Bagian 1

1.5K 40 5
                                    


Dia sedang tidak buru-buru saat berjalan menyusuri trotoar. Menikmati pemandangan khas sore hari di kota yang ramai, kendaraan berseliweran dalam kecepatan yang wajar. Agaknya, semua pengendara yang lewat juga sedang tak begitu terburu-buru.

Gadis itu memutar sedikit lengan kiri, demi mengintip jarum-jarum mungil yang berputar dalam jam tangan yang tak lebih besar dari koin 100 Rupiah keluaran tahun 1978. Kombinasi tiga jarum itu menunjukkan waktu sore yang remaja. Belum terlalu dekat senja yang bisa membuat siapa saja merasa perlu buru-buru sampai di tempat tujuan. Tak jarang berebut menggunakan jalan, dan membuat jalanan sedikit kacau.

Terus melangkah lurus ke depan, tiba-tiba ada yang terasa tidak benar. Tidak selurus jalur khayal yang akan ditempuh kaki-kakinya. Ada sesuatu yang terasa tidak nyaman. Sesuatu yang dia rasa berasal dari perut.

"Ya ampun! Aku belum makan dari pagi." Gadis itu memegangi perutnya yang bergetar dan seketika terserang rasa bersalah.

Betapa tidak adilnya terhadap diri sendiri. Memenuhi kepala dengan pengetahuan dan kecakapan, tapi mengabaikan satu hal yang penting, terkait dengan kelangsungan hidup. Urusan perut!

Bersamaan dengan itu, getaran yang terjadi di perut seakan menjalar kemana-mana. Sampai ke tas yang bergelayut manja di punggung. Sebuah tas yang bisa dibilang mungil tapi muat buku tulis.

Sejenak dia diam. Mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Yassalaam, ternyata getaran itu berasal dari benda mungil yang ada di saku tasnya.

"Tolong beliin makanan, ya. Aku nggak bisa keluar."

Pesan masuk dari kontak bernama Bianca. Gadis dari kamar sebelah. Tadi pagi Bianca kesakitan karena datang bulan hari pertamanya, dan bisa jadi seharian ini dia juga belum makan apa-apa.

"Siap, Bos!"

Gadis itu berhenti sejenak, mengetik balasan, kemudian mempercepat langkah. Dia harus segera membeli makanan. Rasanya sore ini makan nasi dan ayam goreng cukup menarik bagi perutnya yang sudah meraung-raung. Rasa gurih tepung renyah akan lezat dikombinasikan dengan nasi yang menetralisirnya asinnya. Sempurna! Begitu pikirnya.

Kaki bersepatu kets nomor 38 itu berhenti di depan kios yang dijadikan tempat menjual ayam goreng, yang sebelumnya merupakan toko peralatan seluler.

Ada dua bocah lelaki berbaju kumal. Satu usianya lebih tua, mungkin 10 tahun dan satunya lagi masih terlihat seperti balita.

"Mas, mau beli ayam goreng. Tepungnya aja kalau boleh," ucap si bocah yang lebih tua.

"Boleh. Mau beli berapa, Dek?"

"Ini uangnya, Mas."

Terlihat anak kecil itu menyodorkan dua lembar uang bergambar Pahlawan Patimura.

"Kalau segini uangnya nggak cukup, Dek."

Mendengar jawaban dari penjual ayam goreng tersebut, bocah-bocah itu saling berpandangan sejenak. Anak yang lebih tua mengelus bahu anak satunya sembari tersenyum. Dia juga menegakkan bahu. Ajaibnya, anak kecil yang tadinya lesu kembali terlihat bersemangat.

"Kalau runtukannya aja, boleh nggak, Mas? Kasihan adik saya pengin makan ayam goreng."

Penjual itu malah tertawa. Bukan jenis tawa yang mengejek, karena raut mukanya sangat bersahabat. Gadis yang berada di depan gerobak melirik sekilas, dia hampir mengeluarkan uang tambahan untuk membelikan dua bocah itu, sebelum indra pendengarannya menangkap dialog anak-anak tadi dengan si penjual ayam goreng.

"Kasihan," ucap pemuda itu manja dengan gaya anak-anak sambil membungkukkan badan, demi melihat wajah mereka lebih dekat. "Memangnya, di mana orang tua kalian?" Tangannya mengelus pipi bocah yang lebih kecil.

AZZAM (Diterbitkan oleh: Penerbit Lovrinz)Where stories live. Discover now