30 || Kaki Kokoh

1.2K 135 3
                                    

Selamat membaca dan menikmati kisah Avner dan Maura

|Chapter thirty|
-
-
-
-
'Bahkan kalau seluruh tubuh mu mati, aku akan tetap mencintaimu hingga kehidupan selanjutnya.'








            Sudah satu minggu berlalu.

   Maura masih tetap sama, ia hanya diam tak membuka suara sejak seminggu yang lalu. Tatapan matanya kosong, seolah mayat hidup, tak mau makan, tak mau minum, tak mau tidur. Maura seperti tubuh tanpa nyawa, tanpa jiwa. Semangatnya untuk hidup hilang, menguap seiring kakinya yang kaku tak dapat di gerakan, tak dapat di jalankan.

Selama itu pula Avner tak pernah benar-benar bersama dengan Maura. Pria itu tahu jika Maura membutuhkan waktu untuk sendiri, ia hanya datang untuk memastikan Maura baik-baik saja. Membujuk gadis itu makan, menanyakan keadaannya lalu kembali pergi. Menyibukkan dirinya dengan tugas kerajaan yang begitu menumpuk dan memusingkan.

Avner kesal, marah, sedih, juga kecewa. Perubahan emosinya yang terjadi tiba-tiba membuat pekerja istana takut, aura hitam Avner terasa mengerikan. Ia jadi mudah tersulut emosi, seperti tiga hari yang lalu, Avner memenggal kepala salah satu pelayan istana, tepat di depan mata pelayan yang lain. Dengan tangannya sendiri, Avner menebaskan pedangnya dengan begitu ringan, wajahnya datar, tak puas tak juga lega.

Alasan Avner melakukannya sebenarnya cukup sepele, pelayan itu hanya tak sengaja menutup pintu kamar Avner dengan keras, ketika ia sedang menghantarkan makanan untuk gadis itu. Pelayan istana itu tak sengaja, namun Avner sudah terlanjur marah lalu terjadi lah semuanya.

"Nona, saatnya makan siang."

Isabelle masuk sembari membawa nampan berisi sup serta sepiring nasi dengan lauk pauk lainnya. Isabelle meletakkan nampan di atas nakas, ia mengambil piring lalu menuangkan sedikit demi sedikit sup di atasnya.

"Mari, Nona. Silahkan buka mulut Anda," ucap Isabelle.

Maura tak menanggapi, ia hanya menatap sekilas ke arah Isabelle, lalu kembali diam dan termenung. Sama sekali tak menanggapi segala bujukan Isabelle padanya.

"Nona, tolong makanlah," ujar Isabelle kembali berusaha menuntaskan tugas beratnya ini.

Maura tak bereaksi, Isabelle menghela napasnya. Ia menatap Maura dengan tatapan sendu, melihat kondisi gadis itu yang murung dan seolah tak berjiwa membuatnya merasa sedikit iba. Isabelle merasa menjadi jahat, ia merasa menjadi iblis paling jahat yang pernah ada.

"Nona tolong, makanlah barang sedikit saja, lalu setelahnya minum obat."

Maura menoleh, ia terkekeh miris. "Minum obat katamu?" Tanyanya sarkas. "Untuk apa? Aku tetap saja cacat."

Sendok yang Isabelle genggam terhenti di udara, ucapan Maura mendadak membuat ia seperti kembali ke masa lalu. Ucapan Maura membuatnya tertampar, merasakan sakit luar biasa.

"Untuk apa, Isabelle? Aku akan tetap cacat."

Isabelle menggelengkan kepalanya, ia tidak ingin kembali mengingat hal itu. Rasanya semakin membuat Isabelle terhantam badai, ia tidak menyukai, Isabelle tidak suka ketika dirinya sedih dan terlihat lemah.

"Kenapa diam? Ucapanku benarkan? Berapa banyak pun aku minum obat itu, tetap saja aku cacat," ujar Maura melihat Isabelle terdiam. "Miris sekali, usiaku baru delapan belas tahun, dan aku sudah mengalami hal mengerikan seperti ini."

Isabelle menghela napasnya, kembali menyodorkan sesendok nasi berisi lauk pada mulut Maura, berharap gadis itu membuka mulut nya dan menerima suapan dari Isabelle.

Binding destinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang