10 - bukan sekadar bayangan

104 29 2
                                    

Sepasang anak kembar itu akhirnya pulang ke rumah. Jam kerja Bunda selesai lebih cepat, maka dari itu baik Senja atau Sera, keduanya dapat mencium aroma khas masakan Bunda yang mampir lewat hidung.

Keduanya tersenyum senang. Lantas Sera membantu sang adik untuk mempercepat langkah dan tiba di dapur.

"Bunda! Masak apa?"

Wanita yang sejak satu jam lalu berkutat di dapur, kini berbalik sambil membawa satu mangkuk kecil berisi sambal goreng kesukaan Sera dan meletakkannya di atas meja.

Bunda melepas apron, melipatnya, lantas ke wastafel dan mencuci tangan. Baru ingin memberi titah, atensi tertuju pada Senja yang kelihatan amat kacau.

Dilihat biasa, mungkin penampilan Senja tidak buruk amat. Namun Bunda adalah ibu. Instingnya tajam.

"Senja kamu kenapa?" tanya Bunda mendekati sang putri. Ia mendekat wajah Senja dan matanya mulai melirik sana-sini. Memastikan tidak ada luka.

Sedangkan Senja adalah keras kepala. Maka ia menggeleng. "Aku? Aku nggak kenapa-kenapa kok, Bun."

"Jangan bohong. Bunda tahu, sayang." Ia mengusap wajah anaknya. Tahu-tahu perasaan khawatir melanda dirinya. Bunda menoleh pada Sera, meminta penjelasan.

Tatapan tajam itu menusuk relung hati. Sudah begini, Sera tidak bisa berkelit. Susah payah ia mencoba kuat, dan akhirnya rentetan kalimat itu keluar juga. "Senja diganggu lagi, Bun. Aku--"

"Bunda sudah bilang, kan, jaga Senja dengan baik? Haah.... Sera, kamu harus perhatikan adikmu."

"Kejadiannya pas lagi jam belajar, Bun. Aku nggak tahu. Allen yang bantuin, dia langsung chat aku dan aku langsung ke UKS."

"Bahkan Allen bisa keluar kelas mencari Senja? Kenapa kamu tidak?"

"Bun--"

"Kamu istirahat, ya, Senja. Masuk kamar sana, nanti makanannya Bunda yang anterin."

Dan tahu apa? Sera berjengit kaget. Dia menatap kosong. Tapi entah kenapa, ia sakit hati.

Selepas itu, tanpa sepatah kata yang keluar lagi, Sera memilih mundur. Berbalik, menaiki tangga, mendekam dalam kamar. Amarah menguasai diri, dan Senja hanya bisa lihat punggung sang kakak yang naik turun menahan air mata.

. . .

Suara ketukan pintu memenuhi lantai dua rumah. Senja menundukkan kepala, namun tangannya tiada henti mengetuk dan memanggil nama Sera.

"Sera buka pintunya. A-aku mohon...."

Hal itu berlangsung beberapa menit. Sampai akhirnya.... Krieett....

Sera berdiri dihadapannya. Sudah berganti baju, dengan sebuah earphone yang menggantung di lehernya. "Mau apa kamu?"

Deg! Senja teronggok bisu. Dia tak salah dengar, kan? Nada bicara Sera tidak seperti biasa, dan bisa ia pastikan bahwa kembarannya tengah marah.

Harusnya nggak begini.

"Maafin aku. Bunda nggak bermaksud gitu sama kamu. Bunda cuma khawatir."

Sera menatap jengah, datar tanpa ekspresi. "Sudah bicaranya? Iya, aku tahu Allen yang nolongin kamu. Sekarang pergi, aku mau tidur."

Sera hendak berbalik, namun dengan--kurang ajarnya, mungkin--Senja menarik ujung baju Sera. Menahannya pergi. "Sera, tunggu! T-Tunggu sebentar."

"Kamu sudah janji, kan sama aku. Katanya mau jadi lebih kuat, tapi apa? Kamu tahu, aku yang disalahin Senja! Kamu pikir rasanya gimana? Sakit!"

Senja menggeleng. "B-bukan begitu--"

"Aku lelah Senja!"

Seolah-olah Senja baru diterpa badai ombak. Kedua netranya kontan melebar. Menatap Sera tidak percaya, sedangkan hatinya menahan lebih banyak lagi luka yang menjalar.

Sebulir air mata jatuh tanpa sadar. Namun tetap tak membuat Sera luluh dan memilih memeluk untuk sekadar menenangkan. Sebuah duri tertancap di lubuk jiwa.

Tanpa sadar, Senja berucap amat pelan. "Terus kamu pikir aku mau diperlakukan kayak gini?"

Binar mentari merambah tiap inci dinding. Membiarkan sepasang kakak adik yang tengah dirundung perkara. Saat itu pula, Senja mundur perlahan. Mengikis jarak.

Sore itu, giliran Sera yang melihat jelas bagaimana punggung Senja semakin menjauh dari tilik. Tanpa berani menahan, apalagi untuk mengejar. []

. . .

an.
asikkk berantem :-)

[✓] Cerita Tentang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang