Intermezzo - Part 7

664 177 27
                                    

#Play the music for better reading#
🎧🎼🎶
Zayn feat Sia (Cover by Gnus Cello - Dusk till Dawn)

--0--

Aris dan kawan-kawan telah sampai di kantor polisi. Sebelumnya, Aris sudah menghubungi kepolisian tentang penangkapan Pak Adi, sehingga mereka bisa segera meluncur ke sana. Pak Adi masih terkulai lemas, tangan kanannya diborgol ke terali besi di ranjang pasien. Beliau diamankan untuk ditanyai pengakuannya sebagai informan sekaligus orang dalam yang membantu ketiga perampok melaksanakana aksinya.

Sementara para penyidik sibuk dengan Pak Adi, Aris dan yang lainnya pergi ke ruang tahanan sementara. Di sana sudah ada tiga pelaku perampokan yang berhasil dibekuk sebelum melarikan diri lebih jauh. Sekilas, mereka terlihat seperti tiga pria dewasa yang biasa saja. Berbeda dengan tahanan yang juga berada di dalam sel yang sama. Penampilan mereka lebih normal dibandingkan sekumpulan preman berbadan kekar yang dipenuhi tato di sekujur tubuhnya.

Untuk sementara, mereka dipanggil dengan nama samaran. Pria yang lebih tua dari yang lain dan sedikit berisi adalah Pak X. Paling tinggi dan kurus adalah Pak Y. Dan yang memiliki kumis tipis di bawah hidungnya yang manjung adalah Pak Z. Salah satu penjaga, membuka gembok pada sel dan membawa mereka ke salah satu bangku penjenguk yang tepat berada di persimpangan penjara dan pintu keluar. Aris pun memulai interogasinya kepada ketiga pelaku.

"Kalian sudah lama merampok?" tanya Aris sambil mengempalkan kedua tangan dan menompang dagunya di atas meja.

Mereka hanya merespon dengan anggukan pelan. Tidak ada yang berani melihat iris coklat pria yang berada di hadapan mereka. Tampaknya mereka sudah lelah dibantai habis-habisan oleh para penyidik. Aris ingin membuat mereka lebih fokus terhadap pertanyaannya.

"Pak Adi sudah saya tangkap. Sesuai dengan hipotesis saya, beliau memang salah satu dari komplotan peramapok dan dia sudah menjelaskan semuanya," saat Aris menyebut nama Pak Adi, sontak mata mereka yang sudah kosong terpenjat mendengarnya.

"Adi tertangkap? Oh, sial! Pantas saja kita tertangkap juga," hardik Pak X.

"Jadi—memang benar kalian bersengkongkol," kata Aris tersenyum penuh kemenangan atas pengakuan Pak X. Padahal Aris hanya memancing dengan pertanyaan menjebak agar mereka mau mengaku secara spontan. Mereka tidak tahu bahwa Pak Adi ditangkap setelah mereka berhasil dikejar oleh kepolisian.

"Artinya, benar Anda sekalian telah melaksanakan aksi perampokan di wilayah kerja Pak Adi. Siapa yang duluan mencetuskan ide untuk mentargetkan tempat tersebut?"

Arah pandangan Pak X tidak menentu, dia terlihat sedang berpikir sebelum berbicara, "Sejujurnya ... Adi yang merencanakannya."

"Tch ... Anda berbohong. Ingat, kalau Anda terus berbohong dengan saya maka hukuman Anda bakalan lebih berat dibandingkan kedua teman Anda maupun Pak Adi."

"Oke! Saya mengancam Adi untuk membantu merampok di kompleksnya. Hutangnya sudah menumpuk, jadi kami mengambil kesempatan dengan iming-iming melunaskan seluruh utangnya pada bos kami," jelas Pak X.

"Setelah itu, kalian yang sudah terlenan dengan keberhasilan dari pencapaian Anda. Para bapak-bapak di sini bermaksud untuk meningkatkan aksi menjadi pembunuhan?" tanya Aris yang melemparkan pandangan satu-satu kepada ketiga pelaku.

"Pembunuhan? Apa maksudmu, hah?" Pak Z kebingungan mencerna kata-kata Aris.

"Merasa belum puas dengan merampok, kalian bertiga membunuh korban kalian yang di sekap di dapur rumah dan—"

Sebelum ucapan Aris selesai, Pak X memotong. "Tunggu dulu ... mereka mati? Tunggu dulu ... kami hanya perampok, bukan psikopat!"

Di antara mereka bertiga, Pak Y terlihat semakin tidak nyaman dengan arah pembicaraan tersebut. Aris yang peka, menyadari bahwa Pak Y memiliki jawaban yang dia inginkan. "Pak Y, sepertinya ada sesuatu yang belum Anda ceritakan kepada kawan Anda. Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk menjelaskannya," tawar Aris ramah.

Wajah Pak Y bertambah pucat, keringat dingin mengalir deras di punggungnya. Setelah menelan ludah dan beberapa kali menarik napas, Pak Y pun angkat bicara, "Kami biasanya beraksi di rumah kosong yang ditinggal pergi pemiliknya. Dengan bantuan Adi kami bisa mencuri tanpa ketahuan selama ini. Tapi ... akhir-akhir ini kami bosan dan ingin mencoba trik baru, yaitu menyamar. Dan waktunya pas sekali, Adi bilang salah satu orang kaya di kompleksnya mencari tukang ledeng. Tentu saja kami menerimanya dan ingin segera mencoba cara baru kami."

"Kami berhasil masuk tanpa dicurigai pemilik rumah. Keberuntungan memihak kepada kami bertiga, seluruh korban sedang berkumpul di ruang keluarga. Kami langsung mengancam mereka dengan pisau yang berada di atas meja dapur dan menyekapnya agar tidak bisa lari ke mana-mana. Semua barang kami ambil dan semuanya sangat mulus, hingga—dia datang .... S, saya ... m, melihatnya, dengan mata kepala saya sendiri! Dia masuk dan berhasil membuat kami kalang kabut untuk kabur dari sana. Bodohnya, saya melihat ke belakang! Dia—menusuk korban tanpa ekspresi!" jelas Pak Y histeris.

"Dia? Siapa?"

"Aku tidak tahu siapa itu! Yang jelas aku mendengarnya berteriak sebelum menusuk mereka, kalau tidak salah ... pedang? Atau sesuatu yang berakhiran dengan kata raksasa?"

Mendengar pengakuan pelaku, membuat Eni spontan berdiri dari tempat duduknya dengan wajah pucat pasi. Sebenarnya dia tahu siapa yang dimaksud oleh Pak Y, tetapi hatinya berusaha menolak dengan akal pikirannya. Air mata mulai berjatuhan ke lantai putih yang dingin. Theo ... dialah yang telah membunuh ayah, ibu, dan kakaknya—dengan kedua tangannya sendiri.

--0--

Setelah mendengarkan keterangan pelaku, para polisi langsung bergerak untuk menjemput Theo dari kediaman Amar. Walaupun dengan penuh paksaan hingga membuat Theo mengamuk dan menangis hebat, mereka tetap menyeret Theo dan menanyakan kesaksiannya dengan bantuan dokter dan psikiater.

Pikiran Eni masih bergulat dengan batinnya yang seakaan remuk oleh kenyataan yang menyedihkan itu. Inikah yang dia inginkan? Bukannya dia berjanji untuk menemukan pembunuh keluarga Theo? Dengan dipenuhi rasa frustasi dan shock, Eni hanya bisa menangis tersedu-sedu di ruang tunggu. Mereka berempat hanya bisa terus menunggu kepastian hingga penetapan Theo sebagai tersangka utama dari pembantain keluarganya sendiri.

Setelah 4 jam menunggu tanpa kepastian. Penyidik yang dulu ditemui Aris dan kawan-kawan keluar dari ruang interogasi. Dia membawa kabar bahwa Theo sudah ditetapkan sebagai tersangka dan akan segera diproses lebih lanjut.

"Theo—dia salah mengira keluarganya sebagai ogre. Lalu, melihat pisau yang diletakan di atas meja makan yang semulanya digunakan untuk mengancam korban oleh para perampok. Selanjutnya ... dia menusuk kakaknya terlebih dahulu lalu ayah dan ibunya, secara membabi buta," jelas penyidik sambil menghisap putung rokoknya hingga habis.

"Setelah mereka sudah tidak bergerak lagi. Theo baru sadar bahwa yang dia bunuh adalah ibunya. Mereka mati seketika karena tertusuk di bagian fatal dan kehabisan darah. Aku bingung harus bersimpati atau bagaimana, jadi—" Belum selesai si penyidik menjelaskan, Eni sudah berlari menuju ruang interogasi.

Tifa dan Cony ikut berlari ke dalam dan melihat Eni memeluk erat Theo yang sedang menangis tersedu-sedu. Mereka berdua ikut sedih melihat pemandangan itu, mereka tahu bahwa yang dilakukan Theo itu salah. Tetapi secara bersamaan, mereka merasa bahwa Theo tidak pantas untuk dihukum atas tindakannya yang dia sendiri tidak sadari—bahwa dia telah membunuh keluarganya sendiri.

Aris hanya menatap teman-temannya dari luar, dan pergi menjauh dari sana. Mimiknya terlihat datar dan biasa saja, namun ada kegelapan yang kelam terukir di raut wajahnya.

[21/2/2019]

Pharma.con ✔Where stories live. Discover now