#Diarasa-12

9 1 0
                                    

"Jara, tidak apa-apa, kalau aku rasanya mau mati?"

"Mengapa berkata seperti itu?"

"Entahlah. Rasanya hidup ini tidak pernah menerimaku dengan baik."

"Memang kapan hidup ini berjalan dengan inginmu, Sa?"

"Tidak pernah."

"Lalu mengapa kau mau mengakhiri hidup, kalau tahu hidup memang seperti itu tabiatnya."

"Karena kurasa, tidak ada lagi alasan untuk bertahan."

"Dirimu sendiri, memang bukan alasan?"

"Diriku ini tidak berguna, Jara. Tidak pantas menjadi alasan."

"Jadi bagaimana hidup ini akan menerimamu, kalau kau sendiri tidak menerima dirimu?"

"Lalu apa yang harus kulakukan? Hidupku tak pernah terasa benar."

"Hidup bukan tentang merasa benar, Sa. Hidup perihal perjalananmu sendiri. Dan semua manusia punya perjalanannya masing-masing. Tidak akan sama."

"Jadi maksudmu, keinginan untuk mati juga bagian dari hidup?"

"Tentu saja, Sa. Hidup ini terikat oleh ruang dan waktu. Jadi, jika kau masih ada pada dua keadaan itu. Maka hidupmu masih berjalan. Mungkin itu memang keadaan yang harus kau lewati sekarang."

"Kau tak pernah merasa mau mengakhiri hidup?"

"Memang kita siapa sih, Sa? Hanya makhluk lemah yang bahkan tidak bisa mengurus dirinya dengan baik. Aku tidak ingin mengambil peran Tuhan untuk mengakhiri hidup manusia. Aku takut, Sa."

"Tuhan tidak pernah adil, Jara. Kenapa aku harus berada di keadaan ini."

"Karena Tuhan mampu. Keadilan jangan kau samakan dengan kesetaraan, Sa. Hidup yang kau miliki adil dengan hidup yang dimiliki orang lain."

"Karena?"

"Karena Tuhan telah menciptakanmu menjadi seorang manusia dengan tubuh, pikiran, juga hidup yang sangat mahal harganya, Sa. Tidak semua bayi yang dikandung terlahir ke dunia ini. Hanya orang-orang yang mampu melewati segala hal dalam hidup yang diijinkan Tuhan. Itu keadilan, Sa. Bisa saja bayi yang tak sanggup menjalani hidup akan mati mengenaskan dengan kehidupan yang lebih sakit dibanding dirimu. Tuhan telah mengetahui semuanya, bahkan saat kita belum ada."

"Tapi tidak semua orang bisa melewati itu, Jara."

"Bukannya tak siap, tapi memang tidak mau siap. Seharusnya manusia yang telah diberikan keberkahan dengan pikiran dan hatinya mampu untuk melewatinya, Sa. Karena ia yakin, ini memang hidup yang harus dijalani, ia percaya bahwa Tuhan telah menempatkannya di keadaan yang tepat dan menerima itu semua dengan kelapangan. Kita manusia, Sa. Tuhan yang ciptakan kita."

"Jadi, aku harus bagaimana dengan semua ini?"

"Terima itu. Terima semua perasaan negatifmu. Tapi jangan berlarut. Jika kau telah tenang. Cari hal apa yang benar-benar membuatmu bertahan. Pegang itu sampai akhir hayatmu."

"Aku akan mencoba."

"Tentu. Sa, tidak ada yang mampu menguatkan kita, menenangkan kita, menjaga kita kecuali diri sendiri. Perasaan itu menjadi tanggungjawabmu. Aku hanya orang luar yang mencoba membantumu. Dan, ingat, lakukan semuanya dengan hati. Itu akan jauh lebih mudah."

"Baiklah. Terima kasih pak guru."

"Kau ini."

"Hahaha."

18/12/19

-snjnl

Publish : 09/02/20

Diarasa -Dialog Jara & Assa-Where stories live. Discover now