[vol. 2] 24. Mengenal Selamanya

4.7K 803 539
                                    

Mencintai Sakura bukanlah sebuah keinginan yang sudah ia atur sejak jauh-jauh hari.

Tetapi mencintai gadis itu adalah sebuah keinginan, yang ia sendiri tidak tahu pasti kapan ia memulainya dan sampai kapan ia harus mengakhirinya.

Karena mengenal gadis itu membuatnya hanya mengenal kata selamanya yang tiada akhir.

***

Hari sudah semakin sore. Ke sana-ke mari Galen sudah mencari, akan tetapi seseorang yang dicarinya tak kunjung pula ia temukan.

Tidak hanya khawatir, semakin ke sini Galen juga semakin gelisah. Resah. Inginnya menyerah, tetapi ia tidak bisa. Perasaannya yang sudah terlalu mendalam pada Sakura selalu saja melarangnya untuk berhenti mencari. Galen lupa mendapat teori dari mana, yang jelas seseorang pernah mengatakan; 'Semakin kita dibuat patah hati oleh seseorang, justru semakin berhasil pula seseorang itu membuat kita jatuh lebih dalam kepadanya'.

Dan kini Galen akui, pepatah itu benar-benar nyata adanya. Terbukti dialami olehnya, semakin sering Sakura menyakiti hatinya tanpa sadar, yang terjadi justru malah semakin mendalam pula perasaannya pada gadis itu.

Bruk!

Galen bersimpuh di atas tanah. Lututnya yang sudah begitu lelah, rasanya sudah tidak bisa lagi ia paksakan untuk berdiri, apalagi berlari. Sejenak ia terdiam dalam tunduknya dengan sepasang mata terpejam, merasakan desiran lelahnya sendiri.

Lalu sampai tiba-tiba mata itu terbuka, saat sebuah tempat terbesit dalam ingatannya.

💕

Roda mobil Angkasa berhenti berputar, bergesekan dengan pasir pantai yang menimbulkan abu putih. Sambil berupaya menahan rasa sakit yang kian menjalar dalam dirinya, Angkasa turun tanpa melepaskan salah satu tangannya yang masih memegangi perutnya yang terluka, guna meminimalisir rasa sakitnya.

Selangkah demi selangkah, Angkasa berkeliling menyusuri pinggir pantai. Memaksakan kedua kakinya untuk terus berjalan. Melawan embusan angin yang sore ini terasa lebih kencang dari biasanya, yang membuat seluruh lukanya terasa nyeri bukan main.

Angkasa menghela napas berat. Ia pikir Sakura berada di tempat ini. Tempat yang terakhir kali ia kunjungi bersama Sakura, sebelum akhirnya mereka kini menjauh. Akan tetapi tampak jelas dugaannya salah. Angkasa baru menyadari kembali, kalau apapun Tentang Sakura memang sulit diterka oleh akal dan pikirannya. Gadis itu terlalu rumit untuk ditebak-tebak isi kepalanya.

Sehingga akhirnya, Angkasa kembali masuk ke dalam mobil. Meskipun saat menutup pintu, tiba-tiba saja kejadian yang sudah terlewat di bibir pantai itu, terlihat lagi dengan jelas di matanya, yang membuat bibirnya seketika tersenyum sumbang.

"Kak Angkasa kenapa nggak bilang, sih, mau ngajak aku ke pantai gini? Kan kalau aku tahu mau ke sini, aku nggak bakal pake dress begini." Alih-alih senang, saat pertama kali kakinya menginjak pasir, Sakura malah mengoceh dengan suara kencang yang melawan deru angin.

"Kamu. mah, mau pake baju karung juga tetep cantik buat saya."

"Idih, gombal!" kesal Sakura sambil mengacak rambut Angkasa.

Angkasa tertawa. Ingin balas mengacak-ngacak rambut Sakura, namun gadis itu sudah keburu berlari menjauh darinya. "Jangan lari kamu!"

"Wlee!" Sakura menjulurkan lidahnya, meledek sembari tertawa dan terus berlari.

Angkasa mengejar. Lalu berhasil menangkapnya.

"Kamu itu nggak akan pernah bisa menjauh dari saya, Sakura," tutur Angkasa, angkuh. Yang kemudian ia bawa Sakura ke bibir pantai, lalu menjatuhkannya.

Kenangan membahagiakan itu seharusnya membuat Angkasa bahagia. Tetapi tidak tahu kenapa bukannya demikian, saat ini yang dirasakannya ketika mengingat itu malah rasa sakit yang benar-benar tidak tertahankan olehnya.

💕

Hari ini Bu Mega menutup kedainya tiga puluh menit lebih larut dari biasanya. Area depan kedai sudah sepi. Semenjak lingkungan tersebut muncul dalam pemberitaan kasus pembunuhan enam tahun lalu, memang semenjak itu pula tidak banyak orang yang berani berlalu lalang di sekitaran sana lewat dari pukul sembilan malam.

Tidak hanya mereka yang merasa was-was dengan lingkungan itu, Bu Mega pun sebetulnya merasakan hal yang sama. Seperti saat ini, ia tampak jelas terburu-buru menutup kedainya sendirian, dengan kepanikan yang tidak bisa terhindar dari gerak-geriknya.

Ciiiiittt

Decitan ban karet yang terseret aspal dikarenakan sang pengemudi menginjak pedal rem dadakan, kontan saja membuat Bu Mega terlonjak kaget di pijakannya. Lebih-lebih ketika sorot lampu mobil depan itu mengarah padanya. Akan tetapi lebih kaget lagi ketika ia melihat kondisi seseorang yang keluar dari dalamnya.

Angkasa keluar dengan harapan terakhirnya. Bu Mega hendak buru-buru berlalu. Ketakutan melihat Angkasa yang benar-benar pucat pasi. Berdarah-darah, tidak jauh berbeda dengan seseorang yang sedang sekarat dan di ambang kematian. Kian takut ketika dirinya mengingat bahwa Angkasa tidak bukan adalah anak dari seorang pembunuh, yang ditontonnya di televisi. Namun sebelum itu terjadi, Angkasa sudah lebih dulu menahan lengannya.

"Apa Ibu tahu Sakura di mana?"

Bu Mega menggeleng singkat, tidak tahu. Rasa takut yang sudah merasukinya membuatnya tidak segan-segan menjauhkan tangan Angkasa dari lengannya dengan lemparan yang begitu kasar, sampai-sampai Angkasa sempat terhuyung dibuatnya. Meninggalkan Angkasa dengan langkah tergesa-gesa, menuju sebuah halte yang berjarak sekitar 500 meter dari kedainya.

Angkasa bersandar pada bagian samping badan mobilnya yang terparkir. Lalu tak lama rasa sakit yang semakin menjalar melemahkan tubuhnya membuatnya merosot, dan terkulai duduk di permukaan aspal, dengan punggung bersandar.

"Argh!" Kini hanya erangan yang mampu membantunya untuk bertahan dengan luka basah di perutnya saat itu, ketika tangan kirinya yang menahan sudah tidak lagi bisa meminimalisir rasa sakitnya.

Dengan napas terengah-engah dan sisa oksigen yang semakin menipis dalam tubuhnya, malam itu Angkasa benar-benar hanya bisa memasrahkan diri pada takdir yang entah akan menyiksanya seperti apalagi setelah ini. Bibirnya yang mengabu bahkan sudah tidak bisa dirapatkan dengan sempurna, lantaran untuk bernapas saja rasanya sudah sangat manyakitkan bagi tubuhnya.

Penyiksaan yang sempurna, tanpa celah. Sungguh, Angkasa sudah tidak tahu lagi harus mencari Sakura ke mana, di saat kenyataannya ia sudah tidak memiliki harapan apa-apa lagi bahkan untuk dirinya sendiri. Otaknya terasa buntu untuk memikirkan semua ini. Mencemaskan Sakura adalah hal yang paling jitu untuk membuatnya mati dalam keadaan tidak waras.

Angkasa terdiam. Berupaya untuk berpikir keras, mengira-ngira di mana keberadaan Sakura, bahkan sampai kepalanya terasa sakit berdenyut di bagian belakang.

Perlahan mata Angkasa menutup, bersamaan dengan setetes air mengalir dari pelupuknya. Kini tidak hanya fisiknya saja yang terasa ingin mati. Perasaannya pun terasa sama. Nyeri bercampur sesak yang menusuk ke tulang, melebur dalam hasrat terpendam di dadanya, membuat Angkasa untuk pertama kalinya menangis dengan isak yang menggema di keheningan malam.

Terus terang saja, saat ini kehilangan Sakura adalah hal yang paling menyakitkan bagi Angkasa, lebih daripada rasa sakit apapun yang pernah ia rasakan seumur hidupnya. Mencintai Sakura bukanlah sebuah keinginan yang sudah ia atur sejak jauh-jauh hari. Tetapi mencintai gadis itu adalah sebuah keinginan, yang ia sendiri tidak tahu pasti kapan ia memulainya dan sampai kapan ia harus mengakhirinya. Karena mengenal gadis itu membuatnya hanya mengenal kata selamanya yang tiada akhir.

===

To be continue...

BTW, NEXT PART ITU BAB TERAKHIR. SETELAHNYA ADA EPILOG.

TAPI AKU MAU KALIAN JANGAN NEBAK2 ENDING DULU YA. NIKMATIN AJA CERITANYA. NGGAK APA2 KALAU KALIAN CEMAS SAMA SAKURA. DIMANA DIA. GIMANA KEADAANNYA. GAK MAU SAD ENDING TAKUT SAKURA KENAPA2. ITS OK. TAPI SEKALI LAGI. NIKMATIN AJA CERITANYA😊

JANGAN LUPA VOTE DAN KASIH KOMENTAR YG BANYAK. KALAU BISA SAMPAI 1000 BUAT UP CHAPTER BERIKUTNYA^^,

Cold EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang