Tersinggung

19.1K 1.3K 13
                                    

Sekere-kerenya karyawan, tiket pesawat masih bisa kebeli kali! –Karyawan ngamuk



Laki-laki itu menanggalkan jasnya, meletakkan di kursi belakang. Baru saja ia menghadiri pesta pernikahan teman kuliahnya yang berjodoh dengan orang Jogja. Teman yang menikah lumayan dekat dengannya, empat tahun bersama di Jakarta, dua tahun di Surabaya untuk mengambil Master. Ia menyandarkan tubuh ke jok pengemudi, teman-teman kuliahnya yang sudah selesai S-2 kebanyakan sudah menikah.

Ia tidak mau ambil pusing karena di usia yang sudah matang belum menggandeng satu perempuan pun untuk ia kenalkan kepada keluarga besarnya. Mungkin ia terlihat agak santai, apalagi ia masih memiliki beberapa sepupu laki-laki yang juga senasib dengannya, belum menikah dengan alibi sibuk bekerja, sekolah ke luar negeri, atau membangun usaha sendiri. Alibi yang akan dia pilih nanti saat berhadapan dengan kuluarga besarnya yaitu sibuk bekerja di perusahaan orang lain, tentu saja untuk mencari pengalaman dan mengumpulkan rupiah.

Apanya yang sibuk? Pekerjaannya tidak terlalu mencuri waktu weekend-nya, di hari itu padahal dia bisa pergi ke luar, berkumpul bersama teman demi melakukan kehidupan sosialnya. Dan siapa tahu dari sana dia menemukan perempuan yang cocok untuk dijadikan pendamping hidup. Belum terpikir? Bukan itu, ia yang belum pernah bertemu seseorang yang dapat menarik perhatiannya. Lagipula di lingkungan sosial dan pertemanannya saat ini kebanyakan memang kaum laki-laki, ia jarang memiliki teman lawan jenis. Dan teman lawan jenisnya kebanyakan sudah menikah sejak tamat kuliah. Di usia yang sekarang, teman-teman perempuannya sudah menggendong anak. Lucunya, di pesta pernikahan temannya tadi, ia sempat bertemu salah satu perempuan yang pernah dekat dengannya pada saat studi S-2, temannya itu sedang mengandung anak kedua.

Wow, dunia ini cepat sekali berjalan! Batinnya kaget.

Luar biasa cepat perubahan di dunia ini. Bukan hanya teknologinya saja, tetapi populasi manusia pun semakin bertambah jumlahnya. Padat. Ia masih terlihat santai, meski sepupu perempuannya yang bernama Tiara sering meledeknya, "awas, jangan jadi bujang lapuk karena kriteria Mas terlalu tinggi!"

Bukan begitu, sejak awal mengenal perempuan dan berinteraksi dengan ratusan bahkan ribuan perempuan, ia sulit kagum pada sesosok perempuan walaupun yang ia temui cukup cerdas, bekelas dan anggun. Sulit menumbuhkan perasaan yang disebut-sebut sebagai cinta—atau sekadar rasa cocok dan betah. Kadang betah dengan satu orang, tapi merasa tak cocok sebagai pasangan, atau sebaliknya. Memang susah mencari pasangan. Baginya, lebih mudah saat ia mencari pekerjaan.

"Lo baik-baik aja, kan, Mas?"

Ia kembali teringat pertanyaan Tiara, gadis itu selalu mengusik pikirannya. Kalau keluarga besar tidak sabar menunggu, boleh juga aku minta dikenalakan dengan teman-teman Tiara. Bukankah teman perempuannya banyak? Ia tersenyum kecut. Masalah perempuan saja harus ada yang mengurus, sementara masalah karir ia mampu meng-handle sendirian.

Sebuah suara terdengar dari ponselnya. Ada e-mail masuk, dari senior kantor pusat di Jakarta. Gretta.

Surat keputusan itu sudah lama keluar, ia baru menyetujuinya bulan ini—bahwa ia akan di mutasi ke kantor pusat di Jakarta. Ia membuka e-mail dari Gretta.


Selamat siang Pak Arya, saya dengar Bapak sedang dalam perjalanan ke Jakarta. Saya mau meminta bantuan Pak Arya jika tidak keberatan.

Jadi, salah satu anak buah Bapak bernama Didi, dia sedang pulang ke Jogja, jika Bapak tidak kerepotan mohon mampir ke rumahnya dan berangkat ke Jakarta bersama.

Alamat rumahnya: Jln. Melati No. 9 Rt/Rw: 5/3, di kompleks perumahan Melati Jaya Indah.

Saya infokan sedikit, sebenarnya Didi mengambil cuti sampai besok, tapi karena Bapak sedang dalam perjalanan kemari, saya pikir sekalian saja berangkatnya. Terimakasih, Pak Arya.

—Gretta


Arya menyetujui permintaan seniornya tersebut, dia langsung mencari alamat rumah yang di infokan oleh Gretta di maps, lokasinya tidak terlalu jauh dari penginapannya selama di Jogja. Besok pagi setelah dia check out dari penginapan, ia akan langsung menuju rumah calon bawahannya.

Eh, siapa Didi? Laki laki atau perempuan, dia tidak tahu.

Jangkauan pertemanannya selama ini kebanyakan laki laki, teman kuliahnya di Surabaya yang bernama Didi Sumardjo laki-laki, jadi Arya mengambil kesimpulan bahwa Didi—calon bawahannya ini—lebih enak dipanggil Mas kalau sudah ketemu. Kan orang Jogja, pikirnya. Lumayan, untuk teman perjalanan.

Tawa Divya terhenti seketika setelah mengecek notifikasi yang ternyata sebuah e-mail masuk dari kantornya. Sebuah pekerjaan menanti atau ada dinas ke luar kota lagi? Pikir Divya heran.


Cuti kamu kebanyakan, cepat kembali masuk kantor, Di.

Besok ada jemputan buat kamu, segera berangkat ke Jakarta. Pagi jam 8! Lumayan kan, hemat ongkos dan tidak berdesak-desakan dengan banyak orang di kendaraan umum. Pesawat tiketnya juga sedang mahal. Pokoknya tinggal duduk anteng di mobil. Namanya Bapak Arya, dia bawa mobil sendiri. Saya tunggu kamis di kantor, Di.


Selesai membaca pesan itu Divya mendengus, Bu Gretta memang baik sekali, di saat sedang menikmati liburan seperti ini—melarikan diri dari perasaan tidak keruan—malah kembali diingatkan dengan segudang pekerjaan yang menumpuk.

Apa, jemputan? Tiket pesawat mahal?

Divya geleng-geleng kepala. Dia bisa memilih alternatif lain jika harga tiket sedang naik daun, ia bisa naik kereta ekonomi yang turun di Stasiun Senen! Tidak masalah, yang penting dia bisa sampai Jakarta dengan selamat.

Kesal, Divya menselonjorkan kakinya, memejamkan mata dan melempar ponsel ke sembarang arah. Sayang, ponselnya berisik. Pesan beruntun dari teman sejawatnya pun membuat akhir liburannya tidak menyenangkan. Ia meraih ponsel, ada tiga pesan lewat whatsapp.

Julia : Didi, jangan lupa oleh-oleh!

Julia : Bu Gretta beres-beres ruangan, Di.

Julia : Ini kabar buruk apa baik ya?

Divya tidak membalas. Satu menit kemudian pesan datang lagi dari Frans.

Frans : Lo nggak ada kuota? Signal? Atau lagi kehabisan tenaga buat ngetik?

Frans : Buruan masuk, kerjaan lo numpuk di meja. Bu Gretta baik banget sama lo nih!

Divya terpaksa membalas pesan Frans.

Divya : Cinta mati kayaknya sama gue, Frans.

Divya : Lo tahu nggak sih, dia saking cintanya sampai nyuruh orang buat jemput gue besok pagi. Katanya biar bisa bareng ke Jakarta. Hemat ongkos, tiket pesawat mahal!

Frans : Hahaha... miskin sih lo :D

Frans : Lo anak kesayangannya sih. Kerjaan Julia sampai dilempar ke elo juga nih, yang ke Padang.

Divya : Kenyang gue!

Divya membaringkan tubuhnya ke kasur. Ia ingin berlibur lebih lama lagi untuk menuntaskan rasa sedih, marah dan seluruh uneg-uneg ini. Bahkan sampai hari ini ia belum menerima kabar dari Gilang. Divya hanya mencoba memahami bahwa kekasihnya pasti sedang sangat sibuk dengan training-nya. Mungkin lelah, mungkin tidak punya banyak waktu luang, dan kemungkinan-kemungkinan yang lain sengaja Divya paksakan dalam otakny—agar dia tidak senewen pada Gilang.

Ia kembali mengangkattubuh dari kasur, mulai mengepak barang yang akan ia bawa besok pagi. Tidak adaoleh-oleh untuk Julia, apalagi setelah Frans mengabari kalau kerjaan Julialagi-lagi harus di-handle olehnya. BuGretta memang sering melakukan itu, melempar pekerjaan orang lain kepadanyasesuka hati. Kalau saja ia bisa bekerja lelet dan tahan amukan supervisor-nyaseperti Julia, ia akan melakukan itu sebelum diberi banyak perintah.

Story Of Divya (REPOST 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang