part 28

64 9 3
                                    

Seminggu berlalu, rasanya seperti setahun bagi Wanda setelah semuanya pergi. Dewi sudah pindah empat hari yang lalu, meninggalkan dia sendiri, berdiri dengan mata kosong dan pikiran kacau, nilainya yang dulu sempat membaik kini kembali turun. Memang selucu itu, dia yang dulu sering berkeliling sekolah dengan senyum riang dan tawa melengking kini hanya duduk di bawah pohon mangga belakang sekolah, bukan menangis melainkan merenung dan sesekali merutuki nasib.

Wanda bagaikan mayat hidup, dia sama sekali tak ada semangat, jelas saja itu membuat Megan mempunyai kesempatan untuk mengajaknya ribut. Dengan tak ada kedua teman gadis itu membuatnya terpojok, Wanda tidak pernah senyum menyapa orang, tidak pernah keluar kamar, sesekali pergi ke tempat di mana dia dan temannya dulu bermain dan malah duduk merenung di sana.

Siang itu Wanda kembali pergi menuju belakang sekolah, gadis itu membawa roti tawar di tangan kanannya. Langkah gontainya terhenti saat dari arah berlawanan terlihat Naava dan Elno yang berjalan berdua sambil tertawa-tawa, tampak serasi dan bahagia, tidak seperti dulu saat berjalan bersama Wanda pemuda itu akan memasang wajah datar.

Wanda memutar tubuh, berbalik menuju kelas tak mau berpapasan dengan mereka.

"Kanjeng!"

Wanda tersentak saat ada panggilan kala ia baru memasuki kelas, ia menoleh dan menghela napas gusar karena mengira yang memanggilnya itu mereka, menatap Jannet yang berjalan cengengesan ke arahnya.

"Jen, jangan panggil gue kek gitu. Lo ngingetin gue sama mereka."

"Ups sorry deh, nda. Gue cuma mau minta ditemenin ke kantin, asli gue laper, nih abis dihukum sama Bu Rahma. Temen-temen ninggalin gue, please lah temenin," ucap Jannet dengan nada memohon.

Wanda melirik, sebenarnya sih dia ogah banget nemenin temen kelasnya yang berisik ini--ya walaupun masih berisikan Dewi-- apalagi ke kantin yang ramai, tapi melihat ekspresi memohon Jannet ia jadi tak tega dan akhirnya mengangguk saja.

Mereka duduk di pojok kantin sesuai keinginan Wanda, tapi apesnya ia malah disuguhi pemandangan menyesakan karena sekarang di depannya Naava dan Elno yang sedang makan bersama. mata Wanda menyendu melihat itu, dulu dia dan Elno jarang sekali makan bersama di kantin karena Elno tak mau, pemuda itu lebih memilih membaca buku di perpustakaan membuat Wanda harus rela menemaninya dengan segenap kesabaran.

Tapi bukan hanya itu, Wanda merasa aneh dengan aura kantin. Seolah banyak pasang mata yang memperhatikan, ditambah bisikan-bisikan yang tertuju padanya. Wanda heran tapi ia bersikap biasa saja dan memakan roti tawarnya dalam diam, mencoba mengabaikan semua.

Wanda yang sudah agak jengah akhirnya pamit ke toilet pada Jannet, saat ia berjalan di koridor matanya terpaku pada papan mading yang ramai. Tumben sekali, Padahal biasanya papan mading itu akan selalu sepi. Wanda mendekat, dan semua orang langsung menoleh ke arahnya membuat Wanda mengernyit bingung, samar-samar terdengar bisikan, "eh, tuh orangnya dateng, gila udah kayak mayat hidup dia. pasti karma tuh karena ibunya kayak gitu, miris."

Wanda menoleh kanan-kiri, merasa semuanya menatap Wanda dengan tatapan berbeda-beda, miris, sinis, kasihan bahkan ada yang menghujat terang-terangan. Dia berjalan cepat ke depan mading, dan seketika tubuhnya mendingin. dengan wajah memucat dia mencabut poto itu, poto seorang wanita paruh baya yang baru keluar dari sebuah hotel mahal malam-malam, yang tak lain tak bukan adalah ibunya. Ditambah tulisan di bawahnya 'lihat guys, pantes anaknya sering buat onar di sekolah ternyata turunan dari ibunya, jalang.'

"Siapa yang nempel poto ini? Ngaku!" seru Wanda menatap tajam anak-anak yang menonton.

"Ngaku gak lo pada!" seru Wanda sekali lagi dengan nada sedikit bergetar, namun tetap tidak ada yang mengaku, mereka hanya saling melirik dan menuduh satu sama lain.

Tentang kitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang