Terima Kasih - 07

28 1 0
                                    

Langit masih petang saat Lea keluar dari rumahnya. Meninggalkan rumahnya, keluarganya, orang-orang yang di cintainya, dan kenangan yang hendak ia lupakan.

Diiringi tangisan kencang Bima, Lea melangkah keluar rumah. Isakan kecil juga terdengar dari sang ibu dan suara ayah yang berusaha menenangkan Bima juga mengiringi kepergiannya.

Lea tidak mau diantar oleh ayah dan ibunya menuju bandara. Ia bersikeras untuk berangkat sendiri. Ia tidak ingin segala keputusan besar yang ia ambil kini goyah karena melihat orang-orang terpenting dalam hidupnya mengantar kepergiannya. Walaupun, langkah kakinya terasa berat, pun rasa untuk kembali dan berbalik badan sangat besar, tetapi ia menahannya mati-matian. Lea tetap -berusaha- kuat pada pendiriannya, pada pilihannya. Keluar dari rumah, meninggalkan semua di tempat ini, dan memulai kehidupan baru.

Ia ingat, saat ayahnya bersikeras untuk mengantar keberangkatannya. Setengah memaksa bahkan, karena ayahnya tak sampai hati melihat putrinya yang harus hidup sendiri nantinya. Jauh dari mereka berdua. Sang ayah ingin memastikan, apakah ia di sana hidup layak atau terlunta-lunta. Namun, tak kalah kerasnya Lea berusaha meyakinkan sang ayah, bahwa di sana ia pasti hidup dengan layak mengingat ada beberapa temannya yang sudah tinggal, bahkan menetap di sana. Sang ayah akhirnya menyerah. Ia merelekan sang anak pergi untuk memulai kehidupan baru di daerah orang.

Hanya saja, satu pertanyaan ayah yang mengusik hati Lea. Sebelum ia memesan kendaran online melalui aplikasi, sang ayah bertanya "Jovan gak anter kamu, Le?"

Terpaku mendengar pertanyaan ayahnya. Lea sampai menghentikan gerakan jemarinya pada layar ponsel. Ia terpaku mendengar pertanyaan ayahnya. Ia harus menjawab apa? Apakah berkata jujur tentang hubungan mereka? Bibirnya bahkan kelu untuk berucap. Alhasil ia hanya menggelengkan kepala sebagai jawabannya.

-

Memasuki bandara, Lea mulai menjalankan instruksi dari seseorang yang semalam ia hubungi. Seseorang yang sudah menunggu kedatangannya di sana. Seseorang yang sudah membantu ia yang buta akan tata cara melakukan perjalanan melalui jalur udara.

Iya, ini kali pertama Lea menginjakkan kaki di bandara. Sendirian pula. Perasaan gugup dan was-was tengah ia rasakan saat ini. Ia takut jika nantinya ketinggalan pesawat atau bahkan lebih parahnya lagi salah masuk pesawat yang membawanya. Ia takut setengah mati ditambah pikiran-pikiran buruk mulai menguasai.

Namun, sekali lagi, pesan dari orang yang sudah menunggunya di seberang pulau ini mampu membuatnya -sedikit- tenang.

Lea melangkahkan kakinya sembari menyeret koper yang berada di genggaman tangan kirinya dan tangan kanan yang memegang ponsel. Sesekali ia memperhatikan suasana bandara dini hari. Walau langit masih petang dan waktu menunjukkan dini hari, tetapi hiruk pikuk bandara seakan tidak menunjukkan waktu malam.

Banyak orang berkeliaran, bergerombol, duduk menunggu, dan orang-orang yang tengah antri di pintu keberangkatan. Tak lupa, orang-orang yang berjalan tergesa, berjalan sambil menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seperti mencari sesuatu, dan orang-orang yang sibuk bertelepon, keluar dari pintu kedatangan. Sepertinya, tidak ada istilah 'malam hari' di bandara ini.

Langkah kakinya membawa Lea menuju terminal keberangkan domestik, Lea memasukkan kopernya besarnya ke mesin untuk untuk di pindai. Setelah koper keluar dari sisi berlawanan, Lea mengayunkan kakinya menuju area check in.

Berhenti sebentar guna mengambil boarding pass yang ia simpan di dalam tas ransel, Lea sedikit melirik ponselnya. Berharap seseorang yang enam jam lalu resmi menjadi mantan kekasinya itu menghubunginya. Namun, hasilnya nihil. Tak ada pesan dari sang mantan. Hanya pesan dari ayah dan ibunya yang memenuhi kotak masuk ponselnya. Jika ada satu saja pesan dari sang mantan, mungkin Lea tak segan-segan untuk kembali 'pulang' sayangnya, hal tersebut tidak pernah terjadi, bahkan sampai Lea menonaktifkan ponselnya.

Terima KasihWhere stories live. Discover now