Dear Biru 31

5.4K 582 76
                                    

Dear Biru : tidakkah mentari itu indah? Bahkan ketika ia pulang keperaduan tetap terlihat mengesankan. Tidakkah kau ingin melihatnya kembali esok? Mungkin bersamaku? Dan Mungkin seterusnya tetap begitu?

***

Atlas jauh lebih tenang meski tidak sepenuhnya benar-benar tenang. Sejak tadi siang Nana belum beranjak. Dan bukan hanya Navy saja yang Nana urus namun gadis itu benar-benar mengurus Atlas. Entah Nana adalah metamorfosis dari malaikat atau bagaimana. Hanya saja kehadiran gadis itu benar-benar membuat segalanya nampak lebih baik.

Terkadang Atlas ingin mengamuk ketika dokter datang dan memeriksa Navy namun tidak ada hal pasti yang dokter tersebut bisa lakukan untuk membuat Navy bangun. Seolah kehadirannya tidak ada gunanya. Hanya saja Atlas hanya bisa menaruh harap pada orang itu.

Memang kasus Navy sangat amat jarang terjadi, hemofilia dan kanker disaat yang bersamaan. Dimana untuk menyembuhkan kanker tersebut Navy harus melakukan tranplantasi namun disaat yang bersamaan tindakan itu dapat membunuhnya juga.

Atlas menarik bangku besi disamping ranjang Navy dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya masih mengusap-usap handuk yang bertengger di lehernya untuk mengeringkan rambutnya sehabis mandi.

"Pulang gih Na."

"Ngusir?" Nana merubah posisinya dari yang tadinya berbaring di samping Navy, kini ia turun dari tempat tidur dan duduk di kursi yang sama seperti yang Atlas duduki.

"Entar kemaleman, gue juga gak bisa nganter lo pulang. Bahaya cewek balik malem." Ucap Atlas benar-benar serius dengan ucapannya.

"Ciee khawatir. Atau mungkin udah mulai suka ya sama gue Kaya di wattpad-wattpad? But sorry ya Peta, hati gue cuma buat Biru." Nana mengelus rambut Navy seolah ingin mempertegas kalau ia tak mungkin berpaling, walau bagaimanapun kondisi Navy saat ini.

"Alay." Jawab Atlas singkat, namun menusuk. Anak itu memang terkadang tak ada basa-basinya sama sekali.

"Ish." Nana menekuk bibirnya kemudian mendekatkan wajahnya ke telinga Navy, "tuh Ru liat Ru. Peta jahat sama gue." Adunya pada Navy yang bahkan untuk membuka matanya saja lelaki itu tidak mampu.

"Gak usah gangguin Navy. Sana pulang."

Meski sebenarnya Nana tidak berniat meninggalkan Navy, namun memang sejak tadi Nada sudah mencarinya karena Nana bolos tanpa ijin dengan kakaknya itu. Jadilah ia benar-benar harus pulang sebelum kakaknya itu datang dan menyeretnya sendiri. Dengan malas Nana pun mengambil tasnya yang ia letakan di sofa. Kemudian mengelus puncak kepala Navy sekali lagi.

"Kalo ada apa-apa. Apapun itu, kabarin gue." Atlas tau kalau nada yang Nana keluarkan barusan adalah sebuah keseriusan. Sedikit banyak Atlas sudah dapat membedakan bagaimana gadis itu bersikap. Saat sedang bercanda ataupun benar-benar serius seperti ini.

"Iya."

"Dan lo," kali ini Nana menepuk bahu Atlas, "jangan begadang. Semalem gak tidur kan? Awas aja sampe lo sakit, gak akan gue biarin deket-deket sama Biru."

Atlas berdecak kemudian mengenyahkan tangan Nana dari bahunya, "udah sana ah, bawel."

"Gak enak kan di bawelin, tuh begitu rasanya jadi Biru yang tiap hari lo bawel—"

"'Na, pulangggg." Potong Atlas membuat Nana bertambah kesal. Gadis itu pun akhirnya berjalan keluar dengan menutup pintu sedikit kencang agar Atlas tau kalau Nana benar-benar kesal. Yang Nana tidak tau, Atlas tidak peduli.

Selepas kepergian Nana, Atlas menarik kursinya semakin mendekat ke ranjang Navy kemudian menggenggam tangan lelaki itu erat. Diperhatikannya dada Navy yang narik turun teratur seiring napas yang lelaki itu tarik dan hembuskan, meski dengan bantuan selang yang masuk kedalam mulutnya. Nasal pun sudah tidak ada gunanya dokter bilang. Karena kondiri Navy benar-benar lemah, hingga untuk bernapas saja butuh selang yang dimasukan ke tubuhnya.

Dear BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang