Bagian 10

131 4 0
                                    


"Tolong jaga Karina kami."

Suara Yoga terdengar begitu tenang, dan membuat Ilham takjub dengan kewibawaannya.

"Gadis yang kamu cintai, dia akan merasa seperti kehilangan sayap begitu keluar dari rumah ini. Dia juga sangat rapuh. Tugasmu adalah melindungi dan membahagiakannya."

Yoga mengambil cangkir tehnya yang masih terlihat mengepulkan asap, kemudian menyesap teh hangat itu satu seruput. Pagi ini, adalah hari pertama baginya menjadi seorang mertua. Dan hari terakhirnya untuk bisa bersama putri semata wayang, karena sore ini juga Ilham akan segera memboyong istrinya ke Jakarta. Setelah perdebatan panjang Karina dengan Nilam, mereka sepakat untuk meninggalkan Purwokerto, dan hanya akan kembali setelah mereka membuktikan diri. Itu adalah janji keduanya demi mendapatkan izin untuk menikah. Izin dari Nilam, bukan restu penuh doa-doa seperti yang diberikan Yoga. Hanya Izin.

"Tentu saja, Om. Saya juga sangat mencintai Karina. Saya menginginkan kebahagiaan yang sama untuk dirinya."

"Papa. Kamu bisa memanggilku dengan sebutan papa, karena mulai sekarang, kamu juga anakku."

Pemuda di hadapannya terlihat masih sangat canggung. Jari-jari Ilham saling bertaut, dia tidak pernah menyangka, mengobrol dengan papa mertua ternyata bisa semenegangkan itu, bahkan ketika aroma teh yang wangi dan menenangkan berada di antara mereka.

"Maafkan juga atas sikap istriku. Karina adalah putri kami satu-satunya, wajar jika dia menginginkan yang terbaik buat Karina. Anak itu sudah terbiasa hidup seperti ini, jadi ada sedikit rasa khawatir di hatinya, kalau Karina akan kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya nanti. Kalau saja kalian tidak bersikeras untuk tinggal terpisah dengan kami, mungkin dia juga akan lebih tenang."

"Maafkan saya, Pa." Akhirnya kata itulah yang berhasil keluar dari mulut Ilham. "Saya berjanji, akan selalu berusaha menjaga dan melindungi Karina, serta sebisa mungkin membahagiakannya meski kebahagiaan yang kutawarkan tak semewah yang kalian miliki." Ego pemuda itu cukup tinggi, baginya, seorang istri adalah tanggung jawabnya. Akan sangat melukai harga dirinya, jika dia harus numpang hidup di rumah mertua, dengan segala fasilitas yang dia dapatkan secara cuma-cuma. Itu bukan gayanya. Dia sudah terbiasa bekerja keras jika menginginkan sesuatu, maka untuk seorang istri sudah pasti dia mampu melakukan lebih lagi. Terlebih istri yang Allah percayakan padanya adalah seorang Karina. Gadis yang bukan hanya memikatnya lewat kecantikan wajah, juga kecakapan berpikir, tapi juga kebaikan hatinya. Untuk wanita yang sesempurna itu menurutnya, Ilham pasti mampu melakukan banyak hal di luar apa yang sebelumnya mampu dia lakukan.

"Aku percayakan Karina padamu. Jangan pernah merasa sungkan untuk menghubungiku kalau butuh sesuatu."

"Iya, Pa. Terima kasih."

***

Dua hari satu malam. Waktu yang cukup lama bagi seorang Ilham, yang dilaluinya tanpa ayam-ayam. Pundi-pundi recehnya tidak bertambah, yang ada malah tabungan semakin menipis. Untung saja paket perjalanan ke Pulau Tidung tidak terlalu mahal, ya, meski harus puas dengan penginapan yang agak jauh dari pantai, dan mendapatkan dua kali makan dengan lauk yang menunya tidak jauh dari ikan.

Meski demikian, kali ini hati Ilham meletupkan kebahagiaan yang teramat, ketika dirinya memandangi wajah lelah Karina yang tertidur di pundaknya. Kekasihnya itu terlihat begitu bahagia. Ada banyak senyuman Karina yang mewarnai ingatan Ilham sepanjang mereka liburan. Dan senyuman Karina adalah amunisi terbaik untuk meledakkan semangatnya.

"Karina, kita sudah sampai."

Ilham berusaha membangunkan istrinya dengan sangat perlahan, saat taksi yang mereka naiki berhenti di depan gang.

"Karina," bisiknya lembut.

Kali ini dia sedikit mendekat, tapi Karina terlalu pulas. Sepertinya dia benar-benar kelelahan. Pada akhirnya, pria itu memutuskan untuk menggendong sang istri di punggungnya.

Berjalan di gang dekat rumah sambil menggendong Karina, dan dua tas tenteng di tangannya, entah mengapa hal itu tidak membuat Ilham terbebani. Ketika dirinya menghentikan langkah untuk mengambil napas lebih dalam, Ilham mendapati bulan yang malam ini tengah purnama. Cahayanya begitu megah di atas sana. Bintang-bintang yang menghiasi langitnya, seakan tengah cemburu dengan kebahagiaan sepasang manusia itu.

"Karina, aku bersyukur memilikimu sebagai pendamping. Aku bersyukur karena Allah telah mengirimkanmu sebagai berkah di dalam hidupku," ucap pria itu seraya melanjutkan langkah.

Sedikit lagi mereka sampai, dan tatapan beberapa remaja yang terlihat baru pulang dari masjid, membuat kebahagiaan Ilham semakin melonjak. Senyum dan wajah-wajah mereka ketika Ilham menyapa dengan senyuman, jelas sekali menunjukkan kekaguman. Barang kali mereka sedang iri juga pada Karina, yang memiliki suami sesabar dan sepenyayang dirinya.

Sampai di depan pintu, Ilham agak kesulitan menemukan kunci rumah. Terpaksa akhirnya dia memutuskan untuk membangunkan Karina. Yang ditanya sepertinya terlalu lelah, dia hanya menunjuk tas selempang kecil yang dia kenakan. Lalu dengan susah payah, Ilham mengambilnya sendiri.

Begitu sampai kamar, Ilham segera membaringkan tubuh Karina di kasur. Punggungnya serasa mau patah, tapi lagi-lagi wajah Karina yang tengah tertidur pulas, menguarkan segala rasa yang membebani.

"Mimpi indah, Sayang." Ilham mengecup kening istrinya, lalu menyelimuti wanita itu.

Karina sendiri sebenarnya tidak benar-benar tidur. Sejak dia dibangunkan dari taksi tadi, dia sudah mendapat cukup kesadaran untuk bisa mendengar suara Ilham. Namun rasa lelah seperti lem maha kuat yang merekatkan matanya.

"Mas?" panggil Karina dengan suara serak khas orang bangun tidur.

"Kenapa, Sayang?"

"Terima kasih," ucap Karina sambil memamerkan senyum.

"Untuk?" Ilham melepas jaket yang dia kenakan, lalu menghampiri istrinya.

"Semuanya. Terima kasih karena sudah mengajakku jalan-jalan. Terima kasih karena sudah menggendongku, dan maaf ...."

Ilham menempelkan jari telunjuknya di bibir Karina, menghentikan kata apa saja yang hendak keluar dari sana.

"Tidak ada kata maaf dan terima kasih dalam cinta. Aku mencintaimu. Itu saja. Dan kita adalah dua yang satu."

Ilham Nurkarim. Seperti namanya, lelaki itu serupa cahaya yang isyaratkan kebaikan. Karina semakin bersyukur karena memiliki seorang sebaik Ilham dalam hidupnya.

Menanggapi ucapan Ilham barusan, Karina tersenyum kemudian mencium pipi suaminya, kemudian menarik selimut sampai menutupi kepala.

"Love you, Mas Ilham chaiyaaang," ucap Karina dengan gaya dilebay-lebaykan.

"Love you too, Manisku," jawab Ilham yang kemudian tertawa lepas, menyadari kekonyolan mereka saat ini.

Destinasi cinta yang mereka tuju semakin nyata. Tak lagi kabur oleh keraguan dan ketidakyakinan akan masa depan. Seperti janji Karina pada dirinya sendiri, bahwa cintanya dengan Ilham, bukan sekadar penyatuan dua aku menjadi kita. Bukan hanya ajang pembuktian pada mamanya, bahwa dia akan selalu baik-baik saja bersama Ilham, atau sekadar menunjukkan pada dunia bahwa dia mampu bertahan dengan satu lelaki seumur hidup. Tujuan cinta mereka jauh lebih mulia dari itu.

AZZAM (Diterbitkan oleh: Penerbit Lovrinz)Where stories live. Discover now