4. Hampa

45.4K 3.8K 108
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***


Kania menendang tidak jelas. Panas hati membelenggunya. Dia mencibir sepanjang jalan, mengumpat akan perlakuan Arya yang sangat kejam.

Arya sama sekali tidak memberi kesempatan untuk Kania. Dia berpaling cukup angkuh. Tidak mendengar segala macam bentuk permohonan.

Bagaimana tidak?

Arya hanya memiliki Zayn, jiwa raganya tak akan tenang jika Kania yang jadi pengasuh. Bukannya meremehkan, tetapi Kania telah memberikan kesan buruk di awal pertemuan.

“Lihat aja! Dia pasti nyariin aku!”

Kania terus melangkah. Sepatu hitamnya ditenteng. Sedikit basah di bagian ujung. Tadi dia tidak sengaja menginjak kotoran, beruntung karena menemukan botol minum untuk mencuci noda lengket itu.

Pulang sambil berjalan kaki sudah menjadi kebiasaan. Bertelanjang kaki pun juga tidak masalah bagi Kania. Mungkin sebagian cewek akan merasa malu ataupun gengsi, tapi Kania tidak peduli tanggapan orang. Toh, dia tetap terlihat cantik!

Rambut yang berwarna kecoklatan jadi daya tarik. Kania sengaja mengecatnya karena beberapa helai rambutnya beruban. Bukan karena faktor usia. Melainkan karena terlalu banyak berpikir.

Hidungnya juga mancung, bergigi rapi—meski ukurannya sedikit besar. Tinggi badan di atas rata-rata. Tubuhnya bak sebuah gitar spanyol—padahal porsi makan diluar kendali.

Dilihat dari segi fisik, Kania bagaikan seorang artis. Tapi … sifatnya sedikit miring.

“Bang Arthur kenapa nggak bisa ditelpon, sih?” Kania mengeluh. Mulai menyadari bahwa berjalan kaki memakan banyak waktu. Jalanan yang dilewatinya juga terlalu sepi, tidak ada kendaraan.

“Dasar cowok berhati iblis! Bisa-bisanya dia nyuruh aku pulang tapi nggak diantar! Dia nggak lihat kalau ini malam?! Matanya ditaruh dimana, sih?!”

Kania beristirahat sejenak, duduk di tepi jalan. Suasana cukup menyeramkan. Hanya ada pepohonan di sepanjang jalan. Butuh beberapa meter lagi sampai perumahan terlihat. Kania cukup pemberani, bertemu dengan hantu tidak terlalu buruk.

Sewaktu berumur lima tahun, Kania pernah bermain dengan Kunti. Bercakap-cakap layaknya seorang manusia. Kadar kepekaannya tidak bekerja saat itu, jadi menganggap Kunti sebagai seorang teman.

“Sekali lagi Bang Arthur nggak angkat telponnya, aku bisa meledak, nih!” Kania menelpon lagi. Menunggu.

Nomor yang Anda tuju-

Kania langsung memasukkan HP ke dalam saku. Percuma!

“Kania … ambil napas….” Kania menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. “Hembuskan….”

Kania berjalan lagi, sedikit membungkuk karena kelelahan. Sepatunya terlupakan begitu saja. Ingatannya memburuk karena terlalu banyak menahan emosi.

Sejak kecil Kania memiliki sedikit kelainan. Ah, bukan! Bukan kelainan seperti orang gila. Melainkan ingatan yang akan memburuk jika menerima terlalu banyak tekanan. Hal itu disebabkan karena saat berumur empat tahun, dia pernah terjatuh dan mendapat beberapa jahitan di kepala.

The Papa Hunter [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang