dua

32 1 4
                                    

Mentari mulai menampakan dirinya di ufuk timur, cahaya nya mulai menyelinap dalam kamar seorang gadis yang baru saja terbangun. Ia melangkah membuka jendela membiarkan cahaya matahari memasuki ruangannya lebih banyak. Ia hirup dalam-dalam udara pagi ini yang terasa menyegarkan tapi juga sesak saat kenangan bersama kedua orang tuanya hadir melintas bagai kaset yang sedang diputar.

Tak mau terlalu larut dalam kesedihan, ia langkahkan dirinya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, menyambut hari yang baru dengan suasana baru.

Setelah selesai ia melangkah menuju dapur, membuat sarapan untuk mengisi kekosongan perutnya yang belum ia isi sejak kemarin siang.

'Tet’ suara bel terdengar memasuki indera pendengaran Aluna, setelah menyelesaikan sarapannya ia melangkah menuju pintu depan untuk membukanya. Ia mengulas senyum indah saat ia tahu siapa yang datang ke rumahnya pagi ini.

Aluna langsung menggandeng tamunya, membawa masuk orang itu dengan senyum yang tak kunjung hilang dari wajahnya sedangkan tamunya hanya menatapnya datar.

“Revan, aku senang kau datang,” ucap Aluna riang sambil memeluk kekasihnya. Revan balas memeluknya ragu.

Aluna mengerucutkan bibirnya kesal melihat tingkah Revan. “Kenapa kamu begitu datar hari ini?” Tanyanya. Revan hanya menggelengkan kepalanya lemah, entah apa yang ada di pikirannya kini. Aluna hanya menatapnya bingung.

“Sudah sarapan?” Aluna berusaha mencairkan suasana yang kurang disukainya. Revan hanya menggeleng sambil menatapnya sendu. Aluna tahu ada yang tidak beres dengan kekasihnya.

“Mau ku buatkan pancake? Biasanya kamu suka sekali dengan pancake strawberry buatanku,” tawar Aluna, tapi lagi-lagi hanya gelengan kepala yang Revan lontarkan.

Aluna mengernyitkan keningnya, tak biasanya kekasihnya bersikap seperti ini. “Ada yang ingin kamu katakan?”

“Maaf,” hanya itu yang Revan katakan, membuat Aluna semakin bingung.

“Maaf karena apa? Kamu tak punya salah padaku,” jawab Aluna sambil menatap mata kekasihnya.

“Maaf karena aku akan menyakitimu,” lirih Revan sendu sambil memutuskan kontak matanya dengan Aluna.

“Aku tak mengerti,” ujar Aluna dengan gelengan kecil di kepalanya.

“Maafkan aku Aluna, hubungan kita harus berakhir disini.”

“Hahahaha, kau bercanda ya, bisa-bisanya kamu bergurau di saat seperti ini.”

“Aku serius!”

'Deg’ jantung Aluna berpacu lebih cepat mendengar apa yang baru saja Revan katakan.

“Tidak, ini bohong kan?” Tanya Aluna dengan menggelengkan kepalanya.

“Tidak, ini nyata Aluna, ini kenyataan yang harus aku ambil. Aku di jodohkan oleh kedua orang tuaku dan mereka tidak menerima penolakan.” Revan mengatur nafasnya, tubuhnya kini mulai bergetar menahan emosi dan tangisan yang seakan ingin mendobrak keluar dari pelupuk matanya namun ia tahan secara mati-matian.

“Aku hanya punya kamu, dan sekarang kamu akan meninggalkan aku!!!” Teriak Aluna menyalurkan rasa sakitnya, sakit yang belum hilang karena kehilangan kedua orang tuanya kini di tambah kehilangan kekasihnya.

“Maafkan aku Aluna.” Revan melangkah pergi dengan air mata yang mulai menetes.

“Hua!!” Aluna berteriak sekeras mungkin, berusaha menumpahkan apa yang ia rasa. Satu-satunya penyemangat hidup kini telah pergi meninggalkannya. Tetes demi tetes air mata mulai menggenang di pipinya, mereka lolos begitu saja dari pertahanan diri Aluna yang kini hancur dengan nyeri yang sangat menyayat hati.

Seakan belum cukup kesedihan yang datang dalam hidupnya, kini datang beban baru yang membuatnya tercengang. Tiba-tiba datang orang yang menggedor pintu, saat Aluna membuka pintu dan mengetahui maksud dari kedatangan orang itu seketika saja kakinya terasa lemas.

Depkolektor itu datang untuk menagih hutang ayah, namun karena ia tak bisa membayarnya, maka rumah yang kini di tinggalinya akan disita  sesuai dengan perjanjian ayah sebelumnya.

“Saya beri anda waktu sampai sore ini, jika sore ini anda belum angkat kaki dari sini, maka akan saya paksa anda untuk pergi dari sini!” tegas depkolektor itu yang makin membuat Aluna lemas, setelahnya depkolektor itu pergi meninggalkan Aluna yang masih terkejut.

Tubuh Aluna semakin melemah, ia menjatuhkan dirinya dan menangis tersedu meratapi dirinya kini. Bagai jatuh tertimpa tangga, berbagai kesedihan silih berganti menghampiri Aluna tanpa memberinya jarak yang cukup untuk mempersiapkan hatinya. Luka demi luka datang tanpa permisi, bukannya menyembuh tapi malah kian melebar dan semakin membuat nyeri yang tak tertahan.

Aluna memandang setiap sisi rumahnya, kini tak ada lagi yang ia punya. Ayah bundanya telah tiada, kekasihnya telah pergi dan kini rumah tempatnya menghabiskan banyak waktu pun akan di ambil.

“Tuhan, dosa apa yang aku perbuat hingga kini tak ada yang bisa ku genggam sebagai penguat? Mengapa Kau ambil semua yang ku punya? Mengapa?”

Aluna menyiapkan pakaian serta beberapa foto dan ia masukan ke dalam koper, dengan langkah berat dan mata yang masih merah ia melangkah keluar dari rumah itu. Ia menatap sendu rumah yang sejak dulu ia tempati.

“Selamat tinggal semuanya,” ucap Aluna sendu lalu berjalan gontai menjauh dari rumahnya tanpa arah dan tujuan yang jelas.

'Tuhan, apa salahku? Aku bukan manusia hebat yang bisa menanggung semuanya sendiri. Aku bukan manusia dengan hati besi yang tidak bisa merasakan kesedihan saat kehilangan’ batin Aluna.

Aluna terus melangkah menjauh, kini hari mulai gelap, tubuhnya telah lelah tapi tak ada tempat beristirahat untuknya. Ia menatap ke depan, banyak kendaraan yang berlalu lalang sehingga menimbulkan suara bising, dan di tengah keramaian ini ia hanya bisa meratapi dirinya yang hanya seorang diri, tanpa sandaran, tanpa penyemangat dan tanpa kejelasan.

Aluna merasa semakin frustasi, ia merasa hidupnya tak berguna lagi, tak ada yang akan peduli dan mencarinya jika ia tak ada lagi di dunia, ia bahkan bisa menemui ayah dan bunda di alam sana, pikir Aluna. Aluna meninggalkan kopernya di tepi jalan, ia melangkah mendekat ke jalan raya, berharap ada kendaraan yang akan menyambar dirinya hingga ia tak akan lagi merasakan kepedihan dunia.

“Nona awas, ada mobil disana!!” Teriak seorang pemuda yang tak dihiraukan oleh Aluna, ia masih diam mematung menunggu kendaraan itu menyambarnya.

AlunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang