PROLOG

2.2K 766 2.5K
                                    

Lapangan terasa suntuk karena para murid berdesakan. Ditambah dengan teriknya matahari, lengkap sudah penderitaan kami. Tapi tak apa lah. Setidaknya keringat kami dibayar dengan pentas drama gratis. Ada kejadian seru di tengah sana. Jeritan dan seruan para penonton menggema ke seluruh gedung sekolah.

"Hajar woi! Jangan kasih ampun."

"Mampus tuh orang!"

"Lawan lha bangke! Masa gitu aja kalah!"

"Angkasa ... semangat, sayang!"

Cowok yang disebut-sebut Angkasa itu, menoleh sarkas pada kerumunan. "Berisik!"

Penonton terdiam. Tak ada yang berani melawan atau sekedar membantah sang "Hakim Kebenaran." Iya, ia dijuluki demikian. Konyol bukan. Cowok yang seragamnya berantakan, temperamental, dan sering keluar masuk ruang BP, bisa diberi julukan se-suci itu.

Terlepas dari penampilan luarnya yang tak sedap dipandang, Angkasa memang sering terlibat perkelahian. Bukan, bukan karena dia duluan yang memulai. Lawannya dulu yang selalu memancing singa jantan bangun dari lelapnya. Juga karena cowok itu yang duluan mengajukan diri di hadapan semua murid saat masih duduk di bangku SMP dulu.

"Gue Angkasa Purnama Dewantara, akan jadi hakim kebenaran kalian. Kalau ada yang berani gangguin kalian, udah. Lapor aja sama gue. Masalah selesai," katanya.

Nah, sudah kubilang kan tidak ada yang berani membantah perintah sang pahlawan?

Aku tidak tahu dia itu sebenarnya kurang kerjaan atau memang berniat membela yang lemah. Tapi yang jelas aku tidak mau melewatkan kesempatan langka ini. Kapan lagi kami bisa menikmati pertunjukkan gratis di sekolah. Angkasa, cowok berandalan langganan guru BP, versus Vino, murid kesayangan seantero sekolah. Pasti seru.

"Bangon lo bajingan!"

Bugh!

Aduh. Ngilu rasanya menyaksikan panutan sekolah dihajar sampai lebam begitu. Seolah belum puas, Angkasa kembali mendaratkan pukulan ke wajah mulus Vino. Desisan penonton kembali bersuara. Vino pun kelihatannya pasrah saja dihajar Angkasa. Aku yakin dia sudah menebak kalau para guru pasti akan membelanya, bukannya memihak pada si Hakim Kebenaran.

"Berani lo gangguin cewek gue? Hah?!"

Bugh!

Konflik semakin merajalela. Angkasa membabi buta memberi jera, sementara sang korban hanya meringkuk tak berdaya di lapangan sekolah yang panas terpanggang. Sekali lagi kuulangi, bukannya kami tak ingin melerai mereka. Tapi apa daya kami yang notebene-nya murid biasa dengan Angkasa yang dikenal brutal terhadap lawannya. Selain kepala sekolah, tak seorang pun berani menegur Angkasa.

Oh, ralat. Mungkin ada. Dan mungkin orang itu akan datang sebentar lagi. Bersama gerombolan guru tentunya.

"Lo harus mati di tangan g-"

"Angkasa!"

Tuh, kan. Apa kubilang.

Cewek bersurai panjang bergelombang itu mendekati kerumunan bersama beberapa orang guru. Bak tuan putri, kami langsung menyingkir memberi jalan untuknya. Takut hal yang sama akan menimpa kami seperti yang terjadi pada Vino.

Wajahnya merah padam, bibir mungilnya mengulum menahan marah. "Mau berapa kali kubilang supaya kamu gak berantem lagi?!" suara cewek itu akhirnya.

Mata Angkasa membulat. Tangannya yang semula mencengkram kerah seragam Vino mengendor otomatis. Sang korban bangkit berdiri dibantu satu-dua guru. Vino dibawa ke UKS. Kerumunan dibubarkan. Terdengar seruan kecewa saat Pak Ryan berteriak menyuruh kami masuk ke kelas masing-masing. Terpaksa kami pergi.

Ckck, tapi aku malah keasyikan menonton dari lantai dua.

Raut wajah si Hakim Kebenaran nampak lesu. Dia baru sadar sudah melanggar janjinya dengan sang tuan putri. Dia khilaf.

Kepala sekolah maju satu langkah, menyisakan jarak lima senti dari Angkasa. "Kamu berniat dikeluarin dari sekolah, Angkasa?"

Angkasa menggeleng. Tuan putri menghela napas. "Izinkan saya berbicara sebentar dengan Angkasa, Pak. Setelah itu terserah bapak mau kasih dia hukuman apa. Dikeluarin juga gak apa-apa."

Cowok itu membelalak. Juga aku. Kepala sekolah mengangguk mengizinkan.

"Ayo." Vanilla, si princess menarik paksa lengan kekar Angkasa ke halaman belakang sekolah.

~•^Δ^•~

"Kamu mau dikeluarin dari sekolah, Sa? Kamu berniat ninggalin aku sekolah sendirian di sini? Kamu pengin hancurin masa depan kamu sendiri? Atau mungkin hancurin hubungan kita?"

Angkasa mengacak rambutnya frustasi. Sungguh, dia tak berniat membuat gadisnya gelisah. Salahkah kalau dia ingin melindungi pujaan hatinya? Lantas apakah ada cara lain untuk melindungi sang tuan putri?

"Bukan, Va. Maaf. Aku cuman gak tahan dia ngatain kamu di belakang," bela Angkasa.

"Memangnya dia ngatain aku apa?"

"Dia ngatain kamu maaf," jeda cowok itu meneguk ludah, "murahan."

Cowok itu gugup. Takut-takut kalau ucapannya barusan melukai Vanilla.

"Aku tahu."

Untuk kesekian kalinya, Angkasa dibuat shock. "Aku tahu dia ngatain itu di belakang. Karena itulah aku gak mau kasih tahu masalah ini ke kamu. Karena reaksi kamu pasti begini, langsung main tangan. Aku pasti ngasih tahu kamu kalau aja caramu nyelesain masalah gak kayak tadi, Sa. Aku gak pernah suka cowok yang hobi main tangan. Aku juga sebenarnya gak suka cowok yang emosian. Aku lebih prefers cowok kalem, kutu buku, yang bisa ngatasin masalah dengan kepala dingin. Tapi karena aku sayang sama kamu, aku rela lupain tipe idamanku, Sa. Aku nerima kamu apa adanya. Aku coba buat merubah hal-hal buruk darimu. Kamu lupa sama janji kita pas awal jadian?"

Angkasa memilih diam. Takut salah bicara yang akan membuat singa betina mengamuk.

Vanilla menghela napas, berusaha meredam emosinya. "Kamu bilang begini : "Jadi pacar aku, Va. Aku janji bakal berusaha ngubah sikap aku, I promise." Kamu lupa sama janji itu?"

"Engga, Va. Maaf. Aku udah berusaha buat ngubah sikap ini. Aku berusaha buat gak hajar anak orang. Tapi kalau udah menyangkut kamu, Va, aku gak bisa. Aku gak bisa tahan buat gak main tangan. Aku juga pengin ngatasin masalah dengan kepala dingin. Aku berusaha, Va. Tapi ternyata gak semudah yang aku bayangin. Badan aku serasa mau terbakar kalau aku nahan terus-menerus. Aku lepas kendali. Aku susah buat ninggalin sikap pemberontak ini, Va."

Ya, ini adalah kali pertama aku melihat Angkasa luluh di depan seorang gadis. Tutur katanya begitu lembut, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Angkasa yang semua orang kenal. Melihat Angkasa di kondisi seperti ini, aku paham deritanya jadi seorang cowok. Kasian dia. Padahal selama perjalanan ke sini tadi, dia sudah komat-kamit menyusun kalimat pembelaan.

Suasana lengang sejenak. Keduanya hanyut dalam pikiran masing-masing. Sampai akhirnya tuan putri membuka suara, "Kita putus aja," Angkasa terkejut bukan main. Lebih-lebih aku yang menonton di balik tembok gedung.

"Kalau memang alasanmu berkelahi karena aku, lebih baik kita putus. Supaya kamu tidak punya alasan lagi menghajar anak orang demi lindungin aku. Aku udah cukup dewasa buat jaga diri. Makasih, Sa. Untuk semuanya, sungguh. Semoga kamu bisa lebih baik ke depannya."

Setelah berucap demikian, Vanilla berjalan menjauh, baik dari jarak maupun dari hati seorang Angkasa Purnama Dewantara. Cowok itu ingin mencegat, tapi lidahnya kelu. Dia tak cukup berani untuk meraih lengan putih itu. Satu-satunya yang bisa dia lakukan, hanya menonton di tempat, seraya memutar kembali memori lama bersama gadis yang barusan mengakhiri hubungan mereka.

Salam, tokoh yang tidak pernah ada.

8 LETTERS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang