Chapter 6

396 31 10
                                    

Assalamualaikum :)

Jangan lupa votennya ;)


••• AFTER MEET YOU •••


Tanpa menunggu sehabis shalat, Kanya sudah lebih dulu ke kantin. Tenggorokannya bagai musim kemarau yang tak kunjung dihujani. Ia sedikit kesal dengan ketua Osis yang menghukumnya itu, sebab tidak peka terhadap dirinya. Bukan peka perasaan, melainkan kehausan. Jika lama-lama tak diberi cairan, bisa dehidrasi.

Menenggak sebotol minuman segar, memang sangat melegakan bagi tenggorokannya. Gadis itu masih saja mengatur napasnya, padahal sudah duduk kursi pojok paling belakang. Kanya sangat gemar sekali berada di pojok, atau lebih tepatnya dia tidak ingin diganggu oleh siapapun.

"Awas aja tuh, gue kerjain balik kalo dia ke rumah gue lagi," gerutu Kanya sambil melahap biskuit panjang rasa vanila. Ia berpikir sebentar, menimbang apa yang dia ucapkan. "Eh tapi, kalo gue kerjain nanti dia nggak mau ngajarin gue ngaji lagi. Jangan deh jangan," katanya menggeleng cepat.

"Kok ada ya orang kayak dia? Kadang ngeselin, kadang baik banget. Bingung gue." Kanya sambil membayangkan sikap Arga yang berubah-ubah kepadanya.

"Namanya manusia, Allah yang membulak-balikan hatinya." Tiba-tiba seseorang menyambar perkataannya sambil menaruh sebotol air mineral berukuran 600ml.

"Lagi ngomongin saya?" katanya lagi.

Kanya gelagapan sendiri karena seseorang yang sejak tadi ia kesali berada di hadapannya.

"Yang merasa aja," sidir Kanya mengedarkan pandangan ke segala arah, lalu menatap Arga lekat-lekat. "Oh, apa jangan-jangan lo merasa?"

Sekarang situasinya terbalik. Arga merasa dirinya berbanding 1:1 dengan gadis itu. Lagi pula tanpa diberitahu, Arga pun sudah tahu jika Kanya sedang membicarakannya.

Kanya mengangkat botol air mineral itu dan menunjukannya tepat di depan wajah Arga. "TELAT!" Lalu, meletakan kembali di atas meja.

Bersikap baik salah, dibiarkan kehausan katanya nggak peka. Sebenarnya apa mau gadis itu?

"Terserah kamu, yang penting saya udah berbaik hati mau kasih kamu air." Selepas mengucapkan itu, Arga melangkah meninggalkan Kanya sendiri. Namun sepertinya Kanya merasa bersalah, sebab dirinya lupa mengucapkan terima kasih.

"Oke, gue ngalah. Terima kasih Kakak ketos yang baik hati dan tidak sombong." Kanya menekankan setiap katanya. Menatap Arga malas.

Namun, lawan bicaranya itu tak menghiraukannya. Arga hanya sekilas melirik Kanya, lalu beranjak menuju meja teman-temannya yang memperhatikan perdebatan mereka sejak tadi.

"Lo suka sama cewek itu?" tanya Bara to the point. Arga membulatkan mata lebar-lebar. Pertanyaan Bara bisa saja didengar oleh Kanya, dan akan menimbulkan fitnah.

"Enggak lah!" tolaknya cepat.

"Masih gue lihatin," timpal Wildan.

Bara maupun Wildan, sama-sama tak begitu percaya apa yang keluar dari mulut Arga tadi. Bisa saja itu adalah sebagai bentuk pelindung gengsi atau memang sebenarnya suka.

"Lihatin apa?" tanya Arga polos.

"Lihatin sampe lo jadian," ucap Wildan asal. Mereka tertawa, terkecuali Arga. Justru laki-laki itu terlihat sedikit terkejut.

"Nggak ada pacaran-pacaran," belanya.

Wildan mengangguk mengerti. "Jadi langsung nikah?"

Arga semakin tak tahu arah pemikiran temannya itu. Rasanya ingin sekali menyumpal mulut Bara dan Wildan dengan bakso urat yang berada di mangkuk.

"Anak bau kencur nggak boleh ngomongin nikah," kata Arga terkekeh.

Bara menunjuk Wildan dengan dagunya. "Tahu lo, Wil. Tidur masih sama Emak aja udah mikirin nikah!" Kali ini Bara berpihak pada Arga.

Plak

Kepala Bara sepertinya terkena serangan dari seseorang yang berada di depannya. Ia meringis kesakitan.

"Lo kalo ngomong," jeda Wildan melirik keadaan setempat, "suka bener!" lanjutnya, kemudian tertawa. Apalagi Bara tertawa sambil memukul-mukul meja yang mengundang tatapan tajam ibu kantin.

Kebiasaan setelah tertawa lepas adalah diam. Kembali pada pikirannya masing-masing. Entah kebiasaan dari mana, tetapi memang kebanyakan seperti itu. Sebab sudah terlalu sakit perut untuk berbicara lagi. Atau tiba-tiba kehabisan topik pembicaraan.

"Hari ini lo ada rapat nggak?" tanya Bara tertuju pada Arga.

Arga menggeleng, setelah mengingat jadwal rapat. "Kenapa?"

"Biasa," jawab Bara. Arga mengerti maksud Bara adalah mengajaknya untuk sekadar minum kopi di cafe ujung jalan sekolah. Ia menggeleng lagi. Hari ini memang tidak ada rapat apapun di sekolah, namun ia sudah janji untuk mengajar gadis itu lagi.

Bara dan Wildan saling melemparkan tatapan tak mengerti. Biasanya pasti setuju saja. Ya, walaupun terkadang Arga fokus pada layar laptop untuk membuat proposal, dan kedua temannya bersantai menikmati sacangkir kopi.

"Gue lagi ngajarin seseorang ngaji."

"Siapa?" Keduanya menatap Arga penuh curiga.

"Jangan bilang Kanya?" tebak Wildan tepat sasaran. Arga mengangguk membenarkan.

"Sejak kapan?"

"Waktu awal MOS," jawab Arga mengingat kejadian hari itu. Semisal sudah seperti ini, mau tidak mau, Arga harus menjawab semua pertanyaan kedua temannya itu. Jika tidak, akan diteror terus-terusan.

"Ternyata gerak cepet juga lo," sindir Bara, sambil menepuk-nepuk bahu Arga. Dirinya merasa tersaingi oleh temannya itu.

"Lo kasih jampi-jampi apa, Ga?" tanya Wildan dengan wajah watadosnya. Iya, wajah polos tanpa dosa. Dengan entengnya ia mengajukan pertanyaan itu kepada Arga.

"Sembarang!"

Jika tadi kepala Bara yang menjadi sasaran Wildan, kali ini gantian. Saatnya Wildan yang menjadi sasaran empuk Bara. Kedua laki-laki itu tampak membalas dendam satu sama lain. Bukan membalas dendam dengan membunuh atau hal-hal menyeramkan lainnya, melainkan mengeplakan kepalanya.

"Kalau mau nanya yang beneran dikit bisa nggak sih?" tegur Bara kepada Wildan. Ia berpikir sejenak seusai mengatakan itu. Pandangannya seolah mengintimidasi Arga. "Eh, Wil, gue tahu si Arga pake jampi apa!"

"Apa?"

"Ya, jampi-jampi cinta lah. Gitu aja nggak tahu!" jawab Bara asal.

"Lo juga kalo ngomong yang bener!" Sekali lagi Wildan melayangkan serangan kepada Bara.

"Gue bener!"

"Emang lo cewek yang selalu bener?" sindir Wildan, kemudian mereka tertawa.

Arga hanya memperhatikan setiap gurauan kedua temannya. Tidak berniat ikut campur dalam persoalan itu.

"Cowok juga butuh keadilan!"

"Makannya jadi cewek aja lo sana biar apa-apa selalu bener, dan selalu mengatas namakan perasaan." Wildan menekankan kata 'perasaan'. Entah angin dari mana, tiba-tiba saja Wildan berbicara mengenai perempuan seperti itu.

"Kok lo jadi curhat?" Bara tersadar arah pembicaraan ini.

Diliriknya arloji yang melingkar di lengan kiri, Arga beranjak dari kursi. Kedua temannya sama-sama mengernyitkan dahi. Menyudahi perdebatan yang jauh dari kata penting.

"Mau ke mana?"

"Balik ke kelas," jawab Arga hendak melangkah. Ia teringat ingin mengatakan sesuatu pada kedua temannya. "Oh iya, lo berdua JBP ternyata," ucap Arga penuh teka-teki.

"Apaan itu?" tanya Bara sok polos.

"Jomblo Butuh Perhatian!" Kemudian Arga melanjutkan langkahnya sambil tertawa. Tidak menghiraukan teriakan dari mereka.

After Meet You [ REVISI SELESAI ]Where stories live. Discover now