EPILOG

657 42 2
                                    

Percaya pada takdir adalah hal yang paling menyenangkan.

- Teruntuk; ARBA! -

•••

Naura membuka matanya perlahan, tidak terasa ia tertidur selama empat jam. Kepalanya terasa sangat pusing, bagian pipi kirinya terasa nyeri.

"Awhh...." Naura merintih pelan sambil memegangi pipinya yang terasa nyeri. Pukulan Vero cukup keras, namun beruntung gigi Naura tidak ada yang goyah.

"Sayang, kamu udah bangun?" tanya Mama pada Naura dengan tatapan berbinar.

"Ma-mahh... ngapain di-sini?" Naura bertanya sambil menahan rasa sakit di pipinya.

"Anak Mama satu-satunya ada di rumah sakit masa Mama diem aja? Beruntung Arba langsung hubungin Mama, jadi Papa sama Mama langsung ke sini," ucap Mama terlihat begitu khawatir.

"Jangan banyak bicara dulu, kamu harus istirahat." Papa menambahkan.

"Naura nggak apa-apa, kok, cuma pingsan doang," kata Naura pelan.

Arba berdiri di ujung kasur dekat dengan kaki Naura. "Nggak apa-apa gimana? Muka kamu jadi lebam gitu kamu bilang nggak apa-apa?"

"Jadi saya nggak cantik lagi?"

Arba kikuk. Ia benar-benar sangat khawatir pada Naura, tapi Naura malah menunjukkan sikap baik-baik sajanya.

"Bukan gitu, Nau--"

"Jadi kamu nggak suka lagi?"

"Nau...." Arba malu bukan main dengan pertanyaan Naura. Ralat--bukan dengan pertanyannya, tapi dengan kedua orang tua Naura yang masih berada di dalam ruangan.

Melihat hal itu, Naura tersenyum senang dalam hati.

"Ekhem," Papa berdeham pelan. "Ma, kayanya kita di sini cuma jadi obat nyamuk aja."

Mama menatap Papa yang memberikan kode padanya. Paham dengan hal itu, Mama menjawab. "Iya, Pa, ayo kita keluar aja."

"Ng-nggak kok--"

"Papa sama Mama keluar dulu, ya. Kalian ngobrol dulu aja di sini," kata Papa memotong ucapan Arba dengan cepat. Kemudian Mama dan Papa berjalan meninggalkan ruangan.

Kini di dalam ruangan yang dingin itu terasa semakin dingin karena kecanggungan diantara mereka berdua. Arba diam menunduk, melihat ujung sepatunya. Sementara Naura memandanginya dalam diam. Padahal Naura ingat sekali, mereka sedang duduk berdua sambil bercengkerama di cafe dan saling berusaha mencairkan suasana untuk menghindari rasa canggung diantara keduanya, sebelum akhirnya Vero datang menghancurkan semuanya.

"Ekhem, diem-diem bae." Naura berusaha menetralkan degub jantungnya, sebisa mungkin ia mencari cara untuk mencairkan suasana.

"Sini, duduk. Nggak capek berdiri di sana?" Arba menoleh pada Naura, ia masih berdiri di tempatnya. Dengan langkah perlahan, Arba mendekat--duduk di kursi yang berada di samping Naura.

Naura memerhatikan sikap Arba, ia terlihat ingin mengatakan sesuatu, namun ditahan entah karena apa. "Ar," panggil Naura lembut, "ngomong aja, ada apa?" Naura bertanya.

"Eum... Nau, soal tadi--gimana?" Arba bertanya kaku. "Nggak usah dijawab sekarang juga nggak apa-apa, lo masih sakit jadi--"

"Yang mana?" Naura mengerutkan dahinya, berpikir sejenak untuk mengingat apa yang telah dikatakan Arba sebelumnya.

Sebenarnya, Naura mengingat jelas semua ucapan Arba tadi saat mengobrol dengannya di cafe. Pertanyaan terakhir Arba belum sempat Naura jawab karena Vero datang dengan tiba-tiba. Hanya saja, saat ini Naura ingin pura-pura lupa agar Arba bisa mengatakannya sekali lagi.

Teruntuk; ARBA! [COMPLETED]Where stories live. Discover now