BAB 34 : A Gift for Alfares (END)

5.7K 218 18
                                    

Akhirnya aku bisa update part terakhir di awal maret ini. Yg sudah baca dari awal hingga akhir dan yang ngikutin cerita ini terus terima kasih ya. Yang selalu vote dan comment, terima kasih. Dan yang selalu baca tapi gak vote atau komen juga terima kasih, hehehe...

Aku gak tau mau ngomong apalagi selain ngucapin terima kasih, ya udh langsung aja, selamat membaca part terakhir^^
.

.

.

.

Kisah ini tidak berakhir dengan bahagia. Atau mungkin.... belum saatnya....

Hal pertama yang diingat Alfares disaat bangun paginya adalah mobil yang melaju di jalan tol Los Angeles meninggalkan dirinya yang sendirian disana. Hal kedua yang diingatnya adalah ia kembali ke Pekanbaru bersama Leon, pergi menuju penthousenya yang sunyi tanpa kehadiran Misa yang menyambut. Oh, Misa adalah hal ketiga yang selalu ia ingat dikala bangun pagi. Biasanya Misa akan membuatkan sarapan untuknya atau menyapanya diranjang lalu mereka akan bercumbu.

Setelah kejadian empat tahun yang lalu, Alfares tidak mendapatkan kabar sedikit pun mengenai Misa. Terkadang Leon mengunjunginya, menyuruhnya keluar atau melakukan aktifitas bersama seperti jalan pagi. Tapi, bagaimana pun Alfares hanya melihat dunia ini dengan kehampaan. Ia kembali menjadi mayat hidup dan penyendiri. Tidak ada aktifitas yang ia lakukan selain mengurus blognya, membuat program dan terkadang berjalan di malam hari di sekitar hotel.

Dua tahun yang berharganya lenyap begitu saja disaat Misa pergi darinya. Ia tidak pernah pergi ke rumah pria tua itu walau beliau atau Leon menyuruhnya. Ia tidak ingin meninggalkan penthouse yang penuh akan kenangan akan Misa Quinn. Kamar Misa masih tertata rapi disana, renda pink, kelambu, dan juga pernak-perniknya. Setiap ia memandang ke kamar tersebut, Alfares kembali mengingat senyum Misa untuk pertama kalinya disaat ia menginjakkan kaki di penthouse ini. Ia masih mengingatnya dan terus mengingatnya.

Pagi itu adalah pagi yang cukup dingin di Pekanbaru. Suhu dua puluh satu derajat sudah terasa seperti di kutub bagi orang Pekanbaru. Alfares tidak ingin beranjak dari ranjangnya. Ia lelah sehabis mengerjakan program yang entah kenapa terus mengalami error dan akhirnya selesai pada saat jam dua dini hari. Jam tujuh pagi masih terasa malam untuknya ditambah dengan hujan gerimis di luar sana.

Ponsel miliknya berbunyi. Alfares menyipitkan matanya dan meringkuk di balik selimutnya. Ia lupa mematikan ponsel sebelum tidur dan bunyi ponsel ini sangat mengganggunya. Sungguh ia merasa malas pagi ini walau hanya dengan menggerakkan tangannya meraih ponsel yang berada di nakas.

"Hallo..." Jawabnya dengan serak.

"Alfa, kau... tampak baru bangun."

Alfares mengerutkan dahinya. "Siapa ini?"

"Astaga, Alfa! Kau melupakan kakakmu sendiri!? Ini Leon! Leonard!"

Alfares menjauhkan ponsel dari telinganya. Lalu, melihat ke layar ponselnya yang bertuliskan Leonard disana.

"Oh," gumamnya. "Ada apa?"

"Bisa kau datang ke rumahku sekarang? Maksudku rumahku yang baru."

"Aku tidak mau," jawab Alfares cepat. Ia memutar posisinya menjadi telentang.

"Ayolah, Alfa. Ada sesuatu yang ingin aku berikan kepadamu. Ini penting."

"Tidak bisakan kau membawanya kemari saja? Aku sedang tidak ingin kemana-mana," ya, sungguh ia selalu merasa capek atau tidak dalam mood.

"Tidak bisa! Kau harus kesini sekarang juga! Aku tidak ingin kau menyesal seumur hidupmu, Alfares."

The Unfortunate LoveWhere stories live. Discover now