercayaan terhadap Aton Tuhan Tunggal dimusnahkan...

Perpustakaan yang memuat tulisan-tulisan dan dokumen- dokumen resmi dilahap api selama kurang lebih satu minggu. Langit Amarna yang tak beruntung diselimuti asap hitam selama tujuh hari tujuh malam. Abu gulungan kertas menghujani seluruh kota...
Sementara itu, Pangeran Utara salah seorang putra Raja Akhen berhasil selamat dari pembunuhan masal karena tak sengaja diduga sebagai anak penduduk biasa, memberikan harapan kemenangan total bagi Komandan Horemheb yang ingin membawanya sebagai tawanan pribadinya. Namun, setelah pertempuran berdarah di Amarna, ia tak bisa bersaing dengan para pendeta dari Memphis. Horemheb pun menghentikan peperangan dan memberikan pewaris kerajaan kepada mereka, yang berarti memerintahkan pusat kerajaan kembali ke ibukota lama, Memphis...
Pangeran muda yang mendapatkan luka serius di bagian kepala dan kakinya ini, menurut surat-surat yang bersandi, beralih dari Amarna ke Memphis bersama keluarganya yang tersisa...
Perkataan Horemheb, ‘Tak pernah terlintas dalam pikiranku bahwa suatu saat akan memerlukan bantuan abdi Raja Kair
Buta’ bukanlah omong kosong...
Tapi, bukankah satu minggu yang lalu kedua mata Apa-Aton disentuh dengan besi panas sebagai hukuman?

Sambil berseru, dia berkata, “Huh, Apa-Aton...”.

Sambil menebaskan pedangnya ke kanan dan kiri seraya menjungkirkan barang-barang di sekelilingnya, Horemheb berteriak keras.

“Sungguh terkutuk, engkau bukan Aton. Namamu hanya Apa, milik Amon yang suci! Sungguh terkutuk Aton dan orang- orang kair pengikutnya!”
Meskipun kedua tangannya dirantai, dengan darah yang mengalir dari punggungnya, Apa dipaksa berlutut oleh para
pengawal Horemheb.

“Dalam dokumen-dokumen resmi, nama ini akan menjadi Apa-Amon. Wahai abdi Raja Kair Buta, jika kamu ingin hidup, kau akan mengabdi padaku. Aku sudah memberikan kabar kepada para penasihat kerajaan di Memphis, kepala pendeta, dan perwakilan pendeta di seluruh negeri bahwa kau adalah seorang yang bertobat kepada tuhan kita. Sekarang, kita akan mengumpulkan seluruh penduduk Amarna yang bertobat,
anak-anak pewaris kerajaan, dan kerabat-kerabatnya untuk berangkat menuju Memphis. Tugasmu sebagai Apa-Amon adalah mencatat seluruh informasi tentang masyarakat, para permaisuri kerajaan, serta pewaris kerajaan yang masih hidup berkat belas kasih dan ampunan Amon-Ra. Dalam waktu tiga hari, kita akan siap untuk berangkat.”
Titah Horemheb menggetarkan seisi ruangan, meninggalkan Apa yang diam-diam masih tetap menyimpan kenangan Raja Akhen dan keyakinan terhadap Tuhan yang Satu...

🍁🍁🍁

Maaf kalo ada typo dan penulisannya masih acak-acakan ya 😊😊😊

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 21, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Asiyah 🍁Sang Mawar Gurun Fir'aun 🍁Where stories live. Discover now