TIGA PULUH EMPAT: Aku Tidak Main-Main

2.4K 193 28
                                    

Di sebuah rumah kontrakan di daerah timur Surabaya, Bisma yang baru turun dari motor, segera berjalan ke arah pintu. Seorang gadis bermata sipit menyambutnya dengan pelukan. Sebuah kecupan mendarat di pipi Bisma, dan lelaki itu membalasnya di kening sang gadis yang sedang mengenakan terusan pendek berwarna oranye terang sebatas paha itu.

“Bagaimana rapatnya, Om?” tanya gadis itu, Amalia Faranissa.

“Hmm, ya begitulah.” Bisma berkata sambil melepas sepatu, berjalan ke arah kamar tidur, lalu merebahkan tubuh di atas kasur yang diletakkan begitu saja di atas lantai. “Aku capek, Lia. Aku mau merem sebentar, ya,” lanjutnya.

Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu merengut. Padahal dia begitu merindukan kekasihnya. Seharian dia merasa gelisah karena tidak bisa menghubungi lelaki yang semenjak pagi disibukkan oleh sebuah rapat penting itu. Padahal, dalam sehari, biasanya Bisma masih mau meladeninya menjawab chat ataupun telepon, walaupun itu bukan sesuatu yang penting sekalipun.

Melihat kekasihnya langsung terpejam begitu saja tanpa merasa bersalah karena telah tak menghiraukannya seharian, Amalia melengos dan keluar kamar dengan langkah-langkah kesal. Gadis itu duduk di atas karpet hitam di ruang tamu, meraih ponsel dan memainkannya serampangan—tanpa maksud apa pun—dengan wajah jutek kebanggaannya, yang selalu berhasil membuat kekasihnya nanti kalang kabut. Tapi setelah beberapa menit berlalu, Bisma tetap diam di dalam kamar. Amalia semakin kesal.

Sementara itu, di dalam kamar, Bisma terpejam begitu khidmat, menutupi wajahnya dengan lengan yang ditekuk. Pikirannya menerawang, berputar-putar dan saling berbenturan. Sejak tadi, wajah lelaki yang merengkuh pinggang Centana, selalu membayanginya. Dan itu membuatnya kesal. Sangat kesal.

Bagaimana wanita yang telah dibuangnya itu memiliki keberuntungan sebesar itu; dinikahi orang kaya, tampan, lebih tinggi, dan lebih, lebih, lebih dari dirinya. Ketika meninggalkan wanita itu dan memilih untuk hidup bersama Amalia, Bisma berpikir, Centana akan tetap berada di rumah mereka. Terpuruk dan tersiksa. Bisma sangat ingin merusak batin istrinya itu, karena telah banyak mempermalukan dirinya. Harga dirinya sebagai lelaki, jatuh begitu saja karena Centana.

Suatu malam ketika Centana mengirimkan sebuah chat yang bertuliskan: Kau benar-benar berhasil menyiksaku, Bis. Rasanya aku ingin mati bersama anak-anak, dan membuat kalian menyesal seumur hidup, lelaki itu merasa rencananya berhasil. Centana menjadi gila. Menjadi tertekan dan sakit. Tapi Bisma sangat tahu, Centana tidak akan berani melakukan itu. Tidak akan mungkin bisa bunuh diri bersama anak-anak. Bisma pun mengabaikan isi chat itu, dan bersenang-senang bersama Amalia yang lebih menjanjikan bagi dirinya.

Bisma menghela napas panjang. Dia merasa begitu lelah. Padahal kepindahannya ke kantor Surabaya ini sengaja dilakukan agar bisa bertemu anak-anaknya lagi, tapi melihat mata Centana yang penuh kebencian itu, dia tahu ini akan sulit.

Benar-benar sulit.

Dan tentu saja, dia harus menyembunyikan perihal perjumpaannya dengan Centana dari Amalia. Jika tidak, gadis itu akan melakukan hal yang mengerikan.

Sangat mengerikan ....

***

Tubuh Centana terasa panas dan ingin meledak. Sentuhan dan ciuman Juna begitu lembut dan hangat. Dan dia merasa tidak ingin meninggalkannya. Namun, lelaki itu justru melepaskan bibir dan menempelkan hidungnya ke hidung Centana, sementara kedua tangannya menyentuh pipi wanita itu.

Napas-napas panas menguasai udara di sekitar mereka, degup-degup jantung yang saling berlomba.

“Ju-Juna ....”

“Ssssttt ... Biarkan seperti ini dulu, ya.” Lelaki itu menyentuh bibir basah Centana dengan ibu jari, dan membelainya dengan lembut. “Apa kau tahu ... Mungkin impian Papi dan Mami bisa terwujud malam ini.”

FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)Where stories live. Discover now