La Vie en Rose - #25

5K 730 21
                                    

Sudah lewat jam cinderella, tapi tetap saja Sakura masih duduk di karpet dengan punggung yang bersandar pada bagian bawah sofa. Kedua lututnya ia masukkan kedalam hoodie hitam miliknya. Ah, hoodie kebesaran ini sebenarnya adalah milik Jimin. Hoodie bergambar karakter Chimmy dari BT21 ini tergantung manis di jemuran, seolah membawa sihir bagi orang-orang yang melihatnya. Tidak ada protes yang keluar dari bibir Jimin saat Sakura berkata, "Jim! Hoodie nya untukku, ya!" Hal tersebut tentunya membuat Sakura senang. Biasanya dulu, Jimin akan mengamuk saat ia mengenakan pakaian pria itu seenak jidat.

Aku masih ingat gurauan teman-teman kita di Jepang dulu. Apa kau yakin jika kau adalah anak kandung orangtuamu?

Padahal Sakura sudah melupakaan perkataan orang-orang tentang ketidakidentikannya dengan kedua orangtuanya. Wajah ayah dan ibunya sangat keJepangan. Sedangkan wajah Sakura terlihat seperti orang Korea kebanyakan. Namun, perkataan Soah sore itu benar-benar menyita sebagian pemikirannya. Dan sekarang ini, ia harus memastikan identitasnya pada siapa? Orangtuanya sudah lama meninggal karena kebakaran, ia tak punya siapapun dan tak punya seseorang untuk ditanyai.

Satu sendok es-krim rasa vanila kembali ia masukkan ke dalam mulutnya. Terlampau dingin, hampir membuat otaknya membeku. Apalagi malam ini cuacanya lebih dingin dari biasanya, membuat sebagian sarafnya terasa mati akibat kedinginan. Tapi hawa dingin tak menyurutkan keinginan besar Sakura untuk menghabiskan es krim dengan tampungan delapan liter yang Jimin bawa pulang sore tadi. Pria itu menepati janjinya membeli es-krim untuk Sakura karena wanita itu mampu berhenti menangis.

"Eomma, aku anakmuㅡ akh!" Perkataan lesu Sakura berganti menjadi ringisan saat puncak kepalanya di getok oleh orang yang menyebalkan. Siapa lagi jika bukan Jimin? Ck, pria itu selalu saja mengacaukan suasana sedih yang sengaja Sakura buat lebih mendramatisir.

"Aku membeli es-krim ini untuk sebulan, dan astaga! Kau menghabiskan setengahnya sendirian. Aku bahkan belum menyentuhnya," keluh Jimin seraya mengambil alih es-krim yang sebenarnya sudah ia gadang-gadang akan habis dalam kurun waktu kurang lebih sebulan.

"Huh, Jim! Berikan itu padaku. Nanti jika aku gajian, aku akan membelikan es-krim dua kali lebih banyak. Aku butuh itu untuk membekukan otakku," rengek Sakura seraya berusaha untuk merebut ember es-krim tersebut dari tangan Jimin. Bukannya Jimin pelit, harga es-krim seperti ini bahkan tak akan membuat uangnya habis dalam sekejap mata. Hanya saja, wanita yang tengah merengek seperti anak kecil ini sistem kekebalan tubuhnya sangat lemah. Sakura mudah sekali sakit jika makan es-krim terlalu banyak. Dulu saja serumah langsung heboh saat Sakura pingsan begitu saja sehabis makan es-krim dalam jumlah banyak.

"Pakai celanamu dulu baru kuberikan satu sendok es-krim," sergah Jimin. Sedari tadi pria itu sadar jika Sakura tidak mengenakan celana sama sekali. Tubuhnya hanya diselimuti oleh hoodie kebesaran yang panjangnya sebatas paha. Sakura mencebik, memangnya kenapa jika ia tidak mengenakan celana? Lagipula bagian berharganya tidak terlihat karena tertutupi oleh hoodie yang panjangnya luar biasa.

Tidak, Jimin tidak berpikiran aneh-aneh malam ini saat melihat Sakura yang hanya mengenakan hoodie tanpa celana. Ia sudah sering melihat Sakura mondar-mandir menggunakan handuk, memakai baju tanpa dalaman sama sekali, bahkan sekarang mengenakan hoodie tanpa celana. Hal lumrah yang memang biasanya wanita lakukan saat dirumah. Jimin juga tak terlalu ambil pusing walau sebenarnya ia seringkali meneguk ludah dengan kasar, tak menyangka jika Sakura tumbuh secepat ini.

Dibandingkan tergoda, perasaan Jimin lebih menjorok kearah lainnya, yaitu khawatir. Ia tak mau Sakura jatuh sakit hanya karena es-krim dan juga mengenakan pakaian minim disaat udara sedang dingin-dinginnya. Jimin sudah berasa seperti seorang ayah yang mengurus anak sematawayangnya.

"Jim, berikan padaku es-krimnya. Aku tidak makan banyak, cuma minta sepuluh sendok penuh lagi. Lagipula aku ini sudah besar, mana mungkin jatuh sakit hanya karena makan es-krim!" Pinta Sakura, lebih memelas daripada sebelumnya.

"Benarkah?" Tanya Jimin dengan nada bicara yang terkesan mengolok. Rasanya telapak tangan Sakura sudah memanas, ingin menampar Jimin detik ini juga.

"Sebentar lagi juga kau akan bersin-bersin. Sok kuat padahal lemah," desis Jimin. Merasa amarahnya dipicu oleh pria menyebalkan ini, Sakura pun langsung membalas celetukan Jimin cepat, "Aku tidak akan berㅡ haaatchiim."

Sesuai dugaan Jimin, Sakura sudah dipastikan akan bersin akibat makan es-krim disaat hawa sedang dingin-dinginnya. Sedangkan Sakura yang merasa jika sumpahan Jimin mujarab pun langsung menyemburkan amarahnya detik itu juga.

"Yak, Park Jimin! Lihat betapa kejamnya kau menyumpahikuㅡ haaatchiim," marahnya seraya beranjak dari posisi duduknya hanya untuk memberikan Jimin pukulan yang bertubi-tubi. Dengan kepala yang sudah memberat karena pusing, tanpa gentar sedikitpun Sakura tetap memukul Jimin tanpa ampun. Namun di detik berikutnya, saat Jimin niatnya hendak menghentikan pukulan Sakura yang menhujam pundaknya, tanpa sengaja pria itu menarik lengan Sakura. Tarikannya tidak kuat, namun sukses berefek pada tubuh Sakura yang melemah.

Tidak ada yang bisa menghentikan pergerakan melawan gravitasi yang menimpa Sakura. Tak butuh waktu lama, Sakura jatuh tepat diatas tubuh Jimin dengan selamat. Sedikit mengaduh kesakitan karena jidat mereka berdua yang saling berbenturanㅡmenimbulkan bunyi yang lumayan kuat.

Mereka berdua sama-sama terdiam saat mendapati pandangan yang saling bersirobok, mencari kehangatan dari pancaran indera tersebut. Jika dilihat dari jarak yang sangat dekat, tanpa sadarㅡ dari dalam hati, mereka berdua saling memuji visual masing-masing. Disaat tengah memandang dengan penuh keseriusan, tiba-tiba saja Sakura kembali bersin di depan wajah Jimin dan membuyarkan segalanya.

"Ah, Jim. Aku tidak sengaja," celetuk Sakura saat sadar jika ia sudah bersin di tempat yang salah.

"Aish, pembawa virus, menjauh sana!" Geram Jimin sembari menjatuhkan tubuh Sakura tepat disebelahnya. Sedangkan Sakura hanya mampu mengaduh kesakitan saat punggungnya berbenturan cukup kuat dengan ubin lantai.

Jimin berhenti mengusap wajahnya saat sadar jika salah satu tangan Sakura sudah menyusup dibawah punggungnya. Sebuah pelukan di malam yang dingin membuat suhu udara seakan menghangat. Dengan gesit, Sakura mengarahkan lengan Jimin mendekat agar bisa menjadi bantalan kepalanya. Dan Jimin? Mana mungkin pria itu menolak pelukan dan malah mendorong Sakura?

"Jim, dinginnya sampai menembus masuk ke tulangku," curhat Sakura seraya mengeratkan pelukannya. Sakura sadar jika ia tak mungkin bisa melakukan hal seperti iniㅡpelukanㅡjika nantinya Jimin sudah memiliki kekasih. Jadinya, tanpa mau menyia-nyiakan waktu, ia harus menggunakan kesempatan ini dengan baik. Mungkin, keinginannya untuk bersama Jimin selamanya adalah sebuah mantra sihir yang tak akan pernah berlaku.

"Itu karena kau tidak mengenakan celana, bodoh!" Balas Jimin, tak akan pernah diambil pusing oleh Sakura.

Sakura menggeliat pelan guna menyamankan posisinya, "seperti ini sangat tidak nyaman, Jim. Setidaknya hangatkan aku malam ini." Baiklah, perkataan Sakura awalnya sungguh ambigu dan membuat jantung Jimin berpacu cepat. Tapi setelah Sakura berhasil mengarahkan lengan Jimin kearah pinggulnya, pikiran aneh tersebut akhirnya berangsur hilang.

Tidak ada lagi pelukan sepihak. Sekarang ini mereka benar-benar saling berbagi kehangatan.

"Aku tidak bisa tidur karena memikirkan tentang diriku yang sesungguhnya. Aku tidak punya orang untuk ditanya, jadi sekarang aku ingin bertanya padamu. Jim, apa aku anak orangtuaku?" Sakura bertanya sambil menatap Jimin lekat. Pandangannya sungguh menuntut sebuah jawaban yang menenangkan.

"Kau ini bicara apa? Jelas-jelas kau anak orangtuamu," celetuk Jimin dan langsung dibalas dengan senyuman manis Sakura. Kini, giliran wanita itu yang berceletuk, "Kau yang paling mengerti diriku, Jim." Sakura bahkan terlalu berani untuk menghujani pipi Jimin dengan kecupan ringan. Membuat Jimin merasa hampir kehilangan seluruh fungsi saraf tubuhnya. Karena dipicu dengan keberanian Sakura, Jimin pun juga tak mau kalah berani. Pria itu mulai mendorong pinggul Sakura mendekat, mendekap wanitanya dengan erat, seakan tak mau melepaskan pelukannya sama sekali. Begitu pula dengan Sakura, wanita itu segera mengalungkan salah satu lengannya di leher Jimin, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher prianya dan kemudian mengelus kepala belakang Jimin dengan lembut.

Seandainya jantung bisa bicara, mungkin kata 'aku mencintaimu' sudah menggema di apartemen mewah ini.


🌹🌹🌹

FANGIRL : La Vie en Rose [ PJM ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang