5

57 31 3
                                    

Ara tersenyum memakai gaun berwarna merah yang baru diberikan oleh ayahnya. Tidak lupa dia memakai pita dengan warna senada sebagai hiasan di kepalanya. Gadis itu terus berpose di depan cermin layaknya seorang puteri, ia hendak menghadiri undangan makan siang bersama ayahnya di rumah Erna.

“Wah ... cantik sekali Tuan Puteri,” decak Bram memasuki kamar Ara.

"Ara suka bajunya."

“Sudah, Nak?” tanya Bram.

“Belum, Papa keluar dulu.” Ara mengibaskan tangannya.

Bram terkekeh melihat kesenangan Puterinya, ia pun beranjak dari posisinya sambil memainkan gawai. Ia berjalan menuju teras sembari mengetik pesan untuk kekasihnya, Erna. Senyumnya memudar tatkala ia mendapati Nia berhasil melewati gerbang pagar rumahnya. Nia nampak berhati-hati berjalan begitu menangkap sosok Bram memandangnya penuh kebencian.

“Bagaimana bisa sampah kembali dari tempatnya?” sindir Bram.

“Sampah tidak hanya dibuang, dia bisa didaur ulang. Jangan mengartikan sampah sebagai benda yang tidak memiliki nilai, sebab dia akan sangat berharga setelah diproses menjadi sebuah karya.” 

Nia membalas dengan seulas senyuman, Bram masih dengan tatapan yang sama, ia  memalingkan pandangan begitu menyadari dirinya menatap Nia begitu lama. Entah kenapa mantan istrinya itu terlihat lebih cerah dan cantik. 

“Aku datang bukan untuk mengemis padamu, Mas.”

“Lantas apa lagi kalau bukan memohon?”

“Aku mau mengambil semua data-dataku, ijazah, sertifikat, semua milikku yang tersimpan di dalam rumahmu yang besar ini. Termasuk, Ara.”

“Hahahahaha!” Bram tertawa puas.

Nia mengerutkan keningnya, Bram terlihat seperti orang gila dengan gaya tertawa yang tidak beraturan. Sepertinya dia memandang remeh Nia yang datang sendiri meminta haknya. Padahal, ada Riko di luar mengamati tingkah laku Bram dari dalam mobil. Riko sendiri tidak mengetahui apa yang ditertawakan  oleh Bram.

“Kamu meminta berkasmu?” Bram behenti tertawa.

“Iya,” jawab Nia masih merasa heran dengan tingkah aneh pria itu.

“Baik, tunggu di sini, tetap pada tempatmu dan jangan coba menginjak rumahku.”

Nia yang dari tadi tidak menapaki tangga teras rumah tersebut jadi menggeleng merasa miris melihat manusia yang hampir menyerupai iblis. Ia sedikit mengintip kearah dalam, mana tahu Ara muncul. Ia lalu memperhatikan bangunan rumah itu, rumah yang sudah ia urus bertahun-tahun. Banyak bunga yang ia tanam menjadi kering, layu dan mati. Beberapa saat kemudian Bram kembali membawa sebuah tas kantor berisikan berkas Nia. Ia juga menyeret koper besar yang berisi baju-baju Nia.

“Ambil ini.” Bram membuang koper besar itu.

“Ah! Ssshh..” Nia meringis, koper itu mendis kedua kakinya.

“Ini?” Bram mengangkat tas kantor tersebut.

Ia lalu tersenyum angluh sembari merogoh sebuah benda kecil dalam kantong celananya. Nia memperbaiki posisi koper tadi, sedangkan Riko terbelalak melihat aksi Bram yang hendak membakar seluruh berkas-berkas Nia.

Cinta & TahtaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang