Awas Saja!

7.6K 578 34
                                    

"Bagaimana bisa?" Arman tercengang.

Dia terlalu terkejut saat melihat adik kembarnya sudah berdiri tegap di sisi mobilnya. Tidak sendirian pula. Sang adik datang bersama ayah mereka. Arman meneguk ludahnya dan menurunkan kaca jendelanya sedikit.

"Ada apa?"

"Mau kemana?" Tanya Arsen tanpa menjawab pertanyaan Arman.

"Mau keluar. Kenapa?"

"Keluar kemana?"

Arman diam. Dia melirik ke arah lain sebelum menyahut.

"Tidak tahu," dengan suara lirih.

"Arman..." panggilan dengan suara penuh wibawa itu membuat Arman menoleh.

"Kenapa?"

"Keluarlah dulu. Papi mau bicara,"

"Tidak perlu, pi. Arman tidak apa-apa,"

"Arman..."

Arman hanya tersenyum dia menatap ayahnya sekilas sebelum memilih menutup kaca mobilnya dan melajukan mobil itu menjauh dari ayah dan adiknya. Arman mengemudikan mobilnya tanpa tahu arah. Dia bingung harus kemana. Akhirnya dia menepi dan membuka ponselnya.

Cukup terkejut melihat isi ponselnya, Arman membuka notifikasi di ponselnya itu. Satu panggilan tak terjawab dari ayahnya, satu dari Arsen dan puluhan dari Natasha. Kening Arman berkerut. Kenapa Natasha menghubunginya?

Arman menghela kecil. Dia memilih pergi ke rumah besar yang dia beli. Arman masih menyimpan kuncinya unuk sementara. Setidaknya sampai segala hal di dalam rumah itu selesai. Arman memarkirkan mobilnya di garasi dan masuk ke dalam rumah itu. Kaki Arman terarah ke kamar utama. Dengan perlahan Arman membuka paket yang baru datang. Paket itu harusnya menjadi hal yang paling membahagiakan Arman.

Arman mengeluarkannya dari kardus paket dan membuka kotak itu. Saat melihat isinya Arman tersenyum sendu. Semuanya sangat bagus dan indah. Sesuai dengan apa yang Arman mau. Arman terduduk dan meraba kayu yang berpelitur mengkilap di depannya. Tanpa dia sadari airmatanya kembali jatuh. Arman masih mengusap bingkai itu dengan perlahan merasakan tiap ukiran namanya dan nama istrinya. Nama yang akan segera terpisah.

Haruskah Arman menghancurkan bingkai ini? Bingkai yang sudah Arman usahakan untuk ada di depannya seperti sekarang? Arman menatapnya sekali lagi. Lalu, dia berdiri dan mencari sesuatu di dapur. Dia kembali naik ke kamar utama dengan sebuah pisau dapur ukuran besar di tangannya. Kakinya terhenti saat melihat ada orang lain di kamar itu, sedang melihat ke arah bingkai itu. Orang itu bahkan mengusap perlahan bingkai di depannya.

Arman terpaku di tempatnya. Bahkan saat sosok itu berbalik Arman masih terdiam. Sosok itu menatap Arman dan pisau dapur di tangan Arman.

"Kamu mau menghancurkan ini?" Tanya-nya dengan suara sedikit serak.

"Hn. Dia sudah tidak dibutuhkan lagi," ujar Arman berpura-pura tidak peduli walau dia merasa sedikit tidak rela.

"Ini, kan?"

Arman mengerutkan alisnya. Dia tidak mengerti dengan maksud pertanyaan yang tertuju padanya itu.

"Ini, kan, alasanmu tidak pulang ke rumah dan tertangkap kamera sedang merangkul seorang perempuan waktu itu?"

Arman diam. Dia tidak menjawab. Tidak juga mengangguk atau menggeleng. Dia hanya diam. Arman berjalan mendekati bingkai itu. Dia menatapnya sekali lagi. Lalu, tangannya yang memegang pisau itu terangkat dan terarah ke bingkai itu.

"Jangan!" Pekikkan itu juga pelukan di perutnya membuat tangannya berhenti.

"Jangan dihancurkan!" Ujarnya.

[DS#2] Between Me, You and WorkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang