Desas-desus Bos Baru

22.1K 1.5K 2
                                    

Jangan tertipu dengan penampilan luarnya, kalau belum kenal coba selidiki lebih dalam. –Mata-mata kantor



Divya terlambat sepuluh menit dari jam kerja seharunya. Ia masih mengantuk, ia membenamkan wajah ke meja dengan melipat dua tangan. Lima menit saja, untuk ia memejamkan mata.

Aroma kopi Starbucks tercium oleh hidungnya dibarengi langkah dua orang yang mendekat ke kubikelnya.

"Jul, yang udah gue seruput mana?" terdengar suara Frans di samping kursi Divya.

"Ini." Julia menyerahkan cup milik Frans. Laki-laki itu memegang dua cup, meletakkan satu di atas meja Divya. "Biar segeran dikit, nih. Ditraktir Ibu Julia Siregar."

Terdengar tawa Julia, renyah. "Nggak kok, itu dapat gratisan aja, Di. Lagi banyak promo akhir bulan ini." Julia menjawab dari kursinya, duduknya di sebelah kanan Frans. Frans duduk di antara Julia dan Divya. Meja mereka menyambung dan diberi sekat setengah meter.

Divya masih memejamkan mata, malas menanggapi.

Frans menarik kursinya ke meja Divya. "Bu Gretta mau pindah divisi apa gimana? Atau mungkin naik jabatan, dia kan senior ya?" katanya tiba-tiba.

Divya masih malas bangkit dari posisinya, tapi otaknya mulai penasaran.

Julia yang mendengar itu dari mejanya mulai ikut nimbrung. "Hah, masa sih?" tanyanya dengan suara dipelankan, pasalnya bos mereka sudah ada di dalam ruangannya.

"Ini gue belum yakin sih, masih katanya. Tadi dengar dari divisi sebelah yang mau di leader-in sama Bu Gretta. Dia tanya-tanya soal cara kerja Big Bos kayak gimana, gue jawab aja apa adanya. Cerewet, tegas, kadang kelewat tegas dan ambil proyekan nggak kira-kira."

"Hahaha... gila, lo. Belum apa-apa sudah bikin anak orang jantungan." Julia berkomentar setelah tawanya reda.

"Husstt!" Frans melirik pintu ruangan supervisor-nya. "Biar sekalian shock, Jul."

"Terus yang gantiin Big Bos siapa?" Divya buka suara dan mulai menarik cup kopinya.

Mata Frans menyipit, "kayanya sih... cowok yang gantiin beliau. Mayan buat seger-seger lo sama Julia, kan?"

"Haih!" Divya geleng kepala. "Kalau sudah tua ya sepet juga nih mata." Ia memprotes.

"Nggak kok. Bocorannya orang ini ditarik dari kantor cabang Surabaya, masih muda, Di. Percaya deh sama gue." Frans menepuk dadanya.

Divya menatap Frans sinis. "Gue heran sama lo. Lo tahu gosip aja ya. Untung Gilang nggak gini, bisa pening kepala gue kalau pas ketemuan ngomonginnya orang terus."

Frans terkekeh, ia bersandar di kursinya. "Cowok lo kan sibuk sama coding, Di. Coding kalau disatuin sama gosip, susah nyambung. Bisa bikin error sistem kantor!"

"Lanjut ceritanya dong." Julia tak sabar ingin mendengar lanjutan pergosipan pagi ini.

Frans menarik napas sebentar. "Beneran, gue nggak lagi bohongin elo-elo pada. Masih belum 30-an katanya."

"Oh ya? Kalo masih muda siap-siap proyekan kita banyak. Lo nggak sadar apa, Bu Gretta yang ngurus tiga anak aja ambil proyek nggak kira-kira. Gimana nanti yang baru, tenaga masih ada, apa-apa pasti oke, apalagi kalau belum married. Single?" cecar Divya mulai menyadarkan teman-temannya dari perburuhan ini.

Frans angkat bahu disambung gelengan pelan. "Lo ada benernya, Di. Bisa-bisa pas gue cuti liburan nanti tetep diteleponin suruh cepet balik. Aih!" ia mengedikkan bahu.

"Hahaha... " gantian Divya yang tertawa. Setidaknya rasa ngantuknya mulai menguap perlahan-lahan. Ia pun menyeruput kopi panasnya, aroma dan rasanya nikmat.

Julia memanyunkan bibirnya, "gue pikir kalau muda justru bakal asyik."

"Kita lihat aja nanti, Jul." Frans mendorong kursinya kembali ke meja kerjanya. Julia ikut balik ke tempatnya, ia melirik Frans. "Oke nggak orangnya?"

Frans angkat bahu, ia belum melihat profil lengkap calon atasannya dari sumber berita.



Julia melongok ke ruangan Bu Gretta, tidak ada orang di sana. Kemudian ia berjalan ke kubikel teman kerjanya, menyandarkan tubuh di kubikel Divya dengan memamerkan cengiran lebar.

"Kenapa sih?" Divya melirik sebentar, lalu kembali mengetik.

"Nggak usah pura-pura kerja kalau memang lagi nggak ada kerjaan, Didi..." ledek Julia, masih tersenyum selebar pintu gerbang tol.

Divya masih terlihat serius, membuat Julia penasaran dan akhirnya melihat layar komputer Divya. "Ya Tuhan... gue kira lo lagi kerja, ternyata ngurus surat cuti!"

"Jangan berisik, gue mau semedi lima hari." Bisik Divya, tangannya masih sibuk mengetik. "Done!" dia baru saja mengirim pengajuan cutinya lewat surel kepada Bu Gretta.

"Nggak bakal dibaca hari ini juga, Di. Big Bos nggak ada di ruangannya, kabar dari HRD sih anaknya lagi sakit." Terang Julia.

Julia, Divya dan Frans, kompak memanggil Bu Gretta di belakang orangnya dengan sebutan 'big bos'. Bukan karena beliau adalah bos besar sungguhan mereka, lebih tepatnya panggilan itu mereka tujukan untuk kesemena-menaannya Bu Gretta pada anak buahnya, ia sering sekali memberi beban lebih dari kesanggupan si anak buah—bahkan hingga hari ini beliau masih begitu. Awalnya ide ini dari Frans, si senior yang sudah tiga tahun bekerja sebagai penilai properti.

Frans baru muncul dengan satu cup kopi langganannya, apalagi kalau bukan kopi dari Starbucks. Ia meletakkan tas di kursi dan melihat layar komputer Divya yang sudah menyala, menampilkan laman e-mail pada berita terkirim.

To: Gretta Wulandari Nasution

Perihal: Surat Pengajuan Cuti

"Cieee... Didi mau cuti." Ucap Frans dengan menggeleng-gelengkan kepala. Ia yang akhir-akhir ini sering mendapati Divya murung tidak jelas. "Jumat ini lo balik?" tebaknya.

Divya mengangguk.

"Mau semedi katanya." Julia meledek.

"Sekalian cari... apa itu? Wangsit!" tambah Frans, tidak mau kalah.

"Bukan, tapi ilham." Divya meluruskan. "Gue nggak percaya perdukunan, musryik!"

"Berapa lama ambil cutinya?" Frans menyeruput kopinya perlahan.

"Tiga doang, senin ke rabu."

"Ah, gila lo. Big Boss bisa ngamuk-ngamuk kali."

Julia tertawa lalu ikut menimpali. "Anak buah yang minta digetok memang."

Divya tidak peduli, apalagi setelah surat cutinya berhasil dikirimkan. "Pokoknya mau cuti, kalau Big Boss nyari ya tinggal bilang Divya lagi kumat sakitnya jadi dia balik kampung."

"Sakit apa? Sakit jiwa lo ya?" Julia terbahak-bahak, disusul Frans yang hampir tersedak kopinya.

Divya tidak menjawab ledekan teman-temannya, baginya sedang tidak ada yang lucu. Justru dia sedang frustrasi dengan harapan yang nyaris gagal. Menikah, adalah salah satu resolusinya tahun ini, saat usianya menginjak 25 tahun.

"Cuti lo bakal di ACC nggak ya, Di?" Frans meletakan cup kopinya di meja.

Divya mengangkat bahunya, "makanya lo pada harus kompak kalau ditanya Bos." Dia melihat Julia dan Frans bergantian. "Bilang gue ada keperluan apa gitu. Urusan pribadi kek."

"Yang gue bilang tadi aja sih. Sakit..." Julia tidak melanjutkan, ia melihat tangan Divya siap mencubit perutnya. "Ampun, Di. Gue bilang deh lo sakit mala rindu sama keluarga di kampung."

"Nah itu, mendingan." Frans setuju.

"Nggak lucu." Divyamengusir dua temannya. Ada atau tidak adanya atasan, kerja tetap harus lanjut.Ada CCTV dimana-mana, walau terkadang CCTV itu tidak menyala, hanya formalitassemata. Tapi bagi Divya CCTV Tuhan adalah segala-galanya. Maha jujur.

Story Of Divya (REPOST 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang