Harapan

33 5 3
                                    

Jingga melajukan mobil kantor meninggalkan parkiran bandara. Raya yang di sampingnya hanya terdiam dan menatap keluar jendela namun tidak benar-benar menikmati pemandangannya.

"Ra, kamu dulu kuliah dimana?" Tanya Jingga memecah keheningan

"Apa Jingga?" Raya baru kembali dari lamunannya,tidak benar-benar mendengar pertanyaan Jingga.

"Kamu, kuliah dimana dulu?"

"Oh, di Politeknik Negeri Jakarta"

"Sama dong, aku juga kuliah disana. Tapi kok gak pernah ngeliat kamu ya"

"Aku kan hanya kuliah pulang gak ikut organisasi apa-apa Jingga, jadi gak banyak orang yang kenal sama aku"

Mereka mengobrol di sepanjang perjalanan, dari membahas kampus sampai ke pengalaman pekerjaannya sebagai editor. Perjalanan dari bandara menuju ke perumahan yang akan di tinggali Raya hampir 30 menit lamanya. Karyawan Gagas Pena pusat memberikan perumahan untuk seluruh karyawan yang berdomisili dari luar kota Jakarta.

Tibalah mereka berdua di komplek perumahan kamboja. Rumah-rumah berukuran 9x10 berjejer rapi dengan halaman depan rumah 2x4 meter. Cat warna dan model rumah yang senada membuat mereka harus teliti mencari nomor rumah.

Rumah dengan nomor 308 menjadi hunian Raya untuk sementara atau selamanya. Rumah dengan cat biru telur asin, dengan bentuk minimalis, di halamannya terdapat 2 pohon kamboja yang sedang berbunga, dan pot-pot bunga tersusun rapi di pinggir teras berukuran 2x3 meter.

"Gimana Ra, seneng gak liat rumahnya" tanya Jingga

"Suka Jingga, pakek banget malah" sambil tersenyum merekah

"Semoga kamu bisa melupakan kesedihanmu di tempat yang dulu ya Ra" Jingga menggumam

"Jingga ngomong apa?" Tanya Raya yang tidak begitu jelas mendengar gumaman Jingga.

"Ayo masuk Ra" Jingga tidak menjawab pertanyaan Raya

Mereka mulai memasuki rumah itu dan membawa masuk semua barang-barang yang di bawa Raya dari kontrakannya. Jingga pamitan akan ke kantor ada pekerjaan yang harus di selesaikannya.

"Ra, aku pamit ya mau ke kantor dulu. Kalau kamu butuh apa-apa kabarin aku aja ya. Besok pagi jam 7 aku jemput, kamu kan belum ada kendaraan. Oya ini nmr aku" sambil menunjukkan kartu namanya.

Tidak berapa lama mobil Jingga menghilang dari pandangan Raya. Raya langsung menyusun barang-barangnya. Rumah itu terdapat 2 kamar, 1 kamar mandi, ruang tamu, ruang makan dan halaman 1x3 di belakang.

"Rumah yang nyaman" pikirnya

***

Senja telah berganti malam, Raya yang masih tertidur pulas di atas ranjangnya karena kelelahan membereskan barang-barangnya. Tanpa ia sadari sudah 20 panggilan masuk dari Bimo dan Jingga bergantian di gawainya Raya tidak bergeming juga dari tidurnya.

"Ting tong... tong tong ..." suara bel rumahnya berbunyi. Di pencetnya berkali-kali oleh sang tamu.

Raya akhirnya terbangun dari tidurnya dan menyadari bahwa rumahnya sudah gelap, dengan meraba-raba mencari gawainya. Karena beberapa menit yang lalu Jingga memanggil sehingga gawainya masih menyala dan memudahkan Raya menemukannya.

"Iya sebentar" ucap Raya pada tamu yang sejak tadi memencet bel rumahnya.

Raya bergegas keluar dari kamarnya dan menghidupkan lampu kamar kemudian ruang tamu. Ketika Raya membuka pintu ia terkaget karena ternyata Jingga yang sejak tadi memencet bel rumahnya.

"Astagfirullah maaf Jingga, aku ketiduran"

"Iya gak papa Ra, ini aku bawakan makanan pasti kamu laperkan" Jingga sambil menyodorkan nasi padang yang di bawanya.

"Eh masuk dulu Jingga" Raya mempersilahkan Jingga

"Aku numpang makan ya, soalnya piring-piring di rumahku kotor semua" Jingga terkekeh karena malu akan dirinya sendiri.

"Oke, bentar ya" Raya menuju dapur mengambil 2 piring dan 2 sendok

Beberapa menit kemudian mereka telah selesai menghabiskan nasi padang yang Jingga beli.

"Eh ngomong-ngomong kamu ke sini naik apa?" Tanya Raya penasaran karena ia tidak melihat kendaraan sama sekali di halamannya

"Jalan" jawab Jingga dengan santai

"Jalan?" Tanya Raya masih belum mengerti

"Iya Rumahku kan dekat dari sini tuh nomor rumah 408" sambil menunjuk ke depan rumah.

"Jadi Rumah kita depanan?"

Jingga hanya memangguk tanda setuju mengiakan pertanyaan Raya.

"Oya besok jangan lupa pukul 07.00 aku jemput. Jangan molor ya Ra"

"Oke, eh nasinya berapa harganya"

"Gak usah anggap saja ongkos nyewa piring. Aku pamit ya udah malem gak enak nanti dilihat tetangga" Jingga sambil lalu meninggalkan rumah Raya

***

Di tempat yang berbeda seorang laki-laki sedang terbaring di atas ranjang berwarna biru muda, di sampingnya ada impus yang tergantung dan terhubung ke tangan laki-laki itu. Matanya sayup memandang langit-langit.

Akankah tuhan masih mengijinkanku untuk melihat senyummu ?
Apakah tuhan masih mempunyai jatah maaf untukku karena telah menyakitimu?
Raya maafkan aku yang membiarkanmu menungguku begitu lama
Maafkan aku telah membohongimu
Maafkan aku Raya

Tangisnya memecah keheningan di ruang 3x4 itu. Cat biru muda menyelimuti dinding dengan gorden putih dan pengharum yang di gantungkan ke pendingin ruangan.

Tubuhnya melemah setiap harinya kanker darah yang di deritanya sudah memasuki stadium 4, sebuah hal yang mustahil bagi dirinya akan sembuh.

Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, laki-laki itu cepat-cepat menghapus pipinya yang basah agar mamanya tidak mencemaskannya.

"Nak makan dulu ya" sambil membuka bungkusan makanan

"Aku bosen mah makan bubur terus" rengek laki-laki itu seperti anak kecil yang tidak mau makan

"Bukan bubur kok, ini mama masakin kamu sayur bening bayem dan ada jangungnya kesukaan kamu, ada tempe juga"

"Serius ma aku boleh makan ini" tanya laki-laki itu memastikan

"Iya boleh, mama udah tanya dokter kok" jawab mamanya menyakinkan anaknya

Laki-laki itu melahap semua makanan yang mamanya buatkan, karena itu masakan kesukaannya. Dia sangat bosan memakan makanan yang di sediakan rumah sakit, baginya bukan membuat sehat malah semakin membuatnya lemas.

"Tok...Tok...Tok" suara pintu di kamarnya di ketuk
Kemudian masuk dokter spesialis penyakit kanker yang menanganinya.

"Bagaimana keadaannya" tanya dokter iti dengan ramah

"Baikan dok alhamdulillah" jawab laki-laki itu

"Begini, saya membawa kabar gembira. Adek akan di bawa ke rumah sakit di Singapore malam ini juga. Insyaallah disana sudah ada dokter yang teruji menyembuhkan pasien yang punya penyakit kanker stadium 4. Tapi hal itu membutuhkan waktu 3 bulan lamanya, gimana dari keluarga apakah setuju ? Kalau setuju nanti saya buatkan surat rekomendasinya"

"Alhamdulillah, setuju saya dok" mamanya sambil terisak karena bahagia anaknya masih mempunyai kesempatan hidup.

***

Remang yang singgahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang