Part 4.

2.4K 159 17
                                    

"Woy!!! Baru aja hari pertama kuliah udah jadi ga waras aja lo, Neth! Hahahaha!"

Anneth yang sedang bengong menatap ke arah langit di balkon kamarnya tiba-tiba dikagetkan oleh Kak Nella, sepupunya yang baru saja datang dari Manado.

"Eh ayam! Sialan lo, Kak. Ngagetin aja. Gue masih waras ya, cuma lagi mikirin sesuatu aja tadi." jelas Anneth sambil kembali menatap langit. Kak Nella hanya tertawa geli melihat tingkah laku Anneth yang seperti orang kehilangan jimat. Ia pun duduk di karpet di depan kasur Anneth sambil memakan makanan ringan yang tergeletak di depannya.

"Lagian lo napa dah bengong gitu, Neth? Gue datang bukannya disambut malah bengong aja di situ. Kita kan udah ngga ketemu hampir setengah tahun loh, Neth!"

"Bodo amat." gumam Anneth tidak peduli tanpa terdengar oleh Kak Nella. Beberapa detik kemudian, handphone Anneth berbunyi. Anneth segera menyambar handphone yang berada di atas kasurnya dan melihat siapa yang meneleponnya. Nomor tak dikenal.

"Halo?"

"Anneth?"

Anneth yang mengenali suara berat itu pun langsung mengusir Kak Nella dari kamarnya. Kak Nella mendengus kesal karena baru saja dia ingin membuka bungkus snack nya yang kedua. Namun Anneth yang lagi-lagi tidak peduli dengan sepupunya itu langsung mendorongnya keluar dari kamarnya dan menguncinya. Dari luar terdengar suara Kak Nella yang berteriak kesal sambil mengadu pada maminya Anneth.

"Halo? Iya ini Anneth. Ini.... siapa?" tanya Anneth pura-pura polos.

"Ini Iden, Neth. Sorry gue ganggu ya?"

Anneth pun menghembuskan nafas pelan. Kecewa karena bukan Iden yang dia harapkan menelepon. Tapi bisa ia pastikan bahwa tadi ia mendengar suara lain, bukan suara Iden.

"Oh, Iden. Engga kok, Den. Ada apa ya?" ingin rasanya ia segera menyudahi percakapan ini, pikir Anneth. Ia kemudian berpikir lagi apa mungkin yang berbicara padanya di awal tadi adalah Deven? Ah, tidak mungkin. Deven kan tidak punya teman. Pada siapa dia harus meminta nomor Anneth kalau dia saja tidak punya teman untuk ditanya. Iya, kan? Pikir Anneth berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Tanpa disadari, Anneth sama sekali tidak mendengarkan Iden sedari tadi.

"Neth? Masih di situ kan?"

"Eh iya, Den. Apa? Tadi gue sambil ngegambar." jawab Anneth sekenanya.

"Oh yaudah deh kalau gitu. Gue ngobrolnya besok aja ya di kampus, sekalian besok lo ada rencana mau lunch sama siapa gitu ngga? Kalau engga gue mau ngajak lo ke tempat makan favorit gue. Pasti lo suka deh. Lo mau kan?"

"Hah? Oh yaudah gue besok ajak Joa sama yang lain juga ya sekalian, biar rame gitu. Pasti yang lain juga suka deh." jawab Anneth polos.

"Neth, gue itu maunya makan sama lo doang. Lo ngga ngerti ya? Yaudah kalau gitu sampe ketemu besok di kampus ya. Bye, Anneth." ucap Iden sambil tertawa dan mengakhiri teleponnya. Anneth berpikir sebentar. Akhirnya dia mengerti kalau Iden memang hanya mau mengajak dia saja. Kenapa juga dia harus mengajak yang lainnya. Ah, bego! Anneth merasa ketulalitannya kian bertambah apalagi urusan yang seperti ini.

Waktu sudah menunjukkan hampir jam 10 malam. Tidak ada tanda-tanda Deven menelepon. Anneth pun menghela nafas dalam beberapa kali hanya untuk mengatasi kekecewaannya. Ia kemudian duduk di atas kasurnya dan membuka laptopnya mulai menggambar sambil mendengarkan playlist favoritnya dengan headphone nya.

Tung.....

Handphone Anneth berbunyi, ada chat masuk. Ah, paling juga Kak Iky atau Kak Nella gangguin, pikir Anneth.

Tung.....

Joa ini pasti, tebak Anneth. Dengan malas ia membuka chat tersebut.

Udah tidur? May I call you? Deven.

It's Always Been YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang