Hantu Penunggu Hutan

42 11 0
                                    

Kilatan flash kamera sesaat menyinari sisi hutan gelap saat aku mengambil gambar pepohonan rindang di depan. Menoleh ke belakang, terlihat Riko dan Ibra masih juga belum berhasil memperbaiki mobil kami.

"Gimana?" Gina mendekati Ibra yang sedang mengelap tangan penuh olinya dengan kain lusuh dari bagasi. Ibra menatap Gina sekilas sambil menggelengkan kepala.

"Kayaknya overheating, ada beberapa kabel yang putus, makanya ga nyala pas distarter." Ibra melempar kain kotor dari tangannya ke Riko yang dengan mudah menangkapnya. "Karburatornya juga tersumbat, entah kalo ada masalah lain, agak susah ngeceknya saat gelap gini."

"Terus?" selaku.

"Kita cari tempat buat istirahat malam ini, gua ama Ibra bakal siapin tendanya," Riko menjawab pertanyaanku datar.

"Ha? maksudnya? kita nginep di sini? di tengah antah berantah gini?" teriak Gina setengah histeris. Ibra dan Riko terlihat memutar bola mata, mungkin lelah dengan keluhan Gina yang tak ada habisnya.

Ibra membalikkan badan ke arahku. "Ayo," ajaknya, terus berlalu mengikuti Riko bersama Gina yang masih terlihat tidak senang dengan kenyataan kalau kami harus bermalam di hutan. Kalau harus jujur, akupun keberatan harus berada di tempat mengerikan ini, namun kami hampir tidak punya pilihan lain.

Kami tak perlu berjalan terlalu lama sebelum akhirnya menemukan tempat yang cocok untuk mendirikan tenda. Di dekat sebuah sungai kecil, terdapat tanah lapang di antara pepohonan rindang. Sinar bulan yang terlihat cukup terang, membuat tempat ini tak semengerikan bagian lain dari hutan ini.

Aku duduk di bawah pohon kayu besar bersama Gina sambil menunggu Ibra dan Riko mendirikan tenda untuk. Tiba-tiba aku terperanjat saat Gina memukul lenganku cukup keras.

"Nyamuknya gede banget, nih," jelasnya menjawab tatapan bingungku.

"Done." Jawabanku tertahan oleh suara Ibra. Aku bernapas lega melihat tenda yang sudah selesai terpasang.

"Thank God, gua dah capek banget ini sumpah." Aku hanya melihat Gina yang segera memasuki tenda tanpa basa basi.

"Kalo bukan sepupu gue dah gue tinggal tu anak." Aku tertawa mendengar keluhan Riko.

"Jangan sampai dia denger lo ngomong gitu." Riko mengangkat bahu seolah mengatakan tidak peduli.

"Yaudah, kamu tidur aja dulu, gue ama Riko tar jagain di sini," ucap Ibra, aku tersenyum dan menuruti sarannya, mataku memang sudah sangat mengantuk

***

Tidurku terganggu saat tangan halus mengusap-usap lenganku, bersamaan dengan suara desisan lembut dari arah belakang.

"Apaan sih, Gina." aku menepis tangan Gina dan bermaksud melanjutkan tidur saat pintu tenda terbuka.

"Lega juga akhirnya." Mataku terbuka lebar mendengar suara Gina yang baru saja masuk ke tenda. Aku segera beranjak dan memastikan siapa yang berada di sebelahku, hanya mendapati keadaan kosong.

"Lo kenapa kayak ngeliat setan?" Tanya Gina diselingi tawa.

"Lo darimana?" tanyaku balik.

"Abis pipis di luar." Aku mengucek mata dan menyadari kalau akupun mau buang air.

"Lah sekarang lo mau ke mana?" tanyanya saat aku keluar.

"Pipis," jawabku singkat. Gina tidak bertanya lagi dan segera menutupi dirinya dengan selimut tebal.

"Eh ... Lin? Belum tidur?" Aku tersenyum pada Ibra saat dia menyapaku.

"He em, mau buang air."

"Oh, hati-hati jalannya, agak licin," pesannya, "apa mau gue temenin?" tambahnya sedikit tertawa.

"Eww makasi."Aku berjalan ke arah pepohonan rindang dan segera menyelesaikan keperluanku. Setelah membersihkan diri dengan tissue basah, aku bergegas kembali ke arah tenda.

Kakiku mendadak kehilangan pijakan menyebabkan aku jatuh tergelincir. Teriakanku tertahan manakala tubuhku berbenturan dengan bebatuan kecil dan ranting pohon beberapa kali.

Napasku seolah terputus saat tubuhku tercebur ke dalam sungai yang dingin bak air es. Rasa panik membuatku kesulitan untuk mencoba naik ke permukaan, tapi setelah beberapa detik berusaha, akhirnya aku berhasil berenang ke atas.

"Tolong!" teriakku, aku kesulitan untuk berenang ke tepian dan mencari pegangan karena tubuhku terasa begitu kaku dan berat. Beberapa kali aku merasa tergulung air dan kembali ke permukaan, namun tidak ada yang mendengar teriakan minta tolongku.

Aku merasa tenagaku perlahan terkuras, tangan dan kakiku sudah tidak bisa merasakan apapun, bahkan aku sudah tidak sanggup mempertahankan wajahku di atas permukaan. Dadaku terasa terbakar karena kekurangan oksigen, pandanganku mulai mengabur, dan tak lama kesadaranku pun hilang.

***

Aku merasa perih saat membuka mata, mencari-cari sekitar, aku menyadari kalau aku masih berada di dalam air. Sepertinya arus air sungai menyeretku hingga aku terdampar di bebatuan pinggir sungai ini. Aku benar-benar bersyukur karena Tuhan masih menyelamatkan nyawaku.

Matahari sudah mulai menampakkan dirinya, teman-temanku mungkin sudah mulai menyadari kehilanganku. Aku mencoba bangun, tapi tubuhku terasa begitu lemah. Tenggorokanku terasa begitu perih, dan napasku juga terasa berat.

Aku melihat langit dan menunggu, berharap teman-teman segera menemukan keberadaanku. Mataku kembali tertutup tanpa mampu kulawan.

Saat membuka mata untuk kedua kalinya, aku merasa jauh lebih baik. Tubuhku tidak terasa sakit, mata dan tenggorokanku juga tidak terasa perih. Aku segera beranjak dan mencoba mencari teman-teman, berharap mereka tidak meninggalkanku di sini. Hari yang sudah gelap membuat pencarian jadi makin sulit. Namum aku harus cepat menemukan mereka.

Setelah berjalan cukup lama, akhirnya aku berhasil menemukan tempat terakhir mobil kami berhenti, tapi kecemasan menyelimuti saat aku tak menemukan Avanza putih milik Riko yang seharusnya terparkir di sisi hutan ini. Aku mengamati sekeliling. Kemana aku harus mencari? Bagaimana kalau mereka memutuskan untuk meninggalkanku saat aku menghilang kemarin? Tidak mungkin!

Aku berlari ke arah tenda kami, tidak ada tenda oranye yang kemarin dipasang Riko dan Ibra. Apa-apaan ini? Bagaimana mungkin mereka meninggalkanku begitu saja? Aku ingin menangis, tapi sebuah suara membuatku kembali berharap.

Aku berlari mencari asal suara itu. Di sisi lain dari hutan ini, aku melihat 3 tenda dan beberapa pemuda duduk mengelilingi api unggun, terlihat mereka tertawa mendengarkan kisah yang diceritakan anak laki-laki berkacamata yang berada di tengah-tengah.

"... Waktu itu temannya berniat menemaninya namun wanita itu menolak, tidak lama, temannya itu mendengar suara teriakan dan dia segera mencari asal suara." Wajah anak-anak itu terlihat tegang menanti kelanjutan cerita sang remaja berkacamata.

"Sayangnya mereka terlambat," lanjutnya, "si wanita jatuh tercebur ke sungai di belakang sana." Tangannya menunjuk ke arah sungai.

"Pencarian dilakukan berminggu-minggu, tapi mayatnya gak pernah ditemukan. Konon katanya, arwah si wanita terus gentayangan di hutan ini, menangis mencari-cari temannya, bahkan sampai sekarang, 13 tahun setelah kejadian tragi situ."

Mataku membulat, hantu? Di hutan ini?

"Poster-poster pencariannya aja masih ada di beberapa tempat di hutan ini." Anak itu menoleh ke arah sebuah pohon tak jauh dariku, tangannya menunjuk. "Nah ... foto si korban, sampai sekarang masih di tempel sebagai pengingat akan kejadian menyedihkan tiga belas tahun silam."

Aku tidak mendengar reaksi teman-temannya lagi, tubuhku lemas, menatap tak percaya pada gambarku yang tertempel pada kertas lusuh di pohon tua itu.

Linda Sahara, 1983-2006

Short Story CollectionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang