2018 : 08

1K 100 8
                                    

yeay! masih hari selasa!

sebenernya udah lumayan banyak tulisan di chapter ini, ketika kemudian... pet! mati listrik ._. baterai laptop melemah pun listriknya belum nyala hakhakhak :< untungnya sebelum laptop mati kehabisan daya, listriknya nyala.

aku bener-bener berterima kasih atas vote dan comment di chapter-chapter sebelumnya ya ^^ untuk para pembaca yang baru gabung, selamat datang! semoga ceritanya babang bram dan neng kia tidak mengecewakan >.<

so seperti biasa, read-vote-comment dan bantu benerin typo akan sangat diapresiasi.

enjoy!


---


Semarang, Juni 2018, pagi menjelang siang hari


Bram menatap layar ponselnya dengan mata menerawang. Di sana tampak foto kekasihnya—atau setidaknya dia masih menganggap Kia begitu—yang sedang tersenyum ke arah kamera dengan latar belakang penampakan Tebing Breksi di Jogja. Kia sempat mengunjungi Tebing Breksi saat pulang ke kampung halamannya lebaran kemarin.

Foto tersebut dijadikan foto profil WhatsApp dan Bram, seperti biasa, mengunduh foto tersebut. Tentu saja demi kepuasannya sendiri. Kia memang jarang berswafoto, ditambah lagi mereka tidak pernah berfoto bersama. Maka dari itu, meskipun cara yang dia pakai sedikit terkesan 'sakit', yang penting ada foto Kia tersimpan di ponselnya.

Meskipun bibir Kia menyunggingkan senyum, matanya tidak ikut tersenyum. Samar-samar terlihat kantung hitam di bawah matanya. Jika hanya sepintas dilihat, memang tidak akan terlihat. Tapi Bram, lagi-lagi seperti biasa, suka sekali memperbesar foto Kia demi menuntaskan kerinduan. Barulah di situ dia menyadari ada kantung mata tersebut. Kia memang menyamarkannya dengan riasan, mungkin alas bedak atau apalah itu. Tapi, riasan itu sedikit luntur karena keringat. Tatapan Kia yang tampak sayu pun seakan mempertegas dugaannya.

Terbersit rasa sakit seperti dicubit dalam hati Bram. Apa yang membuat Kia selelah itu? Apakah pekerjaan gadis itu, atau malah dirinya? Apakah Kia baik-baik saja tanpa dirinya, atau malah jadi tidak bisa tidur memikirkannya?

Bram menghela nafas, merutuki kepercayaan dirinya yang terlalu tinggi. Belum tentu Kia rindu, tapi sudah tak terelakkan jika Bram kangen. Ingin sekali dirinya bersua lagi dengan Kia. Kalau saja mereka sudah halal, Bram tidak akan menunda untuk mendekap gadis itu erat-erat agar tidak lepas lagi.

Lucunya, kerinduan itu seperti menciptakan sebuah ilusi. Bram seakan sedang berhalusinasi; dia melihat Kia berdiri di pintu masuk ruangan tunggu cuci mobil dan motornya. Di matanya, Kia terlihat cantik sekali dengan pashmina berwarna hitam bermotif, blus putih, dan celana bahan berwarna abu-abu terang. Riasannya tetap sederhana, namun Bram masih dapat melihat dengan jelas warna merah di bibir gadis itu. Bibir yang terbuka, dengan mata yang juga membelalak.

"Mas... Bram?"

Wow, batin Bram. Halusinasinya sudah makin parah. Sosok Kia itu bahkan bisa memanggil namanya. Apa telinganya sudah butuh diperiksakan ke dokter THT? Apakah dirinya sendiri sudah harus konsultasi ke psikiater?

"Kenalanmu?"

Lamunan Bram buyar ketika sosok pria di samping Kia itu angkat bicara. Bram mengernyit. Dia mengamati pria tersebut yang juga menatapnya dan Kia secara bergantian. Awalnya, dia bingung mengapa ada pria lain dalam halusinasinya. Namun saat sosok Kia itu mengangguk, Bram seolah tersadarkan.

"Lho?" selanya. "Kok kamu ada di sini, Kia?"

"Emm... saya lagi ada tugas di sini, Mas..." jawab gadis itu dengan terbata-bata.

TraveloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang