16 is S.I.X.T.E.E.N

5.4K 523 16
                                    

Hardi mencoba mengintip dari sela kaca ruangan tersebut. Darres tampak tidur terlelap dengan selimut yang menyelimuti tubuhnya.

Dipandanginya kakak nya itu terus. Darres tampak sedikit pucat. Tapi kharisma yang dimiliki Darres tak berkurang sedikitpun dimata Hardi.

Hardi menguap sesaat. Matanya sudah berat menahan kantuk. Tapi anehnya pandangannya tidak bisa lepas memandangi Darres dari balik kaca itu.

Diusapnya matanya pelan. Jaket yang diberikan Reihan sangatlah berguna. Cuaca yang mendung diluar ditambah udara sejuk yang dihasilkan oleh AC rumah sakit membuat tubuhnya hampir menggigil.

Hardi tidak sadar, perutnya belum terisi semenjak makan siangnya tadi. Ditatapnya obat di atas kursi, masih tersegel rapi. Padahal seharusnya Hardi sudah harus mengkonsumsi tablet pahit itu.

Dirasanya sudah cukup memandangi kakak nya itu, hardi kembali ke kursi yang ada disana.

Kursi yang akan menjadi tempatnya bermalam malam ini. Dijulurkannya kakinya walaupun harus menjuntai kebawah, karena kursinya tidak mampu menandingi tinggi Hardi.

Hardi mengatupkan matanya. Belum sampai satu menit, mata itu sudah tertutup sempurna. Hardi sudah pergi ke dalam mimpi. Mimpi yang membuat hatinya tenang. Bahwa dia hari ini sangat bahagia.

Tapi mimpi itu tiba-tiba diselingi oleh sebuah realita. Bahwa satu orang lagi telah pergi dari hidupnya. Tanpa Hardi tau. Atau memang sudah disengajakan oleh sesorang, yang ingin membuat hidupnya lebih berat lagi.

Realita yang direncanakan itu akan membuatnya terjerat oleh rasa bersalah. Realita yang akan menjadi sesal dan membuat Hardi menjadi seseorang yang tidak tau terima kasih di mata semua orang.

------------------

Camele terus menatap jam berbentuk apel yang ada di kamarnya tersebut. Jarum nya sudah berada diantara angka sepuluh dan sebelas. Hatinya tak karuan dan adrenalin nya berpacu kuat.

Camele merencanakan sesuatu yang pastinya tidak disukai oleh Anthony, maupun Darres.

Tapi Camele bisa apa. Keinginannya sangat menggebu-gebu.

Dirasanya suasana rumah yang sudah sepi dan beberapa lampu sudah dimatikan. Camele beranjak keluar dari kamarnya. Membuka pintu dengan sangat hati-hati dan tanpa menimbulkan suara sama sekali.

Camele berjalan ke arah kamar milik Anthony. Di dekatkannya kupingnya ke pintu. Tidak ada suara.

Camele melihat dari bawah sela-sela pintu, lampunya juga sudah tidak dinyalakan. Artinya ayahnya sudah beristirahat.

Camele bersorak di dalam hati. Pelan-pelan, diambilnya jaket serta perlengkapannya yang lain. Camele akan menjenguk Hardi sendirian. Camele bahkan sudah menyiapkan hatinya untuk mengambil resiko sebesar ini.

'Ayo Camele kamu pasti bisa'

Camele keluar dari pintu belakang untuk mengurangi suara yang akan terdengar. Halaman belakang rumahnya tampak begitu luas dan terang walaupun sudah malam.

Camele sudah memesan sebuah taksi yang berhenti agak jauh dari rumahnya. Tak ada ketakutan lain di dalam dirinya selain ketahuan oleh Anthony.

Dipertengahan jalan, Camele singgah sebentar untuk membeli buah dan makanan di toko yang buka 24 jam.  Hingga taksi tersebut sampai ke depan IGD.

Camele turun setelah membayar sejumlah uang. Diambilnya belanjaannya tadi. Langkah Camele terlihat sangat pasti. Hatinya sudah memutuskan sesuatu.

Pelukan itu mengubah hal besar dalam dirinya. Camele merasa dia sudah cukup untuk menjauh dari adiknya Hardi. Perlahan namun pasti, Camele juga akan memperbaiki kondisi keluarganya yang terpisah. Tak lama lagi.

Namun senyum yang sedari tadi tercipta luruh begitu saja. Tubuh Camele lemas seketika. Raut wajahnya meredup.

Perawat di lantai itu mempertegas keadaan bahwa pasien yang bernama Prahardi sudah pulang sejak sore tadi. Kamar rawat nya yang kosong juga seakan-akan memperjelas situasinya.

Hampir saja belanjaan di tangannya jatuh ke lantai jika seorang perawat tidak menyadarkannya.

Camele merasa sedih dan putus asa. Keberaniannya tidak selalu datang setiap saat. Mengapa disaat keberanian itu datang, justru semesta seolah-olah juga ingin memisahkan mereka.

Camele melangkah lesu. Dia tidak mungkin pulang dan membawa semua belanjaan ini. Malam juga sudah sangat larut. Keberaniannya yang tadi pergi menaiki taksi juga sudah hilang.

'Sekarang harus bagaimana Tuhan?'

Camele mencoba berfikir kembali. Dia memutuskan untuk menginap di kamar Darres saja. Besok pagi-pagi sekali baru dia akan pulang dan seolah tidak terjadi apa-apa.

Hingga lift membawa Camele naik ke atas. Wajahnya masih tidak secerah tadi. Langkahnya juga lesu.

Dari jauh disipitkannya matanya. Ada seseorang yang berada di atas kursi tunggu di depan kamar rawat Darres.

Jantungnya berdetak cepat. Camele takut, memikirkan bahwa itu adalah orang jahat yang akan menyakiti Darres.

Camele berusaha mendekat pelan. Dipegangnya erat-erat kantung belanjaan itu, bersiaga jika itu bisa menjadi pemukul dan pelindung dirinya seandainya seseorang itu terjaga.

Semakin dekat jarak mereka maka semakin dekat detak jantungnya. Camele menelisik orang itu. Seorang laki-laki yang sepertinya terlelap. Wajahnya membelakangi Camele. Namun postur tubuhnya tampak tidak asing.

Sebuah kantung plastik yang jatuh ke lantai menarik perhatian Camele. Diletakkannya kantung belanja miliknya dna mengambil plastik tersebut.

Dibukanya perlahan dan membaca label obat yang terdapat di dalam platik tersebut.

Camele membulatkan matanya. Ditatapnya bergantian seseorang itu dengan kantung plastik itu.

Camele mendekatkan wajahnya kepada Hardi. Menatap adiknya itu. Tertidur di luar kamar rawat Darres. Hanya dilapisi oleh sebuah jaket. Kakinya menjuntai ke bawah dan Hardi terlihat sangat terlelap.

Camele menutup mulutnya. Hatinya berdesir hangat. Tapi tak bisa disangkal bahwa keadaan Hardi sekarang sangat terasa menyedihkan.

Kenapa?
Kenapa adiknya itu harus berada di luar kedinginan, sementara di dalam kamar rawat di depannya adalah milik abang kandungnya sendiri.

"Hardi, kenapa seperti ini?". Lirihnya pelan


PRAHARDI [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang