BAGIAN 2

839 27 0
                                    

“Sial...!” maki Rangga sambil memandangi kelinci yang sudah tenggelam masuk ke dalam sarangnya di bawah tanah. Perutnya sudah berkeruyuk minta diisi, tapi hanya satu kelinci yang ditemui. Dan itu pun sudah kabur sebelum bisa didekati. Sekarang tak ada lagi yang bisa dimakan untuk mengganjal perutnya.
Hari ini Rangga merasakan dirinya tertimpa sial terus. Dengan ayunan langkah lesu, Pendekar Rajawali Sakti berjalan sambil menuntun kuda hitamnya yang setia mengikuti. Namun belum begitu lama berjalan, ayunan kakinya mendadak terhenti. Kepalanya sedikit terdongak. Cuping hidungnya bergerak-gerak mencium bau sesuatu yang membuat perutnya semakin melintir berkeruyuk.
“Hm..., harum sekali baunya,” gumam Rangga.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu berjalan menuju arah bau harum yang tercium. Diterobosnya semak belukar yang berada di sebelah kanan. Namun begitu keluar dari semak, mendadak saja matanya terbeliak.
“Mau...?”
Rangga masih terpaku setengah tidak percaya melihat seorang gadis cantik mengenakan baju kuning tengah duduk menghadapi daging kijang bakar yang dipanggang di atas api unggun. Mereka memang sudah pernah bertemu sekali di Desa Gandus. Tak pernah terpikirkan oleh Rangga kalau akan kembali bertemu gadis ketus yang mengaku bernama Paranti itu.
“Kalau kau suka kijang panggang, silakan duduk di sini dan ambil sekerat. Tapi kalau tidak suka, silakan pergi dan jangan ganggu selera makanku,” ujar Paranti tanpa sedikit pun memalingkan wajah.
Rangga berjalan menghampiri, kemudian duduk di depan gadis itu. Tanpa dipersilakan lagi, tangannya menjulur dan mengambil sekerat daging kijang yang sudah masak. Digigitnya daging itu, dan dikunyah lumat-lumat. Terasa nikmat sekali. Tapi yang penting, perutnya sudah terisi dan tidak lagi menagih.
“Dari mana kau dapatkan kijang ini?” tanya Rangga yang tahu betul kalau di sekitar hutan Bukit Parut ini tidak ada seekor kijang pun. Itu sebabnya tidak ada pemburu yang suka datang ke sini, kecuali pemburu kelinci dan ayam hutan. Atau kalau yang ingin lebih besar, bisa berburu babi hutan.
“Makan saja, tidak usah banyak tanya!” dengus Paranti.
“Aku harus tahu setiap makanan yang masuk ke dalam perutku. Dan kuharap kau mendapatkannya tidak secara memaksa,” sahut Rangga, enteng.
“Aku bukan pencuri!” sentak Paranti tersinggung.
“Tidak ada yang mengatakan kau pencuri.”
“Huh! Tinggal makan saja cerewet!” dengus Paranti memberengut.
Paranti membuka ikatan buntalan kain lusuh di sampingnya. Sedangkan Rangga hanya melirik saja. Namun keningnya jadi berkerut, karena gadis itu mengeluarkan sebuah guci arak dari dalam buntalan kain itu.
“Mau...?” Paranti menawarkan. “Masih ada satu lagi kalau mau.”
Rangga tidak menjawab, tapi Paranti sudah mengeluarkan satu guci arak lagi dan dilemparkan kepadanya. Terpaksa Rangga menangkapnya. Kembali pemuda berbaju rompi putih itu terkejut saat Paranti menenggak arak langsung dari mulut gucinya. Dan memang tidak ada tempat untuk menuang arak.
“Kenapa bengong...? Kau tidak suka minum arak?” tegur Paranti seraya punggung tangannya menyeka bibirnya yang merah dan basah oleh arak.
“Kau pasti sudah biasa minum arak,” tebak Rangga.
“Hanya masalah kecil,” jawab Paranti, enak sekali.
Gadis itu kembali menenggak araknya tanpa mempedulikan Rangga yang terus memperhatikan terheran-heran. Baru kali ini disaksikannya ada seorang gadis bisa menenggak arak begitu rupa. Tentu sekali tenggak, tidak sedikit cairan memabukkan itu masuk ke dalam perutnya. Rangga masih memegangi guci, dan sedikit pun tidak meminum araknya.
“Kalau kau tidak suka, bawa lagi ke sini. Sudah habis nih...,” pinta Paranti seraya membuang guci araknya.
Rangga semakin terpana. Hanya beberapa kali teguk saja, seguci arak sudah berpindah ke dalam perut gadis itu. Tapi entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti itu bangkit berdiri dan menghampiri Paranti. Diberikannya arak itu, namun Paranti langsung merebut dan menenggaknya. Sedangkan Rangga hanya memperhatikan saja.
“Glek...!” Rangga menelan ludahnya sendiri.
Betapa dia tidak heran...? Sekali tenggak saja, arak di dalam guci itu sudah tandas. Dan kini berpindah ke dalam perut yang ramping itu. Paranti tidak peduli dipandangi sedemikian rupa. Dan kini duduknya bergeser mendekati pohon. Sambil menyeka mulutnya dengan punggung tangan, gadis itu menyandarkan punggungnya ke pohon. Sedangkan Rangga hanya duduk dan memandangi saja di dekat api panggangan kijang. Masih banyak juga sisa daging kijang panggang itu, tapi Rangga tak berniat menyentuhnya.
“Oaaahhh....!” Paranti menguap membuka mulutnya lebar-lebar. Sekarang, matanya yang berbulu lentik itu terpejam. Sama sekali tidak dipedulikan kalau ada seorang pemuda tampan di dekatnya. Tapi sebenarnya tidak seluruhnya matanya terpejam. Dari sudut ekor mata, pemuda tampan berbaju rompi putih itu selalu diperhatikannya. Entah apa yang ada di dalam benak Rangga saat ini, yang jelas dirinya benar-benar heran pada Paranti yang tampak mulai tertidur.
“Aneh..., juga liar,” desis Rangga dalam hati. Pendekar Rajawali Sakti jadi teringat Pandan Wangi. Waktu pertama bertemu Pandan Wangi, juga punya pikiran yang sama dengan sekarang ini. Pandan Wangi dulunya juga seorang gadis liar, nakal, dan keras kepala. Rangga seperti melihat Pandan Wangi dalam perwujudan lain pada diri gadis ini.

49. Pendekar Rajawali Sakti : Gelang Naga SokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang