Bagian 26

8.9K 1.3K 599
                                    

Dedarah
Bagian 26

a novel by Andhyrama

www.andhyrama.com// IG: @andhyrama// Twitter: @andhyrama//FB: Andhyrama// Ask.fm: @andhyrama

○●○

Menurut kalian mana yang lebih penting dari hal-hal di bawah ini:

a. Uang atau respek dari orang lain.

b. Memenuhi keinginan pribadi atau membahagiakan orang lain.

c.Kemampuan menulis dengan baik atau memiliki ide tulisan yang menakjubkan.

d. Dapat diandalkan atau dapat memahami?

Jika kalian menjadi seorang detektif, misteri tentang apa yang ingin kalian pecahkan?

○●○

Saat sedang melihat api di kompor, aku mengingat sesuatu. Rambutku takut dengan api. Ya, dia takut api bukan takut cahaya. Aku menarik kesimpulan jika Mayang juga takut api, tetapi dia tidak takut cahaya—dia hanya tidak suka cahaya. Tidak suka cahaya? Aku menggeleng, dia tidak suka cahaya selain cahaya bulan.

Bukti bahwa dia muncul di kota di bawah cahaya bulan, di kolam renang dengan hanya cahaya bulan yang masuk jendela membuktikan bahwa ada suatu ikatan antara Mayang dan cahaya rembulan.

Pikirku, jika dia tidak suka cahaya bulan dia bisa mendatangkan awan gelap untuk menutupi bulan dengan sihirnya—seperti bagaimana dia membuat seluruh lampu mati saat dia ingin muncul. Tadinya, aku ingin mulai mencari rumah Mayang melalui peta yang diberikan Pak Salman malam ini, tetapi saat aku mengecek ke luar rumah, bulannya belum seratus persen penuh. Aku rasa besok adalah malamnya—purnama.

Besok malam, aku akan menebus utangku pada Mayang. Aku akan mencari rumahnya di hutan dan memintanya untuk mengembalikan Rajo. Aku memilih malam hari karena Mayang tidak akan keluar di siang hari dan aku memilih bulan purnama karena aku yakin jika Mayang menyukai cahaya bulan. Kurasa besok malam adalah waktu yang sangat pas.

Selesai memasak, aku memanggil ibuku untuk ke dapur. Dia datang dan duduk di kursi tempat meja makan berada. Kami berdua makan dengan berhadapan.

"Ibu sepertinya mulai mencoba mengikhlaskan Rajo," ujarnya seraya mengambil nasi.

Aku belum merespons, aku memperhatikan ibuku. Dia tampak sangat putus asa. Padahal, dia sempat memiliki harapan setelah mendapatkan mimpi Rajo akan pulang. Namun, aku sadar jika emosinya tidak stabil. Semua orang tua yang kehilangan anaknya pasti akan sangat terpukul.

"Ibu tidak boleh bilang begitu," kataku.

Dia tertawa getir. "Jika mengingat apa yang sudah Ibu lakukan, Ibu rasa bahwa Ibu memang tidak pantas memiliki Rajo."

Apa yang dia katakan? Padahal, sebelum Rajo hilang. Aku sudah mulai memberikan nilai lebih pada ibuku yang mengajak Rajo jalan-jalan, membelikan mainan, mengajaknya berlibur, menghabiskan banyak waktu dengan anak bungsunya itu. Sekarang, dia justru memberikan kesan bahwa dia sadar jika perlakukannya pada Rajo sangatlah buruk.

"Ibu tidak seburuk itu," kataku. "Aku mulai sadar jika Ibu adalah tulang punggung keluarga. Aku sempat mengeluhkan Ibu yang lebih sering bekerja daripada di rumah, tetapi aku seharusnya bersyukur karena Ibu terus berusaha keras untuk kami."

Ibu menggeleng. "Kamu tidak tahu seberapa besar rasa bersalah yang Ibu rasakan sekarang," kata dia yang membuatku bungkam.

Aku memang tidak tahu seberapa besar beban yang sedang ia emban. Aku tidak mau mendebatnya lagi. Mencoba tersenyum walau mata ingin menangis, aku membantunya menaruh lauk ke piringnya. Kami makan bersama tanpa bicara apa-apa lagi.

Dedarah 「END」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang