14.15 - 01

6.6K 385 26
                                    

Hujan semakin deras. Tiga siswi berseragam SMA tampak berlari tergesa menuju sebuah kafe yang tak jauh dari sekolah mereka. Tas sekolahnya mereka gunakan untuk melindungi kepala dari hantaman bulir hujan. Sesekali mereka tertawa bahagia, mengabaikan rasa dingin yang begitu menusuk pori-pori.

"Segeerrrrr.." Salah satu di antara mereka tertawa kecil saat mereka tiba di depan kafe. Membuat yang lain juga ikut menyunggingkan senyum.

"Habis puyeng mikir pelajaran, hujan-hujanan gini bikin otak adem." Satunya lagi berseru, namanya Mona.

Ketiganya segera memasuki kafe dan memesan minuman sembari menunggu hujan reda. Untung saja tubuh mereka tidak terlalu basah, karena hujannya turun saat mereka tiba di dekat kafe.

"Waktu kebersamaan kita nggak akan lama lagi. Kita harus menikmati saat-saat seperti ini." Nisa, siswi dengan senyuman manis berlesung pipi memecah keheningan saat yang lain tengah sibuk dengan pikirannya.

Mereka semua siswi kelas tiga yang sebentar lagi akan melaksanakan ujian. Wajar saja jika Nisa berkata seperti itu, karena mereka pasti akan terpisah untuk saling mengejar apa yang mereka impikan. Jika Nisa dan Mona sudah matang hendak ke mana mereka setelah lulus, berbeda dengan Ilyazka, Ilyazka sama sekali belum menemukan pilihan hendak ke mana setelah dia lulus nanti.

Bukan karena bingung memilih universitas, melainkan bingung karena biaya dari mana yang hendak dia gunakan untuk masuk universitas. Sudah cukup selama ini dia membebani ibunya untuk membiayai sekolahnya hingga SMA. Dia tidak mungkin tega membiarkan ibunya bekerja lebih keras lagi hanya untuk membiayai dirinya masuk universitas. Ayahnya sudah meninggal saat dia masih kelas tujuh SMP. Jadi, ibunya lah yang selama ini harus membiayai sekolahnya. Sedangkan ibunya sendiri hanya bekerja di toko kelontong milik tetangga mereka.

"Yazka, jangan bengong!" Mona melambaikan tangannya di depan Ilyazka, membuat Ilyazka tersentak.

"Eh, enggak kok. Iya, kita harus memanfaatkan detik-detik seperti ini." Ilyazka tersenyum tipis.

Kedua sahabatnya turut tersenyum.

"Biar seru, bagaimana kalau kita main truth or dare?" Nisa menjentikkan jarinya, mengusir hening yang kembali merayap selama beberapa saat.

"Iya boleh tuh," sahut Mona antusias. Ilyazka hanya mengangkat bahunya seraya tersenyum sebagai tanda persetujuan.

Karena semuanya sepakat. Akhirnya Mona mengeluarkan bolpoin untuk menentukan siapa yang lebih dulu bermain. Bolpoin itu dia putar, kemana ujung bolpoin itu berhenti nantinya, maka dialah orang yang pertama bermain. Dan kemana ujung yang satunya lagi mengarah, maka dialah yang memberikan pilihan.

Dan ternyata orang pertama yang harus bermain adalah Ilyazka. Dan ujung bolpoin yang satunya lagi mengarah ke Nisa.

Kedua sahabat Ilyazka tersenyum lebar.

"Yazka, kamu pilih truth or dare?" tanya Nisa bersemangat.

Ilyazka tampak berpikir sejenak. Lalu dia membuang napasnya perlahan. "Aku pilih dare aja."

Nisa semakin tersenyum lebar. Dia memikirkan tantangan apa yang hendak dia berikan kepada Ilyazka.

"Oke, karena kamu milih dare, aku mau kasih kamu tantangan. Sekarang pukul 14.05, kamu harus selfie sama cowok yang nggak kamu kenal sampai batas waktunya pukul 14.15, kalau sampai batas waktu itu kamu belum juga berhasil, maka kamu harus mentraktir aku bakso plus minuman di kantin sekolah selama satu minggu ke depan, gimana?" Nisa terlihat begitu antusias. Dia menaik-turunkan alisnya, menunggu jawaban Ilyazka.

"Eh, ya jangan gitu dong, Nis. Nggak kasian banget sama aku. Ganti aja, aku nggak mau yang itu!" Ilyazka langsung menolak. Dia tidak setuju dengan tantangan yang diberikan Nisa.

14.15Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang