Dilantik Jadi Pelakor

9.7K 779 9
                                    

Masih anget, tolong tandai kalau ada typo atau kalimat rancu. Thank you and happy reading.....😊😊😊




❤❤❤❤❤



Selain Adrian, aku juga sangat membenci kadal yang kalau lari kadang nggak ngotak, nyerepet, meliuk, menggelikan. Dan baru saja si kadal nggak ngotak itu lari ke arahku dengan kencang. Aku bukan takut, cuma geli aja bayangin kadal berkulit licin itu merayap ke tubuhku, meng-grepe, menempeliku ke mana-mana, nggak mau lepas, kayak lintah.

Untungnya, Adrian 'si pimpinan kadal' sudi dengan sigap mengusir salah satu bangsanya yang menyasar ke rumahku. Untuk saat ini, aku bersyukur pada Dio yang tadi pagi memaksa ingin membantuku membereskan rumah, meskipun bocah itu langsung ngacir entah ke mana setelah aku iyakan sampai akhirnya cuma tersisa Adrian yang masih berkutat dengan sapu mengusir kadal yang mungkin udah beberapa waktu menempati rumahku tanpa balik nama.

Beberapa jam bersama Adrian benar-benar merusak suasana hati. Aku tidak mempungkiri kalau ada rasa bahagia melihat Adrian di rumahku dan membantuku, namun di sisi lain aku sadar kalau nggak seharusnya Adrian ada di rumahku, ditambah statusnya yang sudah mempunyai istri.

Dan aku benci sifat egoisku sendiri. Maksudnya, aku sudah tahu kalau Adrian pria beristri, tapi aku juga nggak berusaha menolak tawarannya membantu hanya karena aku senang melihatnya.

"Kadalnya sudah pergi," katanya seraya menghampiriku yang sudah ambruk di atas kasur gara-gara kadal, "Dek, kamu nangis karena kadal? Setakut itu?"

Masalahnya bukan karena kadal, tapi aku yang udah nggak kuat berada di sekitar Adrian dan terus memukul logika sendiri dengan statusnya saat ini. Itu sama saja dengan aku menyakiti diri sendiri.

Mengingat itu, aku semakin terisak. Bukan sesak karena tergugu, tapi lebih pada mengingat kenyataan bahwa Adrian sudah tidak dapat dimiliki lagi. Selalu ada ruang hampa setiap kali dia pergi, namun sekarang ruang hampa itu semakin kosong. Ibaratnya sebuah rumah yang ditinggalkan pemiliknya, membawa semua perabotannya, lalu merobohkan bangunannya, dan membawa serta reruntuhannya. Tidak bersisa sama sekali.

Hal paling buruk selanjutnya, tanganku ditarik Adrian, dia memelukku sambil bergumam menenangkan bahwa kadalnya sudah tidak ada. Dan aku benci lidahku yang kelu setiap berhadapan dengan Adrian. Aku sangat ingin mengatakan 'aku jatuh cinta, Adrianku. Jangan pergi dan membuatku rindu sampai sesak!' tapi semua yang terucap selalu saja berbanding terbalik karena logikaku yang tidak selaras dengan hatiku.

Seperti semalam, saat hatiku menginginkan Adrian tinggal, tapi logikaku menentang lalu dituruti dengan lisanku yang juga berucap sama. Semuanya menghianatiku, dan aku mulai lelah, aku pasrah dalam pelukan Adrianku.

Mengelus lembut punggungku, Adrian seolah tau apa yang aku butuhkan ketika aku semakin terisak. Lingkaran tanganku semakin mengerat, membelit punggungnya sarat aku tidak mau ia tinggalkan lagi, dan aku berharap waktu berhenti sejenak, membiarkan Adrian bersamaku, membiarkan aku melambungkan keinginan untuk jatuh sejatuh-sejatuhnya pada Adrian meskipun sesaat.

Aku langsung membuka ponselku begitu bell istirahat berbunyi. Sesuai harapan, mau nggak mau, aku tersenyum lebar, selebar jidat Arsa membaca balasan pesan yang masuk dari Mas-mas favoritku, yang bikin Gita misuh-misuh karena aku guncang tubuhnya saking senangnya.

"Apaan sih lo?!" Akhirnya Gita yang kalem nyolot juga, tapi aku nggak peduli. Biarakan Gita jadi urusanku di akhirat, sekarang aku harus urus Mas Adriku dulu.

The Past Future [END]Where stories live. Discover now