Double Sakit

16.7K 1.2K 11
                                    

Patah hati kadang bikin badan jadi meriang, merindukan kasih sayang. –Jadi jomblo baru



Beberapa hari ini tubuh Divya rasanya tidak enakan, perlu rehat dalam waktu yang lumayan agar otot-otot yang mengeras jadi lebih rileks, kepalanya juga sering mendadak pusing, matanya kadang berair dan berkunang-kunang. Lengkap sudah penderitaan fisik dan bathinnya itu.

Fokus. Hanya itu yang ia inginkan pada detik-detik terakhir sebelum ia membereskan barang-barang lalu pulang. Ia perlu kirim e-mail ke klien malam ini. Ya, dengan terpaksa malam ini harus berlembur ria lagi, karena besok pagi datanya akan digunakan untuk meeting oleh klien.

Divya melirik meja teman-temannya, banyak gunungan berkas di atas meja mereka. Frans tidak bisa lama-lama di kantor—katanya sedang banyak urusan pribadi—ia membawa pulang beberapa pekerjaannya. Julia pun sama, tak jauh berbeda dengan dia dan Frans. Lalu anak-anak junior? Mereka punya tugas masing-masing yang juga menguras tenaga dan waktu. Proyek masih banyak, deadline lama belum rampung, sudah datang proyek baru lagi. Bos mudanya memang lebih hobi kerja dibanding bos lama—Gretta.

Ia beranjak dari tempat duduk untuk mengambil air hangat di pantry. Berjalan agak sempoyongan, nyaris saja jatuh kalau tidak berpegangan pada dinding. Tangannya menyentuh handle pintu pantry, setelah pintu terbuka ia merasa matanya semakin berkunang-kunang.

Jangan pingsan di sini, jangan...

"Divya?"

Ia terlonjak kaget dan segera menoleh ke belakang, dilihatnya sang bos yang masih cool dengan setelan kemeja warna abu-abunya. Ia memijat-mijat pelipisnya, pusing mendera-dera.

"Kamu pucat banget, saya antar ke rumah sakit ya? Cek ke dokter mau?" bujuk Arya dengan tampang kahawatir.

"Nggak perlu, nggak apa-apa." Jawab Divya seraya menggeleng, ia menegakkan badannya lagi dan masuk ke pantry untuk mengambil air hangat dari dispenser. Ia mengambil duduk di kursi dekat jendela, menghadap ke luar lalu meminum air dalam gelasnya. Terdengar suara keroncong dari dalam perutnya, aneh. Apa dia masuk angin? Kecapekan? Atau jangan-jangan anemia ya? Yang jelas bukan sedang lapar.

"Saya khawatir sama kondisi kamu." Ucap Arya tiba-tiba, membuat Divya mengalihkan padangan, wajahnya bingung karena Arya masih berada di sini bersamanya dan bentuk perhatian itu rasanya ganjil. Mungkin wajar kalau bos memang terlihat cemas seperti ini, tapi nada suaranya terdengar berat dan dalam, Divya jadi curiga sendiri.

Masa sih... Ah, tidak mungkin! Divya mengusir lamunan liarnya, jauh terlempar ke luar gedung tinggi ini.

"Saya, baik-baik saja kok, Pak!" Divya mengulas senyum tipis. Ia minum seteguk-dua teguk lagi dari gelasnya, lalu meletakkan gelas di atas meja. "Bapak nggak balik?" tanyanya ketika Arya masih berdiri di tempat yang sama.

"Belum." Jawab Arya singkat.

Divya mengangguk, ia hampir bertanya lagi, "Bapak ngapain di sini?" tapi ekor matanya melihat Arya mulai mengambil gelas dan menyeduh cokelat instant. Divya tersentil untuk bertanya, "Bapak nggak suka kopi?"

Arya tersenyum menanggapinya. "Suka juga, tapi sudah malam, kopi bikin lambung perih kadang-kadang."

"Oh..." gumam Divya, kepalanya mulai pusing lagi, ia memijat pelipisnya. Dia tidak ada stok obat dari apotek, adanya obat milik Frans yang dosisnya terlalu tinggi dan ia tidak suka minum obat seperti itu.

"Kamu kalau sakit balik saja, Di. Saya bisa antar kamu atau saya pesanin taksi?" Tawar Arya lagi, kini ia menggeser kursi dan duduk di sebelah Divya. Ia menatap wajah Divya sekilas lalu membuang pandang keluar jendela, gadis itu masih nampak pucat tetapi bersikeras kalau dirinya baik-baik saja. Sempat terlintas di kepala Arya untuk menyeret anak buahnya keluar gedung dan masuk ke mobilnya, tapi itu tidak mungkin ia lakukan.

Story Of Divya (REPOST 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang