ISTRIKU TUA
#ITPART 8 👉
Jam di dinding menunjukan pukul 18.30, setelah sholat magrib, Fani sudah bersiap untuk berangkat mengajar les.
"Mas, Adek berangkat, ya!" Fani mencium punggung tanganku.
"Iya, sayang. Hati-hati di jalan! Pulangnya belikan Mas martabak manis ya, rasa keju susu." Aku menatapnya lembut.
"Iya, Mas." Fani mengangguk dan kemudian berjalan menuju pintu.
Taklama berselang, deru suara motornya kian menjauh. Aku tersenyum senang dan membuka ponsel. Mengetik sebuah pesan untuk Gisela.
[Dek, pulang kerjanya jam berapa?]
Tiga detik kemudian, sudah muncul balasan darinya.
[Ini sudah di jalan mau pulang, Bang.]
Aku tersenyum lagi, bayangan bibir sexi dan tubuh moleknya membius otakku.
[Jam berapa kita video callnya, sayang? Abang udah gak sabar 😊]
[Satu jam lagi, sayang.]
Yes, Gisela memanggilku sayang. Rasanya terbang ke awan, aih ...
Tepat pukul 19.30, aku langsung melakukan panggilan video. Hatiku dag-dig-dug menunggu Gisela menjawab panggilanku.
Taklama kemudian, panggilan videoku terjawab. Seorang gadis dengan leher jenjang, rambut di kuncir keatas tampak dilayar ponsel berukuran 6,3 inchi milikku.
"Halo, Bang ... " sapa Gisela sembari tersenyum ramah.
"Eh, halo, Dek." Aku sedikit gugup dan salah tingkah.
Astaga, gadis ini cantiknya full. Hatiku meleleh, oh tuhan ... andaikan Fani secantik dan semuda dia. Aku mengelus dada sembari geleng-geleng kepala menatap makhluk ciptaan Tuhan yang sangat indah ini.
"Bang Fahmi, kok malah bengong sih?"
"Eh, iya. Eh, maaf, Dek." Aku menyeka keringat di dahi. "Abang jadi grogi, abisnya Adek cantik banget. Abang jadi minder," ucapku sambil membenarkan rambut tebal hitamku.
"Ah, biasa saja, Bang. Biar cantik juga, tapi tetap saja bisa patah hati dan dicampakan pacar," ujarnya dengan wajah cemberut.
"Yang berlalu biarlah berlalu, Dek. Kan sekarang sudah ada Bang Fahmi, Adek jangan sedih lagi."
"Iya, Bang."
"Udah makan belum, sayang?" aku mulai melancarkan aksi.
"Kok panggil sayang segala, Bang? Entar kedengaran istrinya, Gisel disangka pelakor pula."
"Eh, Abang masih single, ya. Belum beristri dan jomblo. Baru dua puluh tahun juga."
"Masa sih?" Gisela terlihat memundurkan tubuhnya ke belakang. Kini aku bisa melihat seluruh tubuh semok itu, sungguh pemandangan yang indah hingga aku harus menelan ludah. Bagaimana tidak, pakaian serba mini yang melekat di tubuh mulusnya begitu sangat menggoda dan merusak iman.
"Iya, sayang. Abang gak bohong. Dek, kamu kok bisa cantik banget sih? Makannya apaan?"
"Ih, makan nasilah, Bang. Abang juga tampan, jangan menyanjung Gisel mulu deh. Jadi GR nih," ujar Gisela sambil membenarkan dadanya yang padat berisi itu. Sangat berbeda sekali dengan Fani yang sudah tempos itu, yang ini masih empuk. Lagi-lagi aku hanya bisa menelan ludah.
Obrolanku dengan Gisela begitu menyenangkan sekali, hatiku bergejolak hebat. Aku memang menyukai wanita berpenampilan sexi dengan aurat terbuka, hati menjadi damai jika melihatnya. Apalagi bisa menyentuh dan mencicipi manisnya, Astaghfirullahal'azim. Lagi-lagi aku hanya bisa geleng-geleng kepala sambil berbaring tengkurap, dengan kedua tangan menopang dagu.
"Mas," sayup terdengar suara yang memanggilku. Itu bukan suara Gisela, dia memanggilku bukan 'Mas' tapi 'Abang'.
Aku masih menatap takjub wanita di layar ponsel, dia terbaring dengan bersilang kaki di atas lutut. Paha mulus dengan betis jenjang membuat mata tak bosan memandangnya, suara manja dan lembut membius indra pendengaran.
"Mas, sedang video callan dengan siapa?" tanya Fani dan langsung mengambil ponsel dari tanganku.
Astaga, Fani. Kapan dia datangnya? Ah ... Aku berdecak kesal sambil bangkit dari tempat tidur.
"Siapa wanita ini, Mas?" teriak Fani dengan berang dan langsung membanting ponselku ke lantai.
Aku gugup, "Eh, Dek ... Kamu jangan salah paham dulu. Aduh, ponsel mahalku." Aku meringis dan dengan cepat memungutnya.
"Mas, kamu tega sekali," air mata Fani mulai luruh.
"Dek, Mas tidak selingkuh. Dia hanya kenalan di facebook." Aku mendekati Fani dan meraih tangannya.
"Adek sudah dengar semuanya, Mas. Kamu panggil dia 'sayang' dan ... Ah, aku benci kamu, Mas." Fani mendorong tubuhku hingga terpental di tempat tidur.
"Dek, maafkan, Mas." Aku tertunduk dan bingung harus berdalih apalagi karena sudah terlanjur tertangkap basah.
"Kamu keterlaluan, Mas." Fani memukul wajahku.
"Mas sudah minta maaf, kamu jangan seperti ini dong. Mas cuma kenalan di ponsel dan video callan saja, kamu juga pernah seperti ini dan malah lebih parah lagi," ucapku dengan nada tinggi dan tak mau kalah darinya, wanita tua dan mantan jalang itu.
"Mas, jangan mengungkit masa lalu! Adek sudah seperti itu lagi," dalihnya.
"Iya, dulu. Mungkin ini karma kamu biar merasakan sakit hatiku dulu. Ya sudahlah, jangan dipermasalahkan lagi. Sekarang kita inpas," ucapku santai.
"Mas, aku tidak terima dengan perlakuanmu ini. Aku tidak terima," jeritnya histeris sambil mengguncang tubuhku.
Hatiku panas melihat kelakuan Fani, kulayangkan tamparan keras di wajahnya sehingga membuat tubuhnya jatuh ke lantai.
"Awww, Mas .... " rintihnya sembari memegangi wajahnya.
Dia menatapku tajam dengan mata lebam, ternyata tamparan kerasku mengenai matanya.
"Kau keterlaluan, Mas." Fani mendorng tubuhku hingga jatuh ke lantai kemudian menduduki tubuhku dan memukulku membabi buta.
"Mas, aku sudah korbankan segalanya demi kamu. Jadi, jangan pernah kamu menyakitiku. Aku tidak mau diduakan, aku tidak rela .... "
"Ma-maafkan, Mas, Dek .... " rintihku dengan napas tersengal-sengal.
Sumpah, ini sakit sekali! Baru kali ini Fani memukulku. Aku tidak menyangka dia seberutal ini kalau sedang marah.
"Ampun, Dek." Aku mencoba mengiba.
Fani tidak memperdulikan rintihanku, ini tidak bisa dibiarkan. Kudorong tubuhnya dan kemudian bangkit dengan cepat.
Dengan tergopoh-gopoh, aku duduk di pinggir tempat tidur.
"Mas," panggil Fani dengan pandangan nanar.
"Ampun, Dek. Mas janji gak akan mengulanginya lagi." Aku mengiba dan langsung memeluknya.
Tubuh Fani gemetar, wajahnya penuh air mata dengan mata lebam. Rambut kusut masut dan pakaian acak-acakan, dia terlihat sepeti zombi.
"Maafkan, Mas, Dek." Aku menatap wajah Fani dan menyelitkan rambut di telinganya.
"Aww, sakit." Fani meringis sambil memegangi wajah lebamnya.
"Maafkan, Mas, Dek. Mas tidak sengaja," ujarku dengan suara lembut.
Sebaiknya aku mengalah walaupun sebenarnya tidak sepenuhnya salahku, ini hanya karma kiriman tuhan untuk wanita tukang selingkuh.
Oke, demi tidak tergesernya kesejahteraan ini, aku mengalah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Istriku Tua
Fiksi UmumFahmi, pemuda miskin dan pemalas yang menikahi Harfani hanya demi kesejahteraan hidupnya. Wanita berumur 43 tahun itu begitu mencintai pemuda yang umurnya berbeda 23 tahun dengan dirinya, hingga rela meninggalkan segalanya. Tiga orang anak juga suam...