Bagian 5

203 11 1
                                    

Entah takdir apa yang sedang mempermainkan Karina, sehingga saat ini dia kembali berada di kios tempat Ilham berjualan. Kemarin, dia telah berhasil menyumbangkan tangan untuk membantu pekerjaan Ilham sampai akhirnya dia bisa menyelesaikan pesanan tepat waktu, bahkan gadis itu juga ikut mengantarkan pesanan ke rumah si pemesan. Untuk pertama kalinya mereka bersama dalam waktu yang cukup lama, dan terlibat beberapa obrolan yang sebenarnya biasa saja, tapi anehnya hal itu menumbuhkan perasaan nyaman di hati Karina.

Mengingat jawaban-jawaban yang diberikan Ilham ketika mengisi kuesioner skripsi miliknya kemarin, Karina paham bahwa seperti juga kebanyakan pedagang kecil lain, Ilham tidak membuat pencatatan dengan baik. Bahkan jika ditanya berapa laba yang dapat dihasilkan dalam satu hari, Karina yakin Ilham tidak dapat menyebutkan angka pasti untuk sebuah rata-rata. Pemuda itu benar-benar tidak tahu apa itu cashflow.

Begitu juga dengan pencatatan stok barang, semua hanya ditulis dalam lembar-lembar kertas. Akan tetapi, apakah dia juga menyimpan dan kemudian merekap semuanya?

Banyak celah-celah yang bisa menimbulkan kebocoran anggaran, yang tidak disadari oleh Ilham, dan itu bisa mengancam keberlangsungan usahanya. Menurut Karina, tidak ada jalan lain selain memperbaiki manajemen usaha milik pemuda itu. Apalagi mengingat bahwa kelihatannya hanya usaha itulah satu-satunya tumpuan hidup Ilham. Apa jadinya kalau usahanya bangkrut?

Ah, apa pedulinya? Kalau bangkrut ya bangkrut saja. Tutup ya silakan saja. Toh tidak ada pengaruhnya sama hidup Karina, kan? Dia akan selalu berada dalam keamanan finansial yang terjamin oleh orang tua. Untuk apa dia harus peduli sama tukang ayam goreng tak tahu diri, yang sudah memaksanya menjadi asisten di hari sebelumnya?

Nyatanya Karina tidak bisa sekejam itu. Bahkan ketika seharusnya semua perhatian dia curahkan kepada tugas akhir, rasanya mustahil bisa mengabaikan Ilham begitu saja. Ada perasaan perlu untuk menolong, sekaligus mempraktikkan ilmu yang selama ini didapatnya.

Dan di sinilah dia terdampar sekarang. Menempati salah satu meja di kios itu, berkutat dengan tabel-tabel yang dia susun. Membuat semuanya sejelas dan semudah mungkin untuk dimengerti. Sambil sesekali mencuri pandang ke arah Ilham yang sedang melayani pembeli.

Ada sesuatu yang ganjil di dada Karina. Sesuatu seperti warna-warna yang saling berbenturan di udara. Kacau, tapi tetap indah. Terutama saat pemuda itu terlihat begitu ramah, menampilkan senyum terbaiknya pada para pembeli. Ya, dia memang simbol kesederhanaan yang mengagumkan.

"Mas, Karin pergi dulu, ya." Karina berpamitan ketika apa yang dikerjakannya sudah selesai.

"Oh, mau ke mana? Ada kepentingan, ya?" jawab pemuda itu, yang sebenarnya belum rela kalau Karina pergi.

Jam makan siang membuat kiosnya selalu ramai, jadi selama Karina duduk di sana, mereka hampir belum sempat mengobrol, kecuali hanya saling sapa sekadarnya.

"Nggak. Eh, iya, mau nge-print ini. Nanti kalau udah jadi Mas pakai ya," pinta Karina membuat Ilham diserang tanda tanya.

Cowok itu hanya diam dan memajukan sedikit wajahnya, melihat layar laptop yang barusan ditunjukkan Karina.

Ekspresi wajahnya yang terlihat bingung begitu benar-benar membuat Karina gemas. Rasanya ingin sekali tangan itu mencubit pipinya, atau sekadar menepuk-nepuk manja pipi dengan rahang yang tegas dan terkesan sexy itu.

"Emh, in-ini ... Tadi aku bikinin jurnal-jurnal buat Mas Ilham, biar usaha Mas jadi lebih baik lagi."

"Jurnal?"

"Iya, nanti Mas bisa isi setiap hari supaya perkembangan atau apa pun itu lebih mudah dideteksi dan diantisipasi," terang Karina dengan gembira.

"Tapi aku nggak ngerti."

AZZAM (Diterbitkan oleh: Penerbit Lovrinz)Where stories live. Discover now