Prologue

385K 5K 590
                                    

            Suara dering telepone terdengar memenuhi ruangan, namun tak ada satupun dari riuh orang di dalam sana yang mengangkatnya. Seorang wanita tengah menatap lurus sebuah jurnal di depannnya sembari membolak-balik lembar per lembar, tempat dimana wanita itu biasa menggunakan kertas-kertas itu sebagai bahan untuk menulis tajuk berita sebelum melemparkannya ke publik. Tiba-tiba. Seseorang menyentuh punggungnya, mengejutkannya sembari menatap dirinya dengan ekspresi wajah bertanya. "hei. Ngapain sih lo? Itu, telephone di meja lo bunyi dari tadi" katanya dengan suara ketus.

"Oh iya. Sorry, gw gak denger tadi" ucap si wanita yang tersenyum agak canggung. Orang itu menggeleng-gelengkan kepala menatapnya sejenak sembari berdeham lirih "aneh" sebelum ia melangkah pergi dengan wajah jengkel sementara si wanita mengangkat telephone, mendengar suara dari ujung lain yang tampak sama gusarnya.

"BANGSAT LO YA!!" kata si penelphone setengah berteriak "lo dari tadi kemana sih, gw hubungi dari tadi gak diangkat-angkat!!"

"iya-iya. Sorry. Gw tadi di kamar mandi soalnya." ucap si wanita sembari membuka kembali lembar per-lembar di buku jurnalnya yang penuh dengan coretan dan tulisan-tulisan acak seadanya, sementara gagang telephone sudah di sangga oleh bahunya, si wanita kembali mencoret-coret entah apa di dalam buku jurnalnya. Kebiasaan yang sudah lama ia miliki. Bahkan ia sendiri tidak tahu sejak kapan kebiasaan mencoret-coretan tak berdasar di buku jurnalnya.

"ya sudah. Gini..loh" ucap si penelpone yang kini suaranya terdengar lebih serius, "gw baru aja dapat kabar, ada sesosok mayat baru aja di temukan di sebuah rumah gubuk di tengah Ladang tebu. Lo bisa gak ke TKP, soalnya si Riko lagi gw suruh ngerjain hal lain".

Hening. Si wanita terdiam sejenak sebelum si penelphone memanggilnya kembali. "wei. Gimana? Lo bisa gak ke TKP sekarang?"

Ekspresi si wanita tampak termenung untuk sesaat. Entah kenapa, suara dari si penelphone seakan tak terdengar lagi di telinganya, di gantikan dengan keheningan yang memanjang sejauh mata memandang. Selang beberapa saat, ruangan yang seharusnya ramai itu mendadak menjadi lebih sunyi dan kegelisahan yang pernah wanita itu rasakan dulu mendadak menyeruak kembali. Wanita itu baru sadar bila firasat yang dulu seringkali menghantuinya mendadak kembali dan bayangan-bayangan hitam yang ada di sekeliling membuatnya tahu bahwa meski dalam keheningan ia tidak benar-benar sendiri.

"MIRAAAA!!" teriak si penelphone yang sontak membuyarkan lamunan si wanita. "lo denger gw gak sih??!! Bisa gak??"

"iya-iya. Bisa kok, bisa. Di mana alamatnya?" tanya wanita itu dengan nada sedikit parau. Mira itu adalah nama wanita itu. Sebuah nama yang di berikan oleh almarhum ayahnya yang menghilang tanpa jejak meski begitu, Mira tumbuh menjadi seorang wanita yang tangguh, lebih tangguh dari apapun bahkan sejak kepergian neneknya, orang kedua yang paling ia sayangi setelah ayahnya.

Mira mendengarkan dengan seksama alamat yang di katakan si penelphone, sembari mulai menulis di jurnalnya, alamat tempat TKP itu berada namun tiba-tiba Mira terdiam dalam keheranan saat menyaksikan apa yang tertulis di atas kertas buku jurnalnya adalah sebuah tulisan yang terbaca dari coretan-coretan tangan Mira saat ia sedang menelpone tadi, meski hanya sebatas coretan-coretan acak yang di buat serampangan namun coretan itu bisa terbaca dengan aksara jawa kecil di sampingnya. Coretan itu terbaca sangat jelas. sebuah tulisan yang bila dibaca menjadi dua kalimat yang belum pernah Mira lihat sebelumnya.

"JANUR IRENG"

****

Mira melangkah turun dari mobil tua yang ia pinjam dari kantor untuk datang ke TKP, tempat dimana sesosok mayat baru di temukan. Lokasinya sendiri berada di sebuah perkebunan tebu yang rimbun dan jauh dari hiruk pikuk permukiman penduduk sehingga mayat yang baru saja di temukan sudah dalam kondisi yang benar-benar mengenaskan. Setidaknya itu yang Mira tahu dari percakapan di telephone tadi.

JANUR IRENGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang