Bab 20

1.8K 122 2
                                    

Tidak ada kemudahan selain Allah yang memudahkan segala urusan manusia.

.......

Seharian berbenah rumah dari pagi hingga petang ternyata lumayan melelahkan. Tapi, mengingat besok adalah hari pernikahan aku dan Vino, lelah itu pun nggak berarti apa-apa.

Mengulas senyum sembari berjalan menuju kamar. Melihat suasana yang sudah tertata rapi bak kamar putri raja, kembali mengundang senyumku yang amat lebar.  Sprei dan lainnya dominan berwarna crem. Warna yang nggak terlalu mencolok.

Sesuai kesepakatan kedua orang tua, setelah menikah nanti, kami diminta untuk menginap satu minggu sebelum pindah ke Bandung.

Makanya, aku di bantu Afrin dan Choty untuk mendekor kamarku. Biar calon suami tercinta betah tidur di kamar ini. Hehehe.

Aduh kok jadi deg-degan ya.

Sebelum merebahkan diri, aku kembali memandang kamar secara keseluruhan. Masih kerasa mimpi kalau besok hari terindah yang kunanti selama ini.

Semoga besok nggak ada kendala. Aamiin.

"Kak!"

"Astagfirullah al adzim," aku tersentak kaget menoleh cepat ke ambang pintu. Di sana ada Afrin tengah tertawa geli.

"Ngapain sih senyum-senyum sendiri."

"Kalau mau masuk kamar Kakak, ucap salam atau ketuk pintu, jangan langsung teriak kek gitu, ngagetin tau."

Dia ketawa lagi, berjalan mendekat tanpa ragu dan rebahan begitu saja di kasur,"Lagian mikirin apaan coba pake senyum-senyum sendiri, kan aneh."

"Biarin ah."

Dia ketawa renyah, sembari memeluk guling memandangku dengan tatapan tak bisa dibaca,
"Kalau Kakak pindah ke Bandung, rumah jadi sepi donk."

Aku mengernyit mendengar ucapan Afrin, dan langsung diganti dengan senyum tipis,"Emang kenapa?"

"Sedih aja."

"Masa?"

"Iya Kakak!" geramnya,"senang banget ya kalau mau pergi jauh."

"Siapa yang seneng, lagian Bandung juga nggak jauh-jauh banget."

"Jauh, Kak. Butuh waktu berjam-jam untuk ke sana."

Mengehela nafas, aku ikut merebahkan diri di samping Afrin.

"Habis Kakak nikah, kamu juga nyusul kan, jadi udah ada yang nemanin," godaku.

Dia cengegesan,
"Iya sih, tapi kan aku nggak biasa jauh dari Kak Ayes."

Aku kembali ketawa, lalu menarik ujung hidung Afrin gemes,"Berlebihan."

Dia meringis,"Nanti kalau Rin ingin curhat gimana, Kakak jauh banget lagi."

"Kan bisa terlfonan, Sayang. Bisa juga berkunjung."

Entah, angin apa yang merasuki adik perempuanku itu. Di posisi miringnya memandangku tersenyum-senyum sendiri.

"Kenapa sih?"

"Kakak cantik deh," ucapnya mengundang bibirku untuk tersenyum lebar, siapa yang tak akan senang bila di nilai baik,"malam ini Rin nginep di kamar Kak Ayes, ya?"

Senyumku dengan cepat berganti tawa, dan mencubit kedia pipinya yang masih dibaluti hijab,"Kalau ada maunya aja puji-puji."

"Beneran Kak. Lagian malam ini terakhir Kakak sendirian, besok-besoknya udah ada yang nemanin."

"Yaudah, kalau maunya gitu."

"Yeeyy, makasi Kakak!"

Tanpa kami sadari diambang pintu, teriakan Choti menggelegar. Ia tidak terima dengan hanya Rin saja yang diizinin tidur di kamarku. Dia juga ingin ikutan. Alhasil satu tempat tidur berisi tiga orang. Kami terpaksa tidur dempet-dempetan.

Penantian Ayesha (Lanjut S2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang