14. Orang Ketiga

208 12 2
                                    

"Rey," ucap Alana dengan nada kaget karena Rey langsung masuk ke kamar inapnya tanpa mengetuk pintu. Ditambah lagi, lelaki itu datang dengan buru - buru.

"Alana!" sapa Rey ramah seraya menghampiri gadis itu.

"Bunga lagi?" tanya Alana saat lelaki itu mengulurkan sebuah kantong plastik berukuran besar padanya.

"Saya bawain kamu buah - buahan. Kamu suka banget kan? Kemarin aja yang dari Dista habis sebentar," ucap Rey. Alana terkekeh mendengarnya.

"Makasih, Rey," ucap gadis itu seraya menerima dan menyimpannya di bawah.

"Oh iya saya mau kembaliin ini." Rey mengeluarkan sebuah sapu tangan dari saku celananya. Membuat Alana menunggu dan memerhatikan gerak - geriknya.

"Kemarin saya lupa balikin, kamu juga gak ngingetin," kata Rey.

Alana menepuk jidatnya dan tertawa, "Oh, makasih," ujarnya seraya menggenggamnya dengan senang.

Rey terpaku memerhatikan gadis itu. Perlakuannya menunjukkan kalau benda itu sangat berharga. Alana melipatnya dan menyimpan dengan hati - hati.

Sejujurnya Rey penasaran. Ia ingin sekali bertanya tentang siapa Rajawali Satria Langit sebenarnya. Tapi ia urungkan mengingat di sini Rey sebagai apa? Ia tidak ada hak sama sekali untuk menanyakan itu. Lagi pula ia tidak mau mengganggu Alana. Sekarang gadis itu sudah mau tertawa dengannya. Rey tidak akan biarkan sampai ia marah.

"Emm.. gimana keadaan kamu sekarang?" tanya Rey pada Alana setelah menyimpan sapu tangannya kembali.

"Udah baikan. Gue mau pulang, Rey," pinta gadis itu.

"Sebelum ke sini saya udah ngomong sama Dokter. Katanya kamu perlu beberapa hari lagi di sini. Kondisi kamu belum pulih betul," jawab Rey.

Alana mendengus dan cemberut. Ia sudah tak tahan berada di sini. Bau obat yang menyeruak membuatnya mual. Tapi ia pun tak bisa menyangkal kalau masih sering pusing dan sakit di bagian kepalanya. Benturan itu sangat keras hingga menyembuhkannya pun butuh waktu lama.

Sementara Rey memandanginya kasihan dari tempatnya berdiri. Lelaki itu mengerti. Mungkin bosan rasanya terus - terusan berbaring di Rumah Sakit. Sebenarnya Rey senang. Kecelakaan itu membawa berkah untuknya. Ia dan Alana jadi saling mengenal. Ia rasanya akan sedih kalau jauh dengan Alana.

"Kenapa makananannya masih utuh? Kamu gak makan ya?" tanya Rey seraya melirik mangkuk dan air di atas nakas. Alana menggeleng malas. Tidak nafsu.

"Kamu pasti lemes, kamu harus makan. Biar saya yang suapin kalau kamu males," tawar Rey yang tidak terima penolakkan.

Lelaki itu lantas mengambil mangkuk yang ada di nampan. Supnya sudah mulai dingin. Tapi tidak apa, asal Alana makan.

"Saya tau ini bakal gak enak, tapi kamu harus paksain," ujar Rey seraya melayangkan sendok itu ke mulut Alana. Gadis itu melahapnya lalu meringis. Rey tahu rasanya aneh.

"Kepala kamu masih sering pusing?" tanya Rey sambil menyuapi gadis itu. Alana mengangguk.

"Kamu harus banyak istirahat, banyakin tidur-"

"Diem si sini bikin gue tambah pusing, Rey. Gue pengen ke luar. Jalan - jalan gitu," pinta Alana.

"Mau ke taman lagi?" tawar Rey.

Alana menggeleng, "Menurut gue itu sama aja."

"Kamu gak boleh keluar kata Dokter."

"Iya tapi kan itu kalau sendiri, kalau ada yang nemenin Dokter pasti ngizinin. Lo pikir seneng apa rebahan terus kaya gini? Suntuk yang ada tau gak?" sungut Alana, ngegas.

SACRIFICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang