ALVASKA 30

337K 43.6K 2.5K
                                    

Kana menatap Ambulance yang baru saja membawa Alvaska keluar dari area sekolah lewat koridor lantai atas. Kana menghela napas berat lalu berbalik badan, berniat untuk memasuki kelas.

Setelah tidak sadarkan diri di pelukan Queenza, Alvaska langsung dilarikan ke rumah sakit oleh pihak sekolah menggunakan ambulance milik SMA Alantra. Entah apa yang terjadi pada Alvaska, tidak ada satupun yang tau. Bahkan keempat sahabat cowok itu tidak ada yang membuka suara dan mengatakan jika mereka tidak mengetahui apapun terkait dengan kondisi Alvaska. Queenza pun sama. Hanya bungkam saat di tanya prihal kondisi Alvaska oleh pihak sekolah.

Kana berjalan menyusuri koridor sekolah lantai atas menuju koridor kelasnya yang letaknya tidak jauh dari area kantin sekolah.

"Gue mau mati."

Ucapan Alvaska waktu itu seketika membuat Kana berhenti melangkah. Cewek itu menarik napas panjang lalu menyandarkan tubuhnya di dinding kelas XI IPS 2. Bersamaan dengan itu, ponsel di dalam ransel hitamnya bergetar beberapa detik. Kana merogoh saku ranselnya untuk mengambil ponsel. Ada satu pesan masuk dari Fadel, sahabat Alvaska.

Fadel:

Ka, bisa minta tolong nggak?

Belum sempat Kana membalas, Fadel kembali mengirimkannya sebuah pesan.

Fadel:

Tolong bawa tasnya Alva ke rumah sakit Lergan. Ada benda penting di dalam tas itu. Secepatnya Ka.

"Benda penting?" Kana bergumam, lalu mengetik balasan pesan untuk Fadel.

Kana:

Okay.

Fadel:

Thank Ka. Oh iya, Tas Alva ada di ruang ganti khusus team gue.

Kana memilih untuk tidak membalas pesan terakhir dari Fadel. Cewek itu kembali memasukan ponselnya ke dalam tas ranselnya lalu mulai melangkah, menuruni tangga menuju ruang ganti anak basket yang letaknya tidak jauh dari lapangan Indoor SMA Alantra. Kana berniat untuk menyusul Alvaska ke rumah sakit Lergan.

--Alvaska--

"Gimana keadaan Alva Om? Dia baik-baik aja kan?" Raga bertanya pada Dokter Ryan yang baru saja keluar dari ruangan tempat Alvaska di rawat.

Kini, koridor rumah sakit sudah di penuhi oleh Queenza, Jazi, Arkan, Fadel, Raga dan Pak Garka sebagai perwakilan dari pihak sekolah.

Dokter Ryan menepuk pundak Raga pelan. "Sahabat kamu baik-baik saja. Tidak ada yang perlu di khawatirkan."

"Tapi Om-"

"Sahabat kamu baik-baik saja Raga," Dokter Ryan memotong ucapan Raga. Ia melirik sekilas jam yang ia kenakan di tangan kirinya. "Sudah jam sembilan. Saya ada urusan. Permisi." Dokter Ryan kemudian berjalan melewati Raga yang kini tengah menatapnya tidak percaya--berbelok ke arah kanan menuju ruang kerjanya. Ada sesuatu hal yang harus ia selesaikan di sana.

"Gimana bisa Alvaska baik-baik aja? Padahal di lapangan tadi dia kesakitan banget kayak orang sesak napas," ucap Jazi yang berdiri di depan pintu ruangan.

"Detak jantungnya juga nggak normal," timpal Raga yang tadi sempat menyentuh dada kiri Alvaska untuk menekan kuat dada sahabatnya. "Jantung Alvaska bermasalah."

"Dan semoga dugaan lo itu salah," ucap Arkan pada Raga.

"Semoga," balas Raga.

Queenza yang duduk di kursi memanjang di samping Pak Garka hanya diam, tanpa mau mengeluarkan suara. Pak Garka pun sama halnya. Tidak tau harus mengatakan apa.

Raga mengintip Alvaska yang tengah berbaring lemah di atas brankar lewat kaca kecil di pintu ruangan. "Lo kuat Va."

Tidak lama kemudian, seorang cewek yang menyampirkan dua ransel di pundak kirinya itu berlari ke arah ruangan tempat Alvaska di rawat.

"Gimana keadaan Alva Fa?" Kana bertanya pada Fadel setelah sampai di hadapan keempat sahabat Alvaska yang berdiri di depan pintu ruangan. "Dia baik-baik aja kan?"

Fadel mengganguk sambil menerima tas Alvaska yang di sodorkan oleh Kana. "Kata Om Ryan, Alva baik-baik aja."

Kana menghela napas lega. Cewek dengan rambut panjang yang di ikat satu ke atas itu menggigit bibir dalamnya kalut. "Ehm.. gue, gue mau liat Alva. Boleh kan?"

Hening.

"Kalau nggak boleh juga nggak apa-apa kok. Gue langsung balik ke sekolah aja kalau gi-."

"Boleh kok. Masuk aja," potong Raga. Cowok itu menyingkir dari depan pintu ruangan tempat Alvaska di rawat. "Alva lagi nungguin lo."

Kana seketika menoleh menatap Raga tajam. "Gue banting lo."

Raga terkekeh. "Sorry sorry."

Tanpa berkata sepatah kata pun, Kana langsung meraih handle kemudian memutarnya. Cewek itu menutup pintu lalu berjalan menghampiri Alvaska yang tengah berbaring lemah di atas brankar dengan infus dan juga alat bantu pernapasan yang dipasang di area hidungnya. Wajah cowok itu terlihat sedikit pucat.

Kana duduk di kursi yang di letakkan di samping brankar. Cewek itu menatap wajah pucat Alvaska. Tanpa bisa ditahan, tangannya terulur untuk menyentuh luka di dahi Alvaska yang di plester olehnya tadi malam.

"Ck. Lemah." Cibir Kana.

Jari Kana turun untuk memperbaiki posisi alat bantu pernapasan di hidung Alvaska. "Lo beneran pingsan atau pura-pura pingsan, sih?"

Alvaska diam.

"Lo bisu?"

Tidak ada respons sama sekali dari Alvaska. Mata cowok itupun masih setia terpejam.

"Gue tau, lo cuman pura-pura tidur," kata Kana. "Gue kayak orang gila tau nggak, ngomong sendiri."

"Ck. Ngeselin!" Kana berdecak lalu bangkit dari kursi. Ketika cewek itu hendak melangkah pergi, sebuah tangan sudah lebih dulu menahan lengannya agar tetap di posisi.

"Jangan tinggalin Alva.."

To be continue..

810 word. Secuil jejak anda, means a lot_

ALVASKA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang